Menimbang Cukai Rokok untuk BPJS

Oleh:
Nur Sholikhah
Mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

BPJS Kesehatan dibentuk sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2011 dan bertugas untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan (JKN). Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan jaminan kesehatan yang menjadi salah satu program jaminan sosial dan berlaku per 1 Januari 2014 dan diwajibkan untuk seluruh penduduk RI. Terdapat 2 jenis kepesertaan JKN, peserta PBI dan Non PBI. Premi yang wajib dibayarkan oleh peserta non PBI mengalami peningkatan menjadi 80 ribu (kelas 1) dan 51 ribu (kelas 2). Kelas 3 sempat mengalami revisi menjadi tetap 25.500.
BPJS Kesehatan, selaku pengelola dana JKN dikabarkan mengalami defisit sebesar 9 triliun per akhir 2017. Premi JKN mengalami peningkatan, namun dana BPJS Kesehatan dikabarkan mengalami defisit. Kenapa defisit? Antara pendapatan iuran peserta dengan pengeluaran untuk biaya pelayanan kesehatan ke PPK yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan tidak sebanding. Pengeluaran lebih besar daripada income (dana jamsos) yang didapat BPJS Kesehatan. Nah, jumlah peserta PBI yang lebih besar daripada peserta non PBI sekaligus jumlah premi PBI yangg cukup rendah menyebabkan kerugian pada BPJS Kesehatan. Artinya, salah satu opsi untuk menghentikan defisit tersebut adalah kenaikan iuran.
Penyesuaian besaran iuran atau kenaikan iuran sudah dilakukan sebanyak 3 kali sejak 2014, BPJS Kesehatan bersama pemerintah mencoba menghindari opsi tersebut karena perubahan iuran maksimal dilakukan sekali dalam 2 tahun. Sehingga, muncullah opsi kedua, yakni pemberian suntikan dana tambahan sesuai peraturan UU untuk BPJS Kesehatan
Salah satu opsi yang ditawarkan pemerintah sesuai amanat undang-undang dan sampai sekarang masih ada dalam tahap kajian adalah suntikan dana bagi hasil CHT (Cukai Hasil Tembakau). CHT ini memiliki peruntukan 50% banding 50%, 50% awal untuk mendukung program industri rokok dan 50% lainnya utk program prioritas daerah misalnya program di bidang kesehatan.
Jangan lupa, dana bagi hasil CHT merupakan dana yg masuk pada APBD, sehingga pengelolaannya murni dilakukan oleh pemerintah daerah. Cukai berupa hasil tembakau (CHT) memiliki sifat atau karakteristik yang konsumsinya perlu dikendalikan dan diawasi serta memberikan dampak negatif bagi masyarakat.
Sesuai UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik:
” konsumsinya perlu dikendalikan
” peredarannya perlu diawasi
” pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup
” pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan
Dengan kata lain, cukai adalah pajak dosa untuk beberapa barang yang memiliki karakteristik di atas dan rokok termasuk didalamnya.
Jadi, secara logika, seharusnya memang industri rokok bertanggungjawab atas dampak yang ditimbulkan, seperti penduduk yang menderita penyakit akibat rokok. BPJS Kesehatan menyebutkan, 30% klaim berasal dari peserta yang menderita penyakit katastropik dan diakibatkan oleh rokok. dan penyakit ini membutuhkan biaya yang besar. Nah, justifikasi itulah yang menyebabkan pemerintah menjadikan cukai rokok sebagai opsi suntikan dana, padahal tanpa menjadi opsi pun seharusnya industri rokok bertanggungjawab atas dampak penggunaan tembakau/rokok.
Jadi, sampai sekarang pemerintah dan jajaran stakeholder di indonesia masih mengklaim bahwa cukai industri rokok merupakan cukai terbesar yang dihasilkan dan mampu menyokong roda ekonomi Indonesia. Definisi “besar” ini salah, karena mereka mendefinisikan besar dari jumlah yang dihasilkan, lupa bahwa dampak akibat tembakau/rokok itu juga menghabiskan biaya yang besar, contoh penyakit yang dicover dengan klaim BPJS Kesehatan adalah penyakit yang butuh biaya perawatan tinggi, seperti DM, Hipertensi, Stroke, PJK yang disebabkan oleh tembakau.
Cukai rokok di Indonesia itu cukup rendah dibanding dengan negara lain. Indonesia masih susah menaikkan cukai rokok. Selain itu, Indonesia juga belum meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), padahal hampir seluruh negara di dunia sudah menandatangani FCTC. Kecuali 4 negara (Indonesia, Somalia, Sudan, Eritrea), seharusnya Pemerintah mau meratifikasi FCTC, jadi keberadaan rokok dikendalikan. Cukai dinaikkan.
Dengan FCTC, negara sepakat terhadap poin pengendalian industri tembakau yang itu akan berpengaruh pada beberapa kebijakan yang sudah ada, misalnya UU tentang cukai ataupun Permenkes tentang dana bagi hasil CHT.
Peran menyehatkan masyarakat bukan hanya dilakukan melalui JKN, tapi peran pemerintah daerah yang memiliki porsi APBD untuk bidang kesehatan khususnya untuk program kesehatan itu harus ditegaskan kembali.

———– *** ————-

Rate this article!
Tags: