Menilik Jejak Sejarah di Ubaya Penanggungan Center

Tim Ekspedisi Ubaya menunjukan areal yang digunakan sebagai UPC untuk menggali jejak sejarah serta melestarikan kebudayaan dari dua kerajaan kuno

Tim Ekspedisi Ubaya menunjukan areal yang digunakan sebagai UPC untuk menggali jejak sejarah serta melestarikan kebudayaan dari dua kerajaan kuno

 

Temukan 127 Situs, Gali Peninggalan Kerajaan Mataram hingga Majapahit

Areal Gunung Penanggungan di Kabupaten Mojokerto telah ditetapkan sebagai satuan ruang geografis kawasan cagar budaya oleh Pemprov Jatim sejak 2015 lalu. Ratusan situs pun telah ditemukan mulai dari Kerajaan Mataram hingga Majapahit. Kini, upaya penelitian terus dikembangkan melalui Ubaya Penanggungan Center (UPC).

Adit Hananta Utama, Kabupaten Sidoarjo

Siapa tak kenal Gunung Penanggungan yang terletak di Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto itu. Bagi masyarakat Jatim, area pegunungan tersebut menjadi salah satu kawasan wisata yang cukup dikenal sehingga tak pernah sepi pengunjung. Baik yang ingin menikmati pesona air terjun Dlundung, sumber air Jolotundo, pendakian di puncak Penanggungan dan berbagai wisata agro serta out bond yang berderet di kawasan tersebut.

Di balik pesona keindahan itu, kawasan Gunung Penanggungan menyimpan perjalanan sejarah yang cukup panjang. Berbagai upaya untuk menelitinya pun telah dilakukan sejak pemerintahan Indonesia masih di bawah kuasa Hindia Belanda. Hingga kini, penelitian itu pun terus berlanjut sampai ratusan situs bersejarah berhasil ditemukan. Universitas Surabaya (Ubaya), merupakan salah satu perguruan tinggi yang fokus meneliti dengan mendirikan UPC di atas lahan empat hektare.

“Kita telah mendata ulang 127 situs, termasuk salah satunya ada di Jolotundo, gapuro Jedong dan situs Belahan, itu diduga masih banyak lagi, karena itu Pemerintah Provinsi Jatim telah menetapkan kawasan Gunung Penanggungan sebagai kawasan cagar budaya,” tutur tim ekspedisi Ubaya Theopilus Hermawan kemarin.

Theopilus mengatakan, kepedulian Pemprov Jatim cukup bagus dalam pengembangan wilayah ini sebagai cagar budaya. Hal ini membuka kesempatan bagi tim ekspedisi untuk terus mengeksplorasi situs-situs bersejarah yang belum ditemukan.

Situs-situ di Gunung Penanggungan, dikatakan Theopilus merupakan hasil pengembangan dari data yang di miliki pemerintah Hindia Belanda waktu itu. Namun, data dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan, ada sebuah perbedaan antara data sekarang dengan data dulu. “Akhirnya pada 2012 lalu Ubaya mulai lakukan ekspedisi dengan melakukan pendataan ulang untuk menjawab perbedaan data itu,” katanya.

UPC, lanjut Theopilus, dibangun sekaligus berfungsi untuk memfasilitasi para pemerhati sejarah ikut terlibat dalam upaya pelestarian budaya masa lalu dan cagar budaya. Segala informasi terkait Gunung Penanggungan akan disampaikan baik itu berupa data dan temuan. ” Ubaya sangat terbuka untuk para peneliti, dan siapapun yang mau belajar tentang sejarah di Gunung Penanggungan ini. Sebab hingga saat ini masih banyak situs-situs di Penanggungan yang masih menjadi misteri,” tutur dia.

Pemerhati arkeolog Hadi Sidomulyo sebelumnya mengatakan, penelitian terakhir di Gunung Penanggungan dilakukan sekitar 1990-1991 oleh Bakorsurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Setelah itu, tidak ada lagi. Penelitian kembali dilakukan baru setelah tim ekspedisi Ubaya terjun. Gunung Penanggungan menurutnya merupakan kawasan situs purbakala terkaya di Indonesia. Bahkan baginya, Penanggungan bisa menjadi lapangan dunia untuk penelitian.

“Zaman sekarang pelestarian tidak cukup. Manfaat yang paling menonjol melalui pariwisata. Karena Trawas, Pacet, maupun pusat kerajinan Majapahit serta Trowulan memiliki potensi pariwisata, bisa dipadu dengan Penanggungan,” kata Hadi.*

Tags: