“Menimbang” Jembatan Timbang

karikatur ilustrasi

Seratus hari alih-kelola jembatan timbang (JT) oleh pemerintah pusat, masih mencatat hasil buruk. Sangat banyak truk kelebihan muatan melintas di jalan, karena JT tutup operasional. Di Jawa Timur, hanya dua yang tetap buka (dari 20). Niscaya menyebabkan jalan rusak, serta kemacetan makin panjang. Penutupan JT dapat menyuburkan pungli (pungutan liar) di sepanjang jalan raya milik negara. Lalulintas jalan raya bagai kembali menjadi “belantara” sindikat angkutan barang.
Semula, JT merupakan salahsatu “tambang uang” pemerintah propinsi. Hasil JT menyokong PAD (Pendapatan Asli Daerah). Tetapi sejak awal Pebruari (2017), pemerintah pusat (Kementerian Perhubungan) mengambil alih-kelola JT di seluruh Indonesia. Persiapannya telah dilakukan sejak tahun (2016) lalu, termasuk status kepegawaian dan perhitungan aset. Pemerintah propinsi menerima “hasil jual” JT (areal dan bangunan).
“Hasil jual” aset yang tidak besar, namun kehilangan penghasilan rutin sangat besar. Selain itu, masih diperlukan penataan  dan sistem pengawasan lebih rigid. Termasuk lokasi JT yang harus digeser sebelum memasuki pintu tol. Di Jawa Timur, beberapa lokasi JT berada “setelah” pintu masuk tol. Sehingga JT akan sia-sia, karena seluruh armada angkutan barang akan bebas melenggang masuk tol, sebelum ditimbang.
Fungsi JT, sebenarnya merupakan urusan penagakan hukum di jalan raya milik negara. Tujuannya, agar kendaraan besar tidak melebihi tonage, secara konstruksi karoseri maupun berat muatan. Namun belum seluruh JT melaksanakan prinsip transparansi. Kecuali beberapa daerah, antaralain Jawa Timur, seluruh  JT telah menggunakan komputer yang ter-akses dengan timbang kendaraan. Karena sejak lama jembatan timbang menjadi arena pungli.
Namun, walau sudah computerized, masih bisa “di-akali.” Misalnya, hanya memasukkan bagian depan truk (kabin kemudi), sedangkan bagian badan (yang lebih berat) tidak masuk dalam titik timbang. Sehingga tonage-nya terdeteksi ringan. Sebagai gantinya, pengemudi truk menyerahkan uang “mel” (suap) kepada petugas. Itu pungli sistemik. Wajib diberantas dengan cara sistemik pula. Walau tidak mudah mengawasi operasional JT, tetapi Jawa Timur sukses mengelola JT. Termasuk menjejaki “kong-kalikong” pengemudi dengan petugas.
Pungli di JT, telah marak sejak 40 tahun lalu. Sampai rezim Pak Harto, juga gemas. Ingat dulu (dekade 1980-an), dilakukan pemberantasan pungli, dipimpin oleh Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Sasaran utamanya (yang dijadikan pen-citraan), adalah jembatan timbang! Dalam sehari, “omzet” pungli di JT bisa mencapai puluhan juta rupiah. Karena dalam satu lokasi JT, biasa dilintasi sekitar seribu kendaraan angkutan barang.
Alih-kelola ini merupakan amanat UU Nomor 24 tahun 20014 tentang Pemerintahan Daerah. Pada bab urusan pemerintahan kongruen, tercantum jalan raya milik negara, dikelola oleh pemerintah pusat. Sehingga urusan infrastruktur jalan arteri utama (yang berstatus milik negara) seluruhnya dikelola oleh Kementerian perhubungan. Termasuk di dalamnya jembatan timbang. Konsekuensinya, pemerintah pusat wajib meng-alokasikan anggaran untuk perbaikan jalan negara melalui APBN.
Hasil penegakan hukum melalui operasional JT bisa mencapai Rp 1 trilyun per-tahun. Menjadi pendapatan, penghasilan negara bukan pajak. Di Jawa Timur saja, penghasilan JT mencapai Rp 80 milyar per-tahun. Namun seharusnya, pemerintah propinsi juga dapat mengelola JT khusus pada jalan berstatus milik daerah (propinsi). Hal ini untuk mencegah penggunaan jalan propinsi oleh angkutan yang tidak sesuai beban tonase.
Banyak jalan arteri yang dahulu milik kabupaten dan kota, kini naik status menjadi milik propinsi. Kondisi ruas jalan ini patut dijaga, termasuk pengawasan tonage dengan sistem jembatan timbang. Jawa Timur menjadi propinsi yang paling siap meng-operasionalkan JT dengan standar integritas. Kelayakan jalan raya lebih  terjaga.

                                                                                                         ———   000   ———

Rate this article!
Tags: