Menguji Obat CoViD

Bisik-bisik tentang obat CoViD-19 murah meriah, telah menjadi desakan kepada pemerintah, agar segera diproduksi. Di seluruh dunia, uji klinis terbesar sedang intensif dilakukan terhadap jenis obat cacing, yang diduga efektif menekan pertumbuhan virus. Di Indonesia, Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan) juga memulai uji klinis di 8 rumah sakit. Obat cacing ivermectin, yang diproduksi BUMN akan diproduksi lebih masal sebanyak 4 juta kaplet per-bulan.

Pengharapan segera “merdeka” dari pandemi kini semakin menemui jalan lempang. Pertama kali disebut oleh Menteri BUMN Eric Thohir, bahwa ivermectin bisa menjadi terapi penyembuhan CoViD-19. Obat cacing yang telah beredar luas di seluruh dunia selama 35 tahun. Juga diproduksi PT Indofarma, harganya sangat murah, Rp 5 ribu per-kaplet. Tetapi saat ini menjadi langka, dan sangat mahal. Meski tergolong murah, tetapi ivermectin tergolong sebagai obat keras. Maka penggunaannya harus dengan resep dan pengawasan tenaga medis.

Diperkirakan pada bulan Agustus tahun (2021) ini telah tersedia di seluruh toko obat sebanyak 5 juta kaplet di seluruh Indonesia. Tidak mudah menyatakan senyawa menjadi obat. Di seluruh dunia, proses pengakuan obat memiliki “protokol etika .” Terutama wajib memenuhi prosedur etika (ke-ilmiah-an dalam beberapa tahapan pra-produksi masal. Prosedur etika dalam pengobatan bersifat wajib, dan mutlak dilakukan.

Beberapa yang terpenting antara lain, penjejakan asas safety (keamanan), efficiency (efisien), dan efikasi (ke-mujarab-an) melawan virus. Terutama tahap ketiga (paling akhir) uji klinis biasanya dijalani selama 6 bulan, tetapi bisa dipersingkat dengan area uji dan jumlah subyek uji yang sangat banyak dan masif. Tak terkecuali terhadap penambahan obat cacing untuk terapi CoViD-19. Telah dilakukan oleh universitas kesohor di dunia, dengan dana hibah sangat besar.

Berdasar kebiasaan, manakala University of Oxford telah memulai uji klinis, berarti hasil ujinya sekadar menunggu faktualisasi. Sesungguhnya, penelitian ilmiah (di dalam laboratorium) sudah selesai, dengan hasil yang baik. Begitu pula penelitian empiris, telah usai. Maka uji klinis di Oxford (selama 18 hari), sebenarnya hanya menambah keyakinan, menunggu hasil efikasi yang lebih tinggi. Bisa memetik manfaat lebih besar.

Di Indonesia, obat cacing yang telah diproduksi BUMN ke-farmasi-an, juga harus melalui uji klinis. Antara lain uji klinis terapan di rumah sakit, di RSUD Dr. Soedarso, Pontianak (Kalimantan Barat), RS Adam Malik, Medan, serta RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Juga harus lolos uji di lab Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN), berujung eksekusi oleh Badan POM. Namun diharapkan tidak terlalu lama. Sehingga secepatnya Badan POM menerbitkan izin edar kedaruratan.

Kewajiban pemerintah menyediakan obat, dan vaksin menangkal wabah penyakit. Tercantum dalam UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada pasal 153, dinyatakan, “Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan merata … untuk pengendalian penyakit menular ….” Juga wajib memenuhi UU Nomor 33 tahun 2014, tentang Jaminan Produk Halal. Peredaran masal obat CoViD-19 (ekas obat cacing) bisa menghemat anggaran negara alokasi penanganan pandemi.

Penghematan besar bisa mencapai trilyunan rupiah, yang dialokasikan untuk perawatan pasien positif di berbagai rumah sakit. Lebih lagi, saat ini tingkat hunian rumah sakit di daerah “zona merah” rata-rata mencapai 85%. Beban kerja tenaga kesehatan terasa overload. Fasilitas kesehatan dalam keadaan “tidak sehat.” Antrean panjang “mengular” obat CoViD-19, wajib segera direspons pemerintah.

——— 000 ———

Rate this article!
Menguji Obat CoViD,5 / 5 ( 1votes )
Tags: