Menimbang Mahalnya Biaya ‘Lockdown’

Novi Puji Lestari

Oleh :
Novi Puji Lestari
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang
Penyebaran virus corona atau Covid-19 di Indonesia terus meluas. Saat ini setidaknya sudah ada 117 kasus positif di tanah air, (16/3) dengan delapan orang sembuh dan lima orang meninggal. Informasi terbaru, virus sudah sampai ke kalangan pejabat negara. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dinyatakan positif virus corona. Tidak ingin kasus positif terus bertambah, pemerintah daerah hingga pusat pun mulai menerapkan kebijakan beraktivitas dan bekerja di rumah. Kebijakan mulai dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi), sampai pada kebijakan tiap daerah.
Usulan Lockdown
Di tengah kekhawatiran penyebaran virus corona, mencuat gagasan untuk memberlakukan lockdown (penutupan suatu kota) di Indonesia. Berdasarkan kamus Bahasa Inggris, lockdown artinya kuncian. Maksudnya, negara yang terinfeksi virus corona mengunci akses masuk dan keluar sebagai pengamanan ketat untuk mencegah penyebaran virus corona.
Berdasarkan Cambridge English Dictionary, lockdown berarti sebuah kondisi isolasi atau pembatasan akses sebagai langkah pengamanan. Terkait virus korona, lockdown dapat diartikan upaya menutup wilayah alias karantina wajib untuk mencegah penyebaran virus korona. Lockdown juga dilakukan dengan larangan mengadakan pertemuan yang melibatkan banyak orang, penutupan sekolah, hingga tempat-tempat umum. Dengan begitu, risiko penularan virus corona pada masyarakat di luar wilayah lockdown bisa berkurang.
Layaknya yang sudah diterapkan dibeberapa negara dengan melakukan isolasi massal atau lock down bagi aktivitas warganya terkait pencegahan virus corona (Covid-19), seperti di Tiongkok, lockdown dilakukan terhadap kota-kota di Provinsi Hubei yaitu Wuhan, Huanggang, Ezhou, Chibi, Qianjiang, Zhijiang, Jingmen, Xiantao, Xiaogan, dan Huangshi. Kota-kota di Provinsi Hubei itu dikarantina dengan begitu ketat dan akses kota ini ditutup agar virus korona tidak tersebar semakin luas.
Selama mengikuti perkembangan informasi atas upaya Pemerintah Indonesia dalam mengantisipasi penyebarluasan virus corona (Covid-19) hingga artikel ini ditulis, rupanya pemerintah menyatakan belum ada rencana memberlakukan lockdown. Meskipun, faktanya melangsir dari cnnindonesia.com (16/3), jumlah kasus positif Covid-19 terus bertambah. Jumlah kasus positif virus corona di Indonesia mencapai 117 kasus sejak diumumkan 2 Maret lalu, dengan 5 orang meninggal dunia, 8 orang berhasil sembuh, serta 7 orang lainnya diperkirakan akan sembuh.
Pemerintah melalui Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan mengatakan, sejauh ini banyak saran bagi pemerintah untuk melakukan lock down. Namun, menurut dia, kebijakan itu belum akan menjadi pilihan pemerintah yang akan memperkuat pelacakan (tracing) terhadap masyarakat yang diduga terkena virus corona. “(Kebijakan lock down) ini merupakan diskusi yang bertumbuh. Tapi sampai hari ini belum ada arahan untuk menjadi pilihan dalam konteks keputusan itu,” ujar Abetnego pada sebuah acara diskusi di Jakarta, Minggu (15/3).
Konsekuensi yang sangat besar apabila lock down dilakukan. Lockdown akan sangat memukul laju ekonomi Indonesia secara jangka pendek. Hal ini karena kota dengan kasus terbanyak virus corona ialah Jakarta, yang merupakan pusat pemerintahan, bisnis, dan perdagangan Indonesia. Berangkat dari pertimbangan itulah, Indonesia belum juga menerapkan kebijakan tersebut. Beberapa negara yang tidak memilih lock down sebagai opsi kebijakan pemerintahnya seperti Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan. Negara-negara itu menahan pertumbuhan jumlah kasus terinfeksi virus corona salah satunya dengan memperketat tes virus secara massal. Sedangkan saat ini Indonesia masih pada fase untuk memperkuat deteksi, pencegahan, serta memastikan tersedianya logistik medis seperti alat pelindung diri (APD).
Membaca konsekuensi lockdown
Keputusan melakukan lock down bakal berimbas pada konsekuensi yang perlu dipertimbangkan secara matang, baik secara ekonomi maupun sosial. Merujuk pendapat, Abetnego dan Bobby, Anggota Komisi IX DPR Saleh P. Daulay mengatakan bahwa opsi untuk lock down akan membawa risiko besar.
Hal senadapun diungkapkan oleh Peneliti ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menolak apabila Jakarta melakukan lockdown alias isolasi wilayah. Bhima menyebutkan 70% pergerakan uang nasional berada di Jakarta. Mulai dari bursa efek hingga bank sentral pun berada di Jakarta. Bhima menyimpulkan bahwa langkah lockdown terlalu beresiko, karena aktivitas ekonomi akan berhenti. Bisa saja Indonesia krisis ekonomi apabila Jakarta melakukan lockdown.
Menimbang kemungkinan-kemungkinan akibat-akibat fatal dari strategi ‘lockdown’, rupanya pemerintah lebih memilih untuk membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Berdasarkan Pasal 4 Keppres Nomor 7 Tahun 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 bertujuan meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan. Gugus tugas ini juga bertujuan mempercepat penanganan virus corona melalui sinergi antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Kemudian, gugus tugas tersebut bertujuan meningkatkan antisipasi perkembangan eskalasi penyebaran Covid-19 dan meningkatkan sinergi pengambilan kebijakan operasional.
Di satu sisi kebijakan ‘lockdown’ sejumlah pihak menilai kebijakan tersebut ampuh dalam menghambat penyebaran virus. Keampuhan tersebut mengacu pada apa yang sudah terjadi di Kota Wuhan, sumber virus corona. Setelah pemerintah China mengambil langkah lockdown, penyebaran wabah mulai bisa dikurangi. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai langkah tersebut bisa membuat laju perekonomian akan semakin berat. Pasalnya, dengan kebijakan self distancing yang kadar pembatasan pergerakan masyarakat akibat virus corona lebih renda saja, tingkat konsumsi masyarakat bisa turun tajam.
Bila tingkat konsumsi berkurang, maka pertumbuhan beberapa indikator penopang ekonomi pun akan mulai berguguran. Maklum saja, perekonomian nasional sangat bergantung pada laju konsumsi masyarakat yang kini jumlahnya 260 juta orang ini. Semua tahu begitu consumption turun ke 4 persen, maka turun semua ke kisaran 4 persen, kalau dia turun ke 3 persen, semuanya ikut ke 3 persen.
Kesimpulannya, kebijakan self distancing memang mau tidak mau sudah harus diterapkan. Sebab, rata-rata penyebaran virus corona di dalam negeri setidaknya mencapai 2,91 persen setiap jam. Kita bersama tentu tidak ingin seperti Italia dan Iran, yang ‘telat’ mengantisipasi penyebaran virus corona sampai akhirnya mau tidak mau menerapkan lockdown. Sementara itu, Indonesia bisa belajar dari China, yang merelakan laju perekonomiannya demi memutus mata rantai virus.
————- *** —————

Tags: