Menguatnya Semangat Formalistik-Elitis

Nurudin

(Terowongan Silaturahmi)
Oleh :
Nurudin
Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana membangun terowongan bawah tanah yang menghubungkan antara Masjid Istiqlal dengan Katedral di Jakarta. Hal demikian dikatakan Jokowi saat meninjau renovasi masjis Istiqlal yang pembangunannya akan dimulai pada Mei 2020. Tentu saja, ide membuat “terowongan silaturahmi” itu menimbulkan pro dan kontra. Tulisan ini tidak terlibat dalam pro dan kontra tetapi melihat subtansi isi dari pentingnya terowongan.
Tentu, terowongan dibangun dengan niat baik. Apalagi ini menyangkut kebijakan negara. Tentu sudah dipikir masak-masak tentang untung ruginya. Tentu juga sudah mengkalkulasi pro kontra yang akan mengikutinya.
Terowongan itu dimaksudkan untuk membangun hubungan baik antar umat beragama (salah satu contohya Islam dan Kristen). Ada niat baik agar terjadi hubungan yang harmonis antar umat beragama. Tak terkecuali usaha membangun semangat toleransi yang selama ini dianggap “barang mewah”. Tentu saja itu satu sudut pandang.
Formalistik
Membangun semangat toleransi tentu tidak semata-mata membangun fasilitas fisik formalistik. Selama ini kita masih terjebak dalam model toleransi yang formalistik dan elitis. Terowongan yang berwujud fisik itu tentu tak bisa dianggap sebagai miniatur adanya toleransi beragama di Indonesia.
Perlu diketahui juga bahwa kebijakan pemerintah itu harus ditempatkan sebagai kebijakan politis. Tak ada pemerintahan yang mengeluarkan kebijakan tanpa perhitungan untung-rugi. Semua penuh perhitungan. Perhitungan apa? Perhitungan menguntungkan pemerintahannya. Ini jika sudut pandang politis.
Mengapa begitu? Dalam kurun waktu lama negara ini selalu punya masalah kaitannya dengan bangsa yang majemuk. Memang kemajemukan menjadi modal utama tetapi tanpa pengelolaan yang baik, maka kemajemukan itu hanya akan menjadi batu sandungan. Inilah yang sering kita alami. Dalam situasi akibat dampak perseteruan politik sekian tahun belakangan ini maka setiap kebijakan akan menimbulkan pro dan kontra.
Penulis ingin melihat permasalahan secara lebih detail dan melepaskan diri dari pro kontra yang muncul. Yang jelas terowongan itu mempunya beberapa catatan kritis yang layak dikemukakan. Meskipun kita tahu segala bentuk keberatan masyarakat hanya akan menjadi “buih dalam lautan” setiap berhubungan dengan kebijakan politis pemerintah.
Pertama, pembangunan terowongan yang menghubungkan Istiqlal dan Katedral menunjukkan bahwa kebijakan kita masih bersifat fisik. Selama ini pemerintah memang sibuk membangun sarana fisik (bangunan, jalan tol) dari pada non fisik. Memang itu dibutuhkan masyarakat. Itu juga bermanfaat bagi masyarakat. Jika orientasi hanya pada fisik, maka hampir sama dengan kebijakan Orde Baru (Orba) di awal pemerintahannya. Waktu itu memang sangat dibutuhkan pembangunan fisik.
Tetapi apa yang bisa kita saksikan? Pembangunan fisik era Orba memang berjalan dan berkembang tetapi malupakan pembangunan mental. Maksudnya, pemerintah cenderung disibukkan dengan sesuatu yang tampak. Bagaimana pembangunanisme waktu itu diklaim sebagai keberhasilan Soeharto yang dipakainya untuk kampanye pemenangan sampai berkuasa selama 32 tahun. Sementara itu, pembangunan itu tugas utama semua lapisan masyarakat, Kenapa diklaim sebagai keberhasilan Golkar (partai pendukung pemerintah waktu itu).
Kemudian banyak program-program yang memang politis. Mengapa? Karena yang diandalkan hanya itu saja. Sementara pembangunan mental spiritual nyaris tidak menjadi titik tekan. Bahkan pembangunan fisik yang tidak terencana dengan baik hanya akan memberikan dampak masyarakat era sekarang. Jangan dikira banjir di Jakarta selama beberapa tahun terakhir ini tak ada sebab dari kebijakan salah pemerintah Orba. Tentu itu semua ada sebab musababnya.
Selama ini kita selalu dininabobokkan dengan pembangunan fisik. Seolah dengan pembangnan fisik semua masalah bisa diatasi. Ibaratnya, pembangunan fisik itu hanya polesan luar. Yang justru lebih penting adalah “isi di dalamnya”. Jika hanya mengandalkan polesan sementara isi kurang kuat, ia hanya akan menjadi kebijakan artifisial saja. Kelihatan megah tetapi aslinya rapuh. Ada kecenderungan pembangunan terowongan silaturahmi itu mengikuti logika di atas. Kebijakan yang formalistik, elitis, dan sekadar simbol.
Kedua, ide membuat terowongan bagus untuk menjalin hubungan antar umat beragama atau toleransi. Tetapi cara-cara begitu terlalu ringan. Problem toleransi bangsa ini sudah sedemikian akut. Atau jangan-jangan pemerintah sudah kewalahan untuk upaya membangun semangat toleransi? Atau jangan-jangan toleransi yang selama ini diteriakkan itu hanya indah dipermukaan tetapi sulit diwujudkan? Atau jangan-jangan toleransi itu diteriakkan oleh mereka yang sebenarnya intoleransi?
Masalahnya bangunan toleransi itu tidak sekadar wacana dan arftifisial. Kita paham dan apresiasi pada keinginan pemerintah membangun terowongan. Tetapi jika itu digembar-gemborkan sebagai simbol toleransi itu tentu tak banyak manfaatnya. Terus yang akan terjadi muncul klaim sepihak bahwa yang tidak suka terowongan akan dituduh sebagai orang yang tidak mendukung semangat toleransi. Asumsi ini bisa ada benarnya karena selama ini klaim-klaim toleransi dimonopoli kelompok tertentu dan itu dikampanyekan dengan besar-besaran.
Yang akan ada kemudian hanya saling tuduh. Saling tuduh ini memunculkan dua kelompok yang berseberangan, klaim pendukung toleransi dan tuduhan kelompok lain yang dianggap tidak toleran. Kita selama ini mewarisi dan mendengar wacana-wacana seperti ini. Yang ada kemudian adalah suasana gaduh. Suasana ini biasanya hanya diredam dengan mengatasi kegaduhan itu bukan mencari penyebabnya. Seperti kebakaran hutan hanya dicari dan diatasi agar tak terjadi kebakaran dengan menyemprotkan air, tetapi tidak mencari akar masalahnya.
Ide terowongan memang baik. Tetapi memupuk semangat toleransi dengan ditunjukkan oleh para elite politiknya lebih bermakna. Apalagi fokus utama pemerintah kedua Jokowi ini ada pada pembangunan sumber daya manusia, bukan lagi fisik. Sementara masalah bangsa ini berkaitan dengan kian merebaknya korupsi, penegakan hukum yang tidak tegas, dan kebijakan politis yang memperiferikan kelompok lain sudah sedemikian akut. Kita sudah kenyang dengan simbol-sibol kerukunan umat beragama yang formalistik dan elitis.
———– *** ————–

Tags: