Menimba Investasi Arab Saudi

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Marhaban, ahlan wasahlan khaddamul “al-haramain” (wahai, selamat datang kepada pemelihara dua kota suci), King Salman bin Abdulaziz al-Saud. Begitulah gelar resmi raja Saudi Arabia sejak tiga dekade silam, menggantikan istilah “al-mulk al-daulah shahibul jajalah” (yang mulia penguasa negara). Walau perubahan gelar (adat) tidak mengurangi kewenangan, namun terasa lebih santun, dan tidak menonjolkan kekuasaan.
Masih terdapat ke-ilmu-an riil, yakni al-hafidz (hafal AlQuran). Serta lima gelar doktor dari berbagai universitas kelas dunia. Beberapa negara (Mesir, Jepang, Malaysia dan Singapura) juga memberi gelar sebagai pemimpin dunia yang bijaksana. Termasuk pemerintah Indonesia memberikan gelar Bintang Adipurna (Pemimpin Besar yang Paripurna).
Lahir (pada 31 Desember 1935 (pada masa-masa sulit), masih banyak perang dan pemberontakan. Bahkan raja pendahulunya (raja Abdullah) masih memiliki banyak bekas luka (jahitan luka tusuk di perut, dada, kaki dan tangan) akibat perang. Masa-masa sulit dekade 1930-an, karena sumberdaya alam (minyak dan gas) Arab Saudi, belum ter-eksploitasi secara optimal. Kehidupan negara masih mengandalkan perdagangan dan ekses ibadah haji dan umroh.
Semuanya harus sering puasa, tak terkecuali warga negara asing (termasuk warga Indonesia) yang tinggal di Arab Saudi. Di dua kota suci (Makkah dan Madinah), sudah sangat banyak didirikan maktab-maktab (tempat tinggal jamaah haji dari seluruh dunia). Serta sangat banyak didirikan pusat pendidikan ke-agama-an (semacam pesantren di Indonesia). Banyak ulama Indonesia, merupakan alumni Arab Saudi.
Sebagai pangeran, dibesarkan di istana Murabba. Ibunya adalah Hassa Al Sudairi. Sesuai trah-nya ia memiliki nama lengkap, Salman bin Abdulaziz bin Abdul Rahman bin Faisal bin Turki bin Abdullah bin Mohammed bin Saud. Memiliki banyak saudara (pangeran). Juga memilki banyak anak. Salahsatu putranya, Pangeran Sultan, anggota kerajaan pertama yang terbang ke luar angkasa, Discovery pada Juni 1985. Putranya yang lain, Pangeran Faisal, menjadi Gubernur Madinah
Menjadi raja Arab Saudi, bukan hal mudah. Selain harus trah al-Saud, ditentukan pula kemampuan (manajemen) dan pengalaman dalam pemerintahan. Serta biasanya, tidak “gila” jabatan, melainkan dengan siaga menunggu titah raja. Selain itu, setiap pejabat tinggi Arab Saudi (pangeran), memiliki kebiasaan (nyaris wajib) sebagai dermawan. Harta yang disedekahkan dalam jumlah sangat besar, sampai trilyunan rupiah.
Bahkan ketika dilantik sebagai pucuk penguasa Arab Saudi, raja Salman bin Abdulaziz, mengeluarkan sedekah kepada seluruh warga Arab Saudi. Nilainya, sekitar Rp 65 juta per-orang. Sehingga nilai total sedekah raja baru bernilai US$ 21 milyar (lebih dari Rp 277 trilyun)! Itu belum termasuk bonus “berbahagia” pada saat pelantikan raja, yang diberikan kepada pegawai negeri (dan tentara) sebesar dua bulan gaji.
Pengalaman dan Expert
Bonus “berbagahia” pelantikan raja juga diikuti para pengusaha swasta, memberi sedekah kepada karyawan. Maka pelantikan raja baru, bagai pesata rakyat (kolosal) harapan baru kehidupan yang lebih makmur, dibawahkan pemimpin baru. Dengan gelar sebagai pemelihara kota Makkah dan Madinah, bagai menunjukkan altar ke-agama-an. Berdasar syari’at (Islam) yang kukuh.
Status sebagai “khaddamul al-haramain” diawali dengan penunjukan sebagai putera mahkota oleh penguasa terdahulu. Itu diperoleh raja Salman bin Abdulaziz al-Saud, pada 18 Juni 2012. Taklama setelah wafatnya putra mahkota (Pangeran) Nayef bin Abdulaziz. Dia juga ditunjuk sebagai Wakil Perdana Menteri Saudi. Pada 27 Agustus 2012, Pengadilan Kerajaan Saudi mengumumkan, Salman bin Abdulaziz, “Pjs” (pejabat sementara) manakala Raja Abdullah berada di luar negeri
Raja Arab Saudi ke-tujuh ini, juga dikenal telah kenyang dengan pengalaman di pemerintahan. Diawali pada dekade 1950-an, sang ayah, Raja Abdulaziz, menunjuknya sebagai perwakilan dan walikota di Riyadh pada 17 Maret 1954. Kala itu usianya 19 tahun. Pada 4 Februari 1963, ditunjuk sebagai gubernur Ibukota Arab Saudi, Riyadh.
Selama menjadi Gubernur Ibukota Saudi itu, berhasil mengukir reputasi cemerlang, menjadikan Riyadh dari kota medium menjadi kosmopolitan. Juga berhasil membangun sektor pariwisata, investasi (dalam negeri dan asing) di ibukota negara Arab Saudi. Riyadh, lebih gemerlap dengan perdagangan, perkantoran dan ke-wisata-an. Bandara King Abdulaziz, direhab untuk pertama kali.
Sejak itu (sebagai Pangeran) Salman bin Abdulaziz al-Saud, dikenal sebagai expert, piawai dalam perekonomian (pembangunan). Selain itu, Salman juga dikenal lihai menengahi perbedaan pendapat, dan menangani masalah hukum. Pada 5 November 2011, (pangeran) Salman diangkat menjadi Menteri Pertahanan. Hari itu juga pangeran Salman terpilih sebagai anggota Dewan Keamanan Nasional (NSC).
Meski tanpa pangkat level jenderal, pangeran Salman, menjadi anggota kerajaan yang paling ditakuti teroris. Selain dengan senjata, sebagai Menteri Pertahanan Arab Saudi, juga telah dirancang metode sistemik. Yakni melalui studi tentang sosiologi, hukum dan politik khusus tentang terorisme. Teroris combatan (bersenjata) akan diperangi sampai luluh-lantak. Namun juga disediakan cara  pengampunan untuk kader teroris (yang terbujuk retorika), dengan syarat bersedia  bekerjasama.
Kunjungan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud, diharapkan membawa nuansa baru hubungan bilateral. Ini kunjungan pemimpin negara sahabat yang pertama, sejak hampir 50 tahun lalu. Generasi terdahulu, Raja Faisal bin Abdulaziz (raja ke-dua), berkunjung ke Indonesia pada tahun 1970. Bukan sekedar memantapkan hubungan dua sahabat. Melainkan (dalam paradigma Islam) hubungan dua saudara. Indonesia, merupakan negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Peningkatan Investasi
Saat ini, muslim Indonesia ditaksir sebanyak 225 juta jiwa. Ironisnya, hampir separuh berstatus sebagai penduduk miskin! Tetapi muslim Indonesia, sebagaimana anjuran agama, tak hendak mengemis ke saudara negeri kaya. Melainkan dapat dijalin kerja (bersama). Dulu Arab Saudi, pernah memberi bantuan hibah berupa proyek jalan tol (Gempol – Perak), sepanjang 43 kilometer. Itu menjadi jalan pertama di Jawa Timur, dan memiliki fungsi sangat strategis untuk perekonomian.
Kini jalan tol Gempol – Perak, sudah beroperasi selama 31 tahun. Terbukti berkah. Setiap hari tak kurang dari 231 ribu kendaraan melaju. Pada tahun 2016, tercatat sekitar 83 juta kendaraan melintas di tol Gempol – Perak. Menjadi salahsatu jalan tol (antar-kota) terpadat ketiga di Indonesia, setelah tol Jagorawi (Jakarta, Bogor dan Ciawi), dan tol Cikampek. Andai tiada jalan tol itu, maka jalan nasional Surabaya sampai ke Gempol, niscaya sudah buntu, macet total.
Hubungan kedua negeri bersaudara (Indonesia – Arab Saudi), bukan sekedar bilateral resmi g to g (antar-pemerintahan). Hubungan budaya, dan hubungan antar-rakyat, malah lebih kuat. Serta berlangsung sejak 1000 (seribu) tahun silam. Dibuktikan dengan pusara makam saudagar Arab di Surabaya, Gresik, dan Aceh. Hubungan dagang berlanjut dengan hubungan budaya. Banyak pemuda Indonesia berangkat menuntut ilmu ke Saudi Arabia.
Diantaranya yang terkenal, adalah syeh Junaid al-Batawi, yang lahir di Pekojan, Jakarta Barat. Meninggalkan di Makkah, tahun 1840, pada usia 100 tahun. Ulama asal Betawi ini menjadi orang non-Arab Saudi pertama, yang menjadi besar di masjid al-Haram, Mekkah. Banyak murid (santri (dari Indonesia) syeh Junaid al-Batawi yang menapaki karir sebagai mufti agung dan imam besar masjid al-Haram.
Diantaranya, syeh Nawawi al-Bantani (asal Serang, Banten), yang menulis 115 kitab syarah tafsir dan hadits. Lahir di Serang, tahun 1815, dan wafat di Makkah (tahun 1897). Ada pula syeh Ahmad Khatib bin Abdul Latif Minangkabawi. Lahir di Agam (Sumatera Barat) tahun 1860, mengajar di dan menjadi imam besar masjid al-Haram di Makkah.
Pada era moderen (setelah kedua negara merdeka dari penjajahan), hubungan g to g (government to government) terjalin akrab. Pada kunjungan muhibah saat ini, akan dibicarakan penguatan investasi Arab Saudi di Indonesia. Dalam jangka panjang diharapkan, investasi  akan meningkat hampir seribu kali, menjadi sebesar US$ 25 milyar (sekitar Rp 330-an trilyun). Boleh jadi, kerjasama akan dimulai antar-BUMN, pada ekspansi kilang (pemurnia) minyak.
Selain kuota haji Indonesia, sektor wisata juga bisa menjadi ikon investasi. Antaralain, keindahan pantai Senggigi, di Lombok (Nusa Tenggara Barat). Serta pembangunan perumahan untuk MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) buruh muslim, dengan konsep mudlorobah (gotong-royong, subsidi silang).

                                                                                                   ————- *** ————-

Rate this article!
Tags: