Menguji Kesetiakawanan Indonesia

Oleh :
Satria Unggul Wicaksana Prakasa
Penulis adalah Dosen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya serta Direktur Eksekutif Pusat Studi Anti-Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) pada kampus yang sama.
Kondisi diplomatik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sedang dalam ketegangan, pasalnya, patroli keamanan laut RRT dengan kapal perang (coast guard) yang dimiliki negara tirai bambu tersebut justru mengawal beberapa kapal nelayan berbendera RRT yang sedang melakukan penangkapan ikan ilegal yang dalam konsep hukum laut internasional disebut Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUU Fishing) di perairan Natuna Utara yang masih masuk wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI).
Alasannya, RRT menganggap dirinya memiliki hak atas zona memancing tradisional (Traditional Fishing Right), berdasarkan fakta sejarah sejak era Dinasti Han pada tahun 110 Sebelum Masehi. Dimana, hal tersebut juga berkaitan dengan klaim RRT atas Sembilan garis putus (Nine-Dash Line) yang telah dideklarasikan sepihak oleh RRT yang kemudian menyeret konflik mayoritas negara-negara di Asia Tenggara, seperti Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, hingga Indonesia.
Mulai dari awal Desember 2019 sampai saat ini, telah lebih dari 30 kapal nelayan dan tiga kapal coast guard melakukan tindakan penerobosan ZEEI yang kemudian berdampak pada terganggunya yurisdiksi laut (overlapping jurisdiction) Indonesia pada wilayah Laut Natuna Utara oleh RRT. Lantass, bagaimanakah mekanisme hukum laut internasional yang kemudian disebut United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 meneropong klaim zona memancing tradisional serta klaim sepihak Sembilan garis putus yang diklaim oleh RRT, dan pasca-tragedi serangan oleh RRT, bagaimanakah posisi Indonesia ditengah konstalasi konflik internasional antara Amerika Serikat dan RRT.
Traditional Fishing Right, Nine-Dash Line dan Delusi RRT ZEEI merupakan hak eksklusif bagi Indonesia sebagai negara pantai untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber-sumber kekayaan hayati di lingkungan laut yang secara jelas diatur pada Pasal 57 UNCLOS 1982, disana memberikan privilege bagi Indonesia sebagai pemilik ZEEI di Laut Natuna Utara, termasuk dalam hal perikanan. Sehingga, siapapun yang melakukan gangguan terhadap hak berdaulat (obstruction of sovereign right), dapat ditindak melalui sistem hukum Indonesia. Hak yang dapat dimiliki negara pantai Indonesia untuk mengeksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan hayati, melakukan konservasi dan pengelolaan segala sumber daya alam, termasuk menegakkan yurisdiksi dan hak-hak serta kewajiban hukum lainnya yang diatur dalam UNCLOS 1982. Artinya, entitas lain diluar yang ditentukan oleh hukum internasional tidak diperkenankan untuk mengganggu hak berdaulat Indonesia dalam ZEEI, termasuk RRT.
Jika kita membicarakan klaim sepihak tentang klaim traditional fishing right diatur jelas dalam Pasal 51 (1) UNCLOS 1982, Dalam pasal tersebut menentukan bahwa Negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan Negara lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah Negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan. Dimana Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah wajib diatur dengan perjanjian bilateral antara kedua Negara yang berkepentingan.
Kita perlu merujuk kembali praktik Indonesia dan Malaysia yang mengatur wilayah traditional fishing right antara Malaysia Barat untuk mengatur traditional fishing right yang dituangkan dalam perjanjian bilateral dan diratifikasi Indonesia dalam UU Nomor 1 Tahun 1983. Tindakan RRT sebagai salah satu negara peserta (party) jelas melanggar UNCLOS 1982 sebagai sumber hukum internasional tertinggi yang perlu direspon oleh Indonesia melalui penjagaan ketat wilayah laut Indonesia sebagai bagian dari penegakkan hukum laut internasional. Agar wilayah kita tidak diterobos secara serampangan oleh nelayan dan coastguard RRT sebagai pelanggar penangkapan ikan ilegal.
Klaim RRT mengenai nine-dash line merupakan suatu delusi diplomatik yang dilakukan oleh negara adidaya tersebut. Jika merujuk putusan dari Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration (PCA)) pada 2016 dengan nomor perkara PCA Case NÂș 2013-19 antara Filipina dan RRT sebagai para pihak, pada inti dari putusan tersebut menyampaikan bahwa klaim nine-dash line tidak diakui oleh sehingga RRT tidak bisa mengklaim lagi memiliki yurisdiksi di Laut Natuna Utara. Ketidak-patuhan RRT pada putusan PCA merupakan bentuk penyangkalan terhadap penegakkan hukum internasional.
Indonesia bisa melakukan tindakan kooperatif melalui saluran diplomatik untuk mendorong Filipina meminta bantuan Dewan Keamanan PBB sebagai kekuatan eksekutorial dari putusan arbitrase permanen internasional tersebut agar dipatuhi, sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Piagam PBB itu sendiri. Sehingga, delusi nine-dash line yang dlancarkan oleh RRT tidak mengganggu stabilitas dan keamanan kawasan.
Menguji Kesetiakawanan Indonesia
Seperti kita ketahui, RRT merupakan mitra dagang strategis Indonesia, data BPKM menyatakan RRT menjadi tiga negara terbesar investasi di Indonesia pada tahun 2019 dengan total US$2,3 Milyar. Pada saat yang sama, seperti kita merujuk data yang dirlis oleh Transparansi Internasional Indonesia (TII), berdasarkan Report of Exporting Countries 2018 menyebutkan beberapa negara tidak berkomitmen kuat dalam menghormati supremasi hukum, lebih memilih suap, dan melakukan investasi yang tidak memperhatikan lingkungan hidup di Indonesia, salah satu negara yang tidak patuh pada supremasi hukum tersebut adalah RRT. Sehingga, akar masalah ketidak-patuhan (non-complience) bahkan terkesan merintangi supremasi hukum Indonesia, sehingga hal tersebut harus menjadi catatan penting bagi Indonesia.
Tentu, Pemerintah akan berpikir berkali-kali untuk melakukan konfrontasi dan adu kekuatan alutsista di Laut Natuna Utara ditengah instabilitas kondisi ekonomi Indonesia. Namun hal tersebut tidak menjadi alasan untuk melemah dan memilih jalur diplomasi dalam penyelesaian kasus tersebut. Soliditas antar-negara anggota ASEAN dalam menyikapi kasus di Natuna Utara sebagai protes diplomatis keras, atau bahkan melakukan banned terhadap jalur perdagangan bebas, akan membuat RRT untuk berfikir ulang berkonfrontasi dengan negara-negara di Asia Tenggara terkait konflik Laut Cina Selatan.
Termasuk, tidak masuk dalam pusaran perang dagang yang saat ini memanas antara Amerika Serikat dan RRT yang hari ini kian tinggi tensi-nya.
Indonesia perlu menjernihkan peran diplomatisnya sebagai entitas non-blok, seperti yang pernah dilakukan pemerintah Indonesia di-era Presiden Soekarno pada 1955. Sehingga peran strategis diplomatik Indonesia akan terlihat dalam menyikapi IUU Fishing yang dilakukan oleh nelayan RRT yang dilindungi oleh coastguard. Sehingga, tidak ada diksi setiakawan jika RRT sendiri secara nyata-nyata melanggar hak berdaulat dan yurisdiksi laut Indonesia pada ZEEI Laut Natuna Utara, buktikan bahwa dilaut kita jaya ! (jalasveva jayamahe).
———— *** —————

Rate this article!
Tags: