Mengurai Anatomi Konflik Pemilukada Serentak

Yana SOleh :  
Yana S. Hijri
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang

Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi memulai tahapan Pemilukada serentak tahun 2015. KPU akan mulai menggelar Pemilukada serentak tahap pertama di 9 provinsi dan 224 kabupaten, dan 36 kota pada 9 Desember 2015 mendatang. Artinya, sekitar 53 persendari total 537 jumlah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia akan melaksanakan pemilukada serentak gelombang pertama. Adapun gelombang pertama akan digelar pada 9 Desember tahun 2015 untuk kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada semester I tahun 2016 (Januari-Juni). Kemudian gelombang kedua dilaksanakan pada Februari 2017 untuk para pejabatdaerah yang habis masa jabatannya pada semester II tahun 2016 (Juni-Desember) dan 2017.Terakhir gelombang ketiga, dilakukan pada Juni 2018 untukkepaladaerah yang berakhir masa jabatantahun 2018 dan 2019. Kemudian Pemilukada serentak secara nasional baru bisa digelar pada tahun 2027 nanti.
Anatomi Konflik Pemilukada
Fakta pemilukada dipilih secara langsung yang sudah dilaksanakan sejak bulan Juni 2005, menjadi agenda politik yang panjang dalam sejarah pemerintahan daerah selanjutnya. Hal tersebut sudah tentu menyisakan berbagai persoalan, baik pada prapemilihan sampai dengan pascapemilihan dengan kasus yang berbeda-beda di setiapdaerah, mulai dari pemalsuan administrative calon, curi start kampanye, sampaidengantidakditerimanyahasilpenghitungansuara yang efeknyapadakonflikvertical antarelit, bahkankonflik horizontalantarpendukung yang alih-alihpuncaknyamenyebabkanterjadinyakekerasanpolitik.
Demikianhalnyapemilukada yang dilaksanakansecaraserentak kali ini pun tidakmenutupkemungkinan-bukan berarti menginginkan terjadinya konflik, sebaliknya melakukan tindakan pencegahan atau pengelolaan yang lebih baik dan siap-kerentanan akan munculnya konflik-konflik di daerah-daerah dalam setiap tahapan-tahapan pemilukada dapat terjadi lagi, agaknya susah untuk dihindari. Kemungkinan-kemungkinan konflik domestik tersebut bisa lahir ketika proses demokrasi pada berbagai level dan segmen masyarakat, menurut Sorensen bersumber dari kemerosotan otoritas kekuasaan, dimana kurang siapnya pemerintah dan otoritas penyelenggara dalam menata dan mengelola pemilu dengan baik, yang pada gilirannya menyebabkan ketidakpercayaan (distrust) diikuti dengan tindak kekerasan dan anarki, hal ini tentu sama sekali tidak kondusif bagi penciptaan dan pengembangan kebudayaan politik demokratis (Zein:2005).
Dalam setiap kontestasi dan kompetisi dalam pemilu yang demokratis, maka perbedaan kepentingan politik sesungguhnya sesuatu yang tidak dapat dinafikan,terlebih lagi demokrasi membuka seluas-luasnya kebebasan untuk berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan berserikat dalam masyarakat politik, meskipun demokrasi juga dapat menghadirkan peluang terjadinya konflik politik, bahkan sampai pada aras kekerasan politik.Dalam kaitannya dengan hal tersebut, paling kurang ada 5 (lima) sumber konflik potensial, baik menjelang, saat penyelenggaraan, maupun pengumuman hasil pemilukada.
Pertama, konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Mobilisasi politik atas nama etnik dan agama, baik secara bersama maupun terpisah, potensial muncul di wilayah-wilayah di mana ketegangan etnis cenderung tinggi seperti di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku, serta daerah-daerah di mana proporsi penduduk secara etnik dan/atau agama relatif berimbang. Sementara itu, konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama daerah asal (asli-pendatang) mungkin potensial muncul di hampir semua daerah yang menyelenggarakan pemilukada.
Kedua, konflik yang bersumber dari kampanye negatif antarpasangan calon kepala daerah. Berbeda dengan pemilu presiden, di mana kandidat hanya dikenal melalui media cetak dan elektronik, para calon kepala daerah adalah tokoh-tokoh yang hampir setiap saat bisa ditemukan di daerah. Sebagian besar masyarakat bahkan mungkin mengenal pribadi dan asal-usul tiap calon. Karena itu, kampanye negatif yang mengarah munculnya fitnah mengenai integritas kandidat bisa mengundang gesekan antarmassa pendukung dalam kampanye pemilukada.
Ketiga, konflik yang bersumber dari premanisme politik dan pemaksaan kehendak. Gejala ini seringkali muncul di beberapa daerah, saat massa pendukung calon memprotes keputusan KPUD karena calon tidak memenuhi persyaratan administratif yang ditentukan UU. Premanisme politik dan pemaksaan kehendak bisa muncul pula setelah pemilukada usai dan hasilnya diumumkan KPUD jika elite yang menjadi kandidat kepala daerah “tidak siap” menerima kekalahan dan memprovokasi massa pendukungnya.
Keempat, konflik yang bersumber dari manipulasi dan kecurangan penghitungan suara hasil pemilukada. Konflik jenis ini terutama berpeluang muncul di daerah-daerah di mana kepala daerahnya maju kembali sebagai kandidat untuk jabatan kedua. Netralitas panitia pemilukada di tingkat kecamatan (PPK) dan desa/kelurahan (PPS) amat menentukan. Potensi konflik juga bisa muncul jika aparat birokrasi (PNS, TNI, dan Polri) cenderung memobilisasi dukungan bagi kandidat dari unsur PNS, TNI, dan Polri.
Kelima, konflik yang bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan pemilukada. Sejumlah ketentuan pemilukada yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2015 tentangPerubahanAtasUndang-UndangNomor 1 Tahun 2015 TentangPenetapanPeraturanPemerintahPenggantiUndang-UndangNomor 1 Tahun 2014 TentangPemilihanGubernur, Bupati, danWalikotaMenjadiUndang-Undang, dan aturan main lain seperti Inpres, Keppres, Perpres, dan Kepmendagri, Peraturan KPU (PKPU)potensial mengundang konflik jika ditafsirkan secara berbeda oleh peserta (kandidat berikut partainya), penyelenggara pemilukadadi daerah (KPUD), pemda dan DPRD.
Faktor Pemicu Konflik
Idealnya pemilihan kepala daerah secara langsung yang dilaksanakan secara serentak memberikan kontribusi positif dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan lokal yang otonom dan demokratis, namun secara empiris tidak menutup kemungkinan potensi masalah-termasuk konflik politik-dalam pelaksanaan  akan bermunculan, dimulai dari masa persiapan sampai dengan pascapenetapan hasil. Demikian pula masalah bisa muncul dari unsur penyelenggara sampai pada pasangan calon dan partai politik yang mengusungnya.
Peta konflik dalam pemilihan kepala daerah secara langsung dan serentak, setidaknya diprediksikan akan menjadi sebuah rentetan konflik, bahkan potensi konflik ini juga bisa mencuat di daerah-daerah yang selama ini dikenal sebagai daerah normal-normal saja, atau daerah yang tidak pernah terjadi konflik sebelumnya. Dilihat dari dimensi vertikal-horizontal-hubungan elite-massa yang begitu dekat, etnonasionalisme, absolutisme kedaerahan, dan syarat dengan polarisasi kepentingan-  pemilukada secara langsung sangat rentan dengan konflik. Selain itu pula, pemetaan konflik politik dapat juga dilakukan dari berbagai segi, seperti ideologi secara makro, kondisi politik lokal (geopolitik), sosial budaya, dan keamanan.
Hampir pada setiap tahapan dalam pemilukada ada potensi konflik. Sebagaimana tahapan pemilukada serentak berdasarkan Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2015, yaitu mulai dari pelaksanaan penyerahan syarat dukungan calon perseorangan, pendaftaran pasangan calon, masa kampanye, laporan dan audit dana kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, dan penetapan calon terpilih yang dilaksanakan secara serentak di masing-masing KPUD di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Memangsampai dengan tahapan kedua berlangsung, tidak Nampak konflik yang berarti atau signifikan, meskipun riak-riak konflik di beberapadaerahsudahterjadi, meskipun dalam skala yang kecil. Salah satu masalah yang tak kalah gaduhnya muncul saat ini yaitu perdebatan terhadap pemilukada yang pasangan calonnya tunggal, di tujuhdaerah, yaitu: KabupatenTasikmalaya (Jawa Barat); Kabupaten Blitar, Kabupaten Pacitan, Kota Surabaya (JawaTimur); Kota Mataram (NTB); Kota Samarinda (Kaltim); dan Kabupaten Timor Tengah Utara (NTT), bisa menjadi sumber pemicu konflik di daerah karena ekspektasi yang tinggi dari kelompok masyarakat pendukung yang sudah siap, namun tidak dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi persyaratan pemilukada yang mengharuskan minimal terdapat dua pasang calon. Sehingga penyelenggaraan pemilukada dapat ditunda pada tahap kedua.
Potensi konflik diprediksikan akan semakin meninggi kadarnya pada tahapan pemilukada berikutnya, rawan akan terjadinya pelanggaran aturan oleh pasangan calon melalui tim sukses atau partai politik pendukungnya, seperti mencuri-curi kesempatan untuk lebih dulu mengambil simpati rakyat, kampanye hitam (black campaign), penggunaan fasilitas publikterutama oleh calon petahana (incumbent), pengaturan jadwal kampanye yang tidak adil, demikian pula potensi diskriminatif atau “bussiness mainded” media elektronik dan media cetak dalam memberikan kesempatan kepada peserta pemilukada untuk berkampanye. Demikian halnya tahapan pencoblosan, penghitungan, dan penetapan pasangan calon pemenang pemilukada memiliki andil yang cukup signifikan menjadi potensi konflik. Adapun faktor-faktor yang dapat memicu konflik dalam pemilihan kepala daerah secara langsung, terutama para elite politik lokal, parta-partai politik, KPU Daerah, dan instansi pemerintahan, sedangkan masyarakat hanyalah korban dari kepentingan sesaat segelintir elit saja yang dijadikan ujung tombok dari kepentingan pribadi (vested interest) atau kepentingan golongan tertentu. Lebih jauh lagi masyarakat dengan sengaja dibenturkan satu dengan yang lainnya, bahkan di saat masyarakat sudah membangun tingkat toleransi, kemudian dengan mudah dihancurkan oleh kepentingan politik elit.
Komitmen dan Political Will
Berpijak dari pemamaparan diatas, pengeloalaan konflik dalam pemilukada menjadi sangat penting sebagai upaya  antisipasi-preventif dalam mencegah terjadinya rentetan konflik yang hanya akan merusak bangunan demokratisasi yang di cita-citakan oleh bangsa dan negara ini, terlebih lagi merupakan kali pertama dilaksanakan dengan serentak, tentu akan sangat kompleks isu dan masalahnya, lebih jauh lagi banyak kepentingan-kepentingan yang muncul diusung oleh berbagai komponen dalam mempertahankan, mendapatkan, mengupayakan kekuasaan (struggle for power) dengan berbagai cara.  Untuk itu, dengan informasi yang utuh (comprehensif), valid dan memadai sejak awal, maka potensi konflik dapat diredam bahkan ditertibkan melalui upaya-upaya yang memadai (conflict management).
Untukitulah, makakomitmen KPU sebagai penyelenggara untuk memastikan agar pemilukada tetap berjalan sesuai rencana, akuntabel, independen, jujur dan adil berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi menjadi sangat penting. Demikian halnya pemerintah pusat dan daerah tetap konsisten dalam membuat formulasi kebijakan terkait dengan berbagai imperative pemilukada serentak sesuai dengan etika, moral dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) mendukung terselenggaranya pemilukada yang aman, damai dan demokratis. Terakhir dan tidak kalah pentingnya adalah
Kemauan politik (political will) parpol dalam mengawal proses pemilukada dengan mempersiapkan kader-kader terbaiknya untuk berkompetisi dalam kontestasi pemilukada dengan mengedepankan prinsip siap menang dan siap kalah sesuai koridor demokrasi untuk mewujudkan kepemimpinan daerah yang bersih, berwibawa dan akuntabel. Semoga.

                                                                                                  —————— *** —————–

Tags: