Mengukuhkan Rangkai Agama Berkebudayaan

(Umat (Selalu) Bersama dalam Budaya Ber-altar Agama)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik.

Budaya (dan seni) bersendi syara’, sudah lazim di seluruh Indonesia. Bahkan lebih separuh budaya yang ada, memiliki kaitan dengan agama-agama. Sampai pelantikan pejabat, juga disumpah secara agama. Hanya sebagian kecil budaya yang tidak berkait dengan agama. Antaralain sistem persenjataan, model transportasi, serta pola permukiman (perumahan). Sedangkan kegiatan publik yang melibatkan masyarakat secara kolosal, tak lepas dari ajaran agama.
Terasa belum lama peryaan Imlek berakhir dengan Cap Go Meh. Berlanjut perayaan Ogoh-ogoh untuk mempersiapkan “Nyepi.” Lalu, hanya berselang dua hari, masyarakat muslim telah melaksanakan Rajabiyah. Seperti Ogoh-ogoh, budaya sebulan Rajab, juga sebagai persiapan menyambut bulan Ramadhan. Di Indonesia, bulan Rajab diperingati dengan berbagai ritual, sampai sebulan. Selain puasa Rajab, juga diselenggarakan serangkaian doa bersama (istighotsah).
Budaya perayaan keagamaan terasa indah, setidaknya selama satu dekade terakhir. Rangkaian Imlek, Nyepi, dan Rajabiyah, yang ber-iringan, berlangsung damai. Masyarakat antar-agama saling mendukung. Umat muslim (terutama di Bali) mendatangi tetangga, sehari setelah perayaan Nyepi, mengucapkan selamat. Begitu pula pada perayaan Imlek, umat Konghucu membagikan angpao tanpa membedakan keyakinan agama.
Berbagai perayaan budaya selalu ber-iringan dengan pesan ke-mulia-an moral, sesuai ajaran agama. Selama berabad-abad berbagai agama “mengasuh” budaya kearifan lokal. Tak terkecuali seni budaya alat musik (dan seni suara). Syair pada lagu tradisional selalu bernuansa pesan moral. Bahkan karya sastra juga dipengaruhi agama-agama, berisi puja-puji kepada Tuhan. Hampir seluruh karya sastra di Indonesia ditulis oleh tokoh agama, yang di-fasilitasi oleh raja.
Sehingga tak jarang, raja (dan ratu), digambarkan dalam sastra bagai dewa-dewi. Pada masa kini perayaan budaya keagamaan dapat dijadikan media pencerahan masyarakat. Bahkan manakala ditata, dapat menjadi kendali perekonomian. Bisa berarti penghematan, semacam jeda eksploitasi sumberdaya alam (melalui ajaran puasa). Seperti yang dimaksudkan pada puasa Ramadhan. Serta ajaran agama (Hindu) pada perayaan “Nyepi,”yang menandaitahunbaruSaka.
Perayaan “Nyepi” di Bali, berbeda dengan di India. Agama Hindu telahberkembang di pulauJawadan Sumatera, denganpola yang berbedadengankawasan lain. Hal yang sama, juga terjadipada agama Budha di Indonesia, mulaiabad ke-7 Masehi. Tercatat meninggalkan warisan”heritage”sebagaiwarisandunia. CandiBorobudur, dibangunpadasekitarabad ke-8 (dekadetahun 750-an), atasperintah raja WangsaSyailendra, penguasa kerajaan Medang Kamulan.
“Media” Kerukunan
Kerajaan Medang Kamulan, biasa disebut sebagai Mataram Kuna. Tergolong jago, dalam hal peninggalan heritage berkelas dunia. Tiada negara di dunia bisa menandingi Medang Kemulan. Tidak tertandingi oleh penguasa Mesir (Firaun), maupun Syah Jehan (penguasa India), yang membangun Taj Mahal. Juga tidak tertandingi oleh pemimpin Babylonia, Nabukadnezar II di Irak. Penguasa Mesopotamia itu, membangun “taman gantung” (Samisari), dilengkapi kastil-kastil kecil. Bagai kota di atas perbukitan.
Tahun 621 SM (sebelum masehi) Nebukadnezar II, membangun”candi”Samisari, untuk permaisurinya, Amihua, berasal dari Nusantara (konon dari suku Sunda). Dalam bahasa Yunani, Amihua, identik dengan Amithys (nama populer Nebukadnezar II). Tetapi “candi”Samisari, hanyakompleks (areal) kecil. Sekitar 1350 tahun kemudian, candi Borobudur di Magelang (Jawa Tengah), memecahkan rekor kemegahan candi taman gantung (di selatan Baghdad).
Uniknya, candi-candi peninggalan Mataramkuna, tidak hanya berciri satu agama, melainkan juga membangun altar agama lain. Misalnya, keturunan Wangsa Sanjaya (trah ke-12), Empu Sindok, penganut Hindu aliran Syiwa. Empu bergelar jabatan sebagai Rakai Mahamantri Hino, juga toleran terhadap umat Budha. Antara lain, memberi hadiah berupa tanah hak milik yang luas (bebas pajak pula) kepada pujangga Budha beraliran Tantrayana.
Pertautan agama-agama, merupakan produk akulturasi (asimilasi) budaya, mengutamakan hidup bersama secara damai. Hal itumembuktikan, bahwa di antara agama-agama tidak saling”menghunus pedang.”Juga tidak membasmi budaya. Pemuka agama (dan tokoh intelektual), mengasuh budaya yang berkembang pada masyarakat dengan berbagai cara. Utamanya, membuat “media” yang mempertemukan penguasa (raja) negeri dengan masyarakat luas.
Perayaan budaya agama, tidak dapat di-klaim satu agama tertentu. Melainkan milik masyarakat adat yang melaksanakan. Misalnya halal-bihalal, yang ber-altar ajaran agama Islam, bukan sekadar milik muslim. Melainkan telah menjadi milik bangsa Indonesia yang merayakannya. Begitu pula budaya “megengan” (tiga hari menjelang bulan Ramadhan) hanya dirayakan di Indonesia. Konsepnya, adat Megengan, berasal dari kata “meng-agung-kan” bulan (Ramadhan).
Berdasar ajaran agama (Islam), Ramadhan merupakan waktu sebulan periode mensucikan diri. Berdasar kitab suci (Al-Quran), Ramadhan dinyatakan sebagai bulan penuh rahmat (kasih dan pengampunan) dan berkah Ilahi. Sehingga menyambut bulan Ramadhan, mesti dipersiapkan. Yang paling akhir, melalui megengan. Bahkan dua bulan sebelumnya, pada bulan Rajab, persiapan”mental”Ramadhan telah di-canang-kan.
Mencegah Radikalisme
Namun sekelompok kecil (sangat minoritas), sering mengolok-olok “megengan” sebagai adat yang menyesatkan (bid’ah).Sebaliknya, mayoritas ulama Indonesia, yang lebih mengerti ilmu keagamaan (Islam) meng-anggap budaya megengan sangat baik, bernilai sunnah (sangat dianjurkan).Selama berabad-abad agama telah “mengasuh” budaya. Menjadikan sebagaigerakan masal pencerahan spiritual ( dan moral) sosial.
Olok-olokbid’ah, khurafat, tahayul, sertatuduhan sesat pada agama lain, niscaya akan memicu konflik horisontal. Harus diakui, kelompok olok-olok, tumbuh membonceng HAM (hak asasi manusia). Dikenal sebagai kelompok radikal. Modus dakwahnya membonceng konstitusi. Yakniamanat UUD pasal UUD pasal 28E ayat (2), yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikirandan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Ironisnya, kelompok radikal sekaligus juga menyerang (menolak) Pancasila, dan bentuk negara yang tercantum dalam UUD. Berbagai dakwah, dan ujaran kelompok radikal, tersebar luas di medsos (media sosial). Serta menebar media cetak melalui penerbitan. Tak jarang, juga menyusup ke berbagai kelompok seni dan kelompok pemuda. Khususnyapemuda yang tidak memahami ajaran agama, sekaligus tidak paham politik komunisme.
Pergerakan radikalisme agama, mudah dibedakan dengan gerakan dakwah sosial ormas keagamaan lain. Yakni, tidak mau dikategorikan Muhammadiyah, sekaligus sangat anti-pati terhadap NU (Nahdlatul Ulama)!Bersyukur, hampir 100% rakyat Indonesia mengutuk cara dakwah radikal. Tak terkecuali sweeping warung makan pada bulan Ramadhan. Bahkan agama mentolerir penundaan puasa (boleh makan pada siang hari) untuk musafir (dalam perjalanan), dan orang sakit.
Karena itu wajar apabila seluruh masyarakat menolak radikalisme. Juga anti-pati terhadap ISIS sebagai organisasi teroris yang harus diberantas. Namun, penyebaran “ISIS-isme” tergolong mudah. Propagandanya terkait dengan lapangan pekerjaan di Timur Tengah, dengan iming-iming gaji setara UMK di Indonesia. Plus bonus jihad (yang menyimpang). Ternyata iming-iming cukup manjur, banyak yang berminat.
Terbukti, yang di dalam penjara bisa ber-baiat untuk ISIS, menjadi agen “kader” (teroris) ke Suriah, dan negeri konflik lainnya.Padahal konflik yang terjadi di Timur Tengah, bukan bersumber dari keagamaan. Melainkan ketimpangan sosial perekonomian (kaya dan miskin) di Timur Tengah sangat mencolok. Indeks ginie menunjukkan angka 0,45. Ketimpangan ini wajib diwaspadai. Sebab, rasio indeks gini di Indonesia telah menunjukkan angka 0,41. Tidak jauh dari keadaan di Timur Tengah. Sudah “lampu kuning.”
Indonesia sudah berpengalaman dengan dampak ketimpangan sosial ekonomi.Pergantian rezim dengan kepedihan mendalam (tahun 1965-66) juga bersumber dari ketimpangan indeks gini. Begitu pula gerakan reformasi, yang mengakhiri rezim orde baru (Mei 1998). Melebarnya perbedaan strata kaya dan miskin, bisa menyuburkan komunisme, berujung ekstrem kiri. Bahkan saat ini, walau telah dilarang, provokasi komunisme sering dikobarkan. Padahal penyebaran paham ajaran komunisme dilarang, melalui Ketetapan MPRS Nomor 25 tahun 1966.
Realita sosial politik ke-kini-an di Indonesia, provokasi ekstrem kiri (komunisme) bukan hanya meningkatkan kewaspadaan aparat negara (dan rakyat). Melainkan dapat memicu reaksi balik ekstrim kanan (radikalisme agama). Semakin memperkeruhkehidupan sosial, bisa berujung pada dis-integritas sosial ke-Indonesia-an. Bersyukur, TNI, Polisi, dan penegak hukum, masih kukuh berpegang teguh padaKetetapan MPRS Nomor 25 tahun 1966.
Walau tidak banyak, radikalisme (dan ekstremitas),masih memperoleh dukungan beberapa kalangan.Khususnya yang tidak paham keagamaan, dan yang tidak paham sejarah nasional. Sehingga diperlukan kewaspadaan aparat negara, senantiasa tak lena terhadap bahaya ancaman adu-domba sosial. Antaralain, memperkuat muatan perundang-undangan. Termasuk regulasi meng-aman-kan medsos, mencegah dakwah berisi olok-olok, dan penistaan keyakinan agama.
Pertautan budaya dengan agama, tidak dapat dituding sebagai sinkretisme maupun penyusupan ke-kafir-an terhadap ajaran agama. Sebab sesungguhnya, setiap agama juga meng-anjurkan pembelaan terhadap budaya. Bahkan agama telah mengubah budaya, terutama yang mengancam keselamatan (jiwa) masyarakat. Kewajiban negara melindungi setiap budaya, sekaligus menjamin pelaksanaan kehidupan beragama.Tak gentar meng-gebuk radikalisme.

——— 000 ———

 

Tags: