Mengubur Mimpi NKRI Bersyariah

(Mencemaskan Penguatan Politik Identitas di Ajang Pilpres) 

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Ikhtiar politik kebangsaan dari para pendiri bangsa menjadikan Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya bukan dimaksudkan menjauhkan Indonesia dari ajaran Islam. Ikhtiar kebangsaan para pendiri bangsa menjadikan pancasila sebagai dasar negara didasarkan pada kenyataan multikulturalisme bangsa Indonesia.
Indonesia sebagai negara memiliki tingkat keanekaragaman tinggi. Bahkan Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya paling plural di dunia. Pluralitas ini mencakup berbagai aspek, mulai aspek agama, suku, ras dan golongan. Jika pluralitas ini mampu dikelola secara baik maka akan menjadi kekayaan yang sangat berharga. Tetapi jika tidak dikelola secara baik, ia dapat berubah menjadi malapetaka yang mengerikan.
Salah satunya adalah melalui pembangunan kesadaran bersama tentang pentingnya mencari titik temu dari keanekaragaman yang ada, bukan mempertentangkan titik beda. Kesadaran semacam ini penting untuk menumbuhsuburkan harmoni sosial. Tanpa ada kesadaran, perbedaan hanya akan dilihat pada titik perbedaannya. Orientasi pada titik beda berbahaya bagi harmoni sosial.
Menguatnya Politik Identitas
Setelah lebih dari 20 tahun pasca tumbangnya pemerintahan Soeharto, hari-hari ini kita dihadapkan pada dominasi politik identitas (identity politics). Berbagai kekuatan politik dan kelompok-kelompok strategis dalam masyarakat berlomba-lomba memainkan sentimen agama, ras, etnis, untuk menggolkan agenda-agenda politiknya, di antaranya adalah keinginan untuk menegakkan syariat Islam dalam kehidupan kenegaraan (Baca : NKRI Bersyariah). Isu ini secara masif menjadi bahan diskusi di grup grup Whattaps (WA) berbagai kalangan bahkan acap diselingi berbagai narasi hoax yang sungguh mengerikan.
Perhelatan pemilu presiden 2014 lalu kemudian dilanjutkan pada Pilkada DKI Jakarta 2017 merupakan tontonan paling vulgar tentang bagaimana politik identitas dioperasikan. Dan kini, hal yang sama juga kembali terulang dalam Pilpres 2019 ini. Mengapa politik identitas ini begitu dominan dalam perbincangan publik kita? Salah satu penyebabnya adalah bahwa secara ideologis tidak adanya kontestasi ideologi yang sehat dan terbuka di antara berbagai kekuatan politik yang ada. Bahkan partai politik sendiri tidak ada yang secara jelas menggambarkan bagaimana konsepsi ideologis yang ingin diperjuangkan.
Absennya kontestasi ideologi menyebabkan seluruh kekuatan politik ini menjadi absah menggunakan sentimen politik identitas sebagai daya tarik dan daya ikat konstituennya. Implikasinya, partai politik dan aktor-aktor politik yang ada mengidentikkan dirinya dengan rakyat pemilih bukan berdasarkan progam-program politik yang rasional dan terukur, melainkan melalui cara-cara yang sarat emosi dan persuasif. Inilah realitas politik yang tengah mengepung kita hari-hari ini. Realitas politik yang partikular dan emosional, yang sayangnya, memiliki barisan pengikut yang panjang. Absennya kontestasi ideologi yang jelas dan terbuka membuat isu- isu politik identitas lebih nampak sebagai ‘penumpang gelap’ yang tidak jelas asal usulnya. Hanya tiba-tiba muncul disaat-saat dibutuhkan. Ironisnya pemilik gerbong dan penumpang gerbong yang lain juga merasa nyaman-nyaman saja bahkan diuntungkan dengan kehadiran ‘penumpang gelap’ tersebut. Artinya, konsepsi tentang NKRI Bersyariah lebih nampak sebagai mimpi indah yang dicekokkan kepada masyarakat yang secara latent memang masih ada yang memimpikannya. Sementara, secara faktual tidak jelas siapa dan bagaimana konsepsi itu akan bisa diwujudkan.
Tulisan Denny JA yang berjudul NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?, sejatinya menjadi jawaban telak atas mimpi-mimpi mewujudkan NKRI bersyariah yang nampaknya terus dimunculkan dalam setiap ajang kontestasi politik. Dalam tulisan tersebut, Denny JA menyodorkan realitas yang secara akademis lebih terukur dalam mendiskripsikan praktik bernegara di berbagai belahan dunia dikaitkan dengan implementasi nilai-nilai Islam. Hasilnya, negara negara yang bisa menghadirkan nilai-nilai ajaran Alquran yang diformulasikan sebagai index Islamicity –seperti nilai seperti keadilan, kemakmuran, pemerintahan yang bersih, penghormatan pada manusia– tinggi adalah negara di Barat.
Potret tidak jauh berbeda juga ditunjukkan hasil survei PBB melalui World Happiness Index. Aneka list mengenai prinsip manusiawi dirumuskan dalam index yang terukur. Hasilnya, negara yang paling tinggi skor Happiness Index tak banyak beda dengan Islamicity Index. Negara tersebut diantaranya adalah : Finlandia, Norwegia, Denmark, Iceland, Switzerlands, Netherland, Canada, Selandia Baru, Australia. Sementara, negara yang mayoritasnya Muslim berada di level tengah: United Arab Emirat (20), Malaysia (35), Indonesia berada di bawah top 50. Artinya, mimpi mewujudkan NKRI Bersyariah sejatinya hanya begitu gagah dalam angan-angan namun dalam implementasinya tidak mudah diwujudkan dan sekadar memuaskan kegersangan emosional semata.
Selanjutnya Bagaimana?
Bahwa perbincangan tentang Pancasila sesungguhnya sudah sangat panjang, sejak awal gagasan sampai sekarang ini. Pro dan kontra mengiringi dinamika perjalanan sejarah Indonesia. Namun satu hal yang penting dicatat, Pancasila telah menunjukkan keefektifannya sebagai penopang bagi bangsa ini. Lewat bukunya Islam Agama Kemanusiaan (2007), Nurcholish Madjid menegaskan bahwa dalam kehidupan bernegara, haruslah dilihat Pancasila sebagai pemersatu yang mengajak semua orang agar patuh dengan ajaran Tuhan. Intinya adalah ikut menghargai keberagaman dan pluralitas yang sudah ada di masyarakat.
Sistem semacam ini sesungguhnya selaras dengan demokrasi dan Pancasila. Hal ini tidak hanya berdasarkan tafsir atas ajaran Islam, melainkan juga mendapatkan dukungan yang kuat dari perspektif sejarah Islam. Demokrasi tidak mungkin terwujud begitu saja. Dibutuhkan proses yang panjang sampai terwujudnya demokrasi yang berkualitas. Karena itu aspek yang penting untuk diperhatikan adalah proses demokratisasi. Proses demokratisasi bukan proses instan. Ia harus selalu diupayakan, dijaga dan ditumbuhkembangkan secara terus-menerus. Tanpa upaya yang semacam ini, demokratisasi hanya akan berhenti pada tataran wacana saja.
Bahwa Indonesia telah memiliki landasan yang kuat dan kukuh bagi pengembangan toleransi beragama dan pluralisme, yaitu Pancasila. Ini sebenarnya bisa dimaknai sebagai tesis yang diajukan terhadap gejolak sosial politik di masyarakat dalam mensikapi perbedaan yang terjadi. Pancasila merupakan adopsi paling netral terhadap kenekaragaman dan kemajemukan di Indonesia. Nilai nilai yang ada dalam Pancasila sesungguhnya juga merupakan nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan nilai – nilai Alquran. Terbukti, penerimaan terhadap Pancasila menjadikan Indonesia mampu merawat dan mengelola kemajemukan yang ada secara baik. Wallahu’alam Bhishawwab.

——— *** ———–

Rate this article!
Tags: