Mengukuhkan Eksistensi Madura

Judul : Suatu Hari Percakapan Kami di Whatsapp
Penulis : LPM Spirit Mahasiswa
Penerbit : Diandra Kreatif
Terbitan : Cet. I Februari 2018
Tebal : 170 Halaman
ISBN : 978-602-336-664-4
Peresensi : Aziz As-Syah
Penulis adalah Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah
(INSTIKA), Jurusan Tasawuf & Psikoterapi (TP). 

Menyimak cerita-cerita Madura mulai dulu yang mencuat dipermukaan, hanyalah stereotip negatif yang sering menjadi pembahasan. Seakan-akan stereotip positif orang Madura jauh dari pembincangan, kecuali kesan jenaka dan pekerja keras. Hal ini menjadi sesuatu yang timbang, karena cerita yang dibesar-besarkan tidak demikian adanya di Madura. Seperti carok.
Bagi orang luar, tradisi carok di Madura menjadi peristiwa yang seringkali terjadi. Padahal secara realita semua wilayah akan mengalami peristiwa carok yang sesuai dengan masalahnya. Barangkali hal ini merupakan permasalahan yang dibesar-besarkan oleh orang yang berkepentingan. Dengan tujuan untuk membentuk ideologi “mengerikan/negatif” supaya orang luar enggan berkunjung ke Madura.
Teringat pendapat Huub de Jonge (2011); bahwa stereotip bukanlah pengamatan yang bebas nilai, melainkan ciptaan akal, suatu kreasi yang secara sadar maupun tidak sadar dikonstruksi. Dengan kata lain, stereotip sarat akan kepentingan dan karena itu cenderung subjektif. Sehingga dengan demikian eksistensi Madura tak lagi perjaka. Artinya ideologi masyarakat luar tentang Madura tak lagi sakral.
Maka dengan demikian, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa Spirit Mahasiswa (LPM-SM) Universitas Tronojoyo Madura (UTM) Bangkalan, mengadakan event lomba menulis cerpen, bertema “Membongkar Stereotip Terhadap Masyarakat Madura.” yang masuk masuk nominasi 10 besar diantologikan. Terkumpul dalam buku “Suatu Hari Pembicaran Kami di Whatsapp.” Hal ini berupaya untuk “mampu membuat cara pandang para pembaca untuk terbuka dalam menilai sesuatu” (hal. ii bagian pengantar)
Dinamika kehidupan manusia Madura dikisahkan dengan cukup apik dalam buku tersebut. Dengan menampilkan tokoh-tokoh yang menjadi lakon kebiasaan manusia Madura, dapat memetik hikmah dari dua puluh cerita tersebut.
Kebenaran cerita Madura dirasakan oleh si tokoh Aku, yang diminta bercerita oleh kekasih Nana selama tiga tuhun berada di Madura. Perjalanannya dari Jawa-Madura, tepatnya Surabaya-Pelabuhan Kamal, yang masih dengan perasaan takut pada karakter orang Madura, yang katanya kasar, sentimintal. Akhirnya terlunasi dengan ia menumukan Perempuan-perempuan perkasa di badan kapan dengan tanpa lelah menjajakan jualannya kepada seluruh penumpang secara satu per satu dengan penuh sopan santun. Ia berkesimpulan di Madura terdapat kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Inilah keunikan manusia Madura.
Singkat cerita, ia sebagai anak kos, dan mahasiswa, ia mendapat tugas menganalisis sebuah Koran Kompas yang judulnya cukup menarik: “Perempuan Madura Jago dalam Seksualitas” membaca sepintas ia terpingkal-pingkal karena dengan judulnya yang mengandung unsur sara. Lalu, ia melanjutkan membaca isinya, ternyata tak sedikitpun dibahas hubungan intim suami-istri di dalamnya. Ternyata itu hanya freming yang dilakukan oleh media besar untuk memanfaatkan keunikan dalam daerah tertentu.
Terus, sejauh perjalanannya, ia terus berkunjung ke desa Pragaan-Sumenep. Di sana, ia melihat seorang kakek bernama Pak Artaji yang sedang mengasah senjata tajam di depan rumahnya. Senjata tajam itu seperti alat untuk carok yang biasa orang ceritakan. Di pun bertanya kebenaran tujuh celurit itu untuk carok atau bukan?
“Tujuh celurit ini tidak semuanya untuk carok. Ada No’ Rideng dan Palalang yang dibuat sikep atau jaga diri. Klobungan untuk mencari rumput di musim kemarau. Krangkeng setong untuk memotong kayu. Krangkeng duek untuk memotong rumput. Peltong setong untuk mencongkel rumput pada tanah tandus. Peltong duek untuk di musim penghujan. Sudah jelas?” (hlm. 09). Ia pun baru sadar bahwa stereotip negatif orang Madura itu semua juga bergantung dari sudut pandang kita” (hlm. 07) sehingga dari berbagai stereotip yang diceritakan tidak semuanya benar.
Pertanyaannya, apakah buku yang ditulis oleh LPM Spirit Mahasiswa, dkk, dapat membongkar stereotip negatif orang Madura?
Tentunya, dengan dua puluh cerita dengan karakter tokoh yang berbeda dalam memperjuangkan kebenaran Madura, mampu menjadi solusi dalam membongkar ke tidak larasan realita kehidupan orang Madura. Cerita-cerita yang ditulis oleh siswa dan mahasiswa Madura dan orang Madura yang ada diluar telah menyajikan berbagai pengalaman yang mereka racik dengan sempurna. Dengan cerita sederhana itu, adalah sebagai suatu usaha untuk membentuk ideologi masyarakat luar tak lagi memandang sebelah mata. Bahwa Carok tak hanya di Madura, di daerah lainpun juga ada. Artinya tak semua masyarakat Madura memiliki tipikal tersebut.
Buku yang berjudul “Suatu Hari Percakapan Kami di Whatsapp” ini mengorek kesempurnaannya. Berbagai naskah yang kurang menjadi perhatian kurator dalam menyempurnakan bahasa dan EYD yang berlaku. Sehingga pembaca merasa terusik dalam membacaannya. Bahkan pembaca dibuat bingung pada penulisnya. Karena, tak ada biodata singkat yang tersirat. Pembaca tidak dapat memberi penilain atau gambaran pada wilayah penulis-penulis tinggal. Kita tahu lingkungan sangat mempengaruhi pada keberadaan seorang penulis. Benar perkataan A. Teeuw : karya sastra tidak akan berangkat dari kekosongan budaya.
Terlepas dari kekurangan-kekurangan. Buku ini telah menampilkan kesuksesannya dalam merajut sebuah cerita yang begitu apik. Cerita yang wajib dibaca oleh berbagai kalangan terutama masyarakat luar. Hal itu, sebagai jalan untuk meluruskan sebuah cerita yang tumbang.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: