Menimbang Nasib Anak Hasil Pernikahan Siri

Oleh :
Dr Lia Istifhama, MEI
Sekretaris MUI Jatim

Pernikahan secara siri atau yang masih dilangsungkan secara agama dan belum diresmikan oleh negara, adalah fenomena yang masih biasa terjadi di lingkungan kita. Pernikahan tersebut tentu bukanlah pernikahan yang dapat dipandang dalam perspektif yang negatif, melainkan sebaliknya, yang mana pernikahan tersebut terjadi karena tujuan mulia pasangan yang menghindari hubungan zina.

Lantas, apakah pernikahan siri selalu mulus?

Fakta ternyata membuktikan banyak potret pernikahan siri yang merugikan salah satu pihak. Dan harus diakui, mayoritas korban adalah kaum perempuan. Terlebih, tatkala keinginan mulia seorang perempuan agar pernikahan tersebut dapat diakui oleh negara, gagal disebabkan situasi suami yang dilarang menikah lebih dari satu istri.

Seperti diketahui, di negara kita memang ada beberapa jenis profesi yang memiliki ikatan dinas berupa larangan poligami. Lantas, apakah hal tersebut bertentangan dengan agama? Maka jawabnya, tentu tidak. Karena setiap agama pun tidak menganjurkan adanya poligami, melainkan diperbolehkannya poligami dalam situasi tertentu, yaitu memberikan kemasalahatan dan menjauhkan dari kemafsadatan (kerusakan).

Namun situasi menjadi pelik tatkala seorang lelaki yang secara sadar mengetahui bahwa dirinya dilarang melakukan poligami, ternyata nekat mendekati perempuan yang bukan istrinya, dan kemudian menjeratnya dalam pernikahan siri. Menjadi sangat rumit tatkala kemudian hubungan pernikahan siri tersebut menghasilkan buah cinta, yaitu sosok anak yang berhak mendapatkan kasih sayang utuh orang tuanya.

Lantas, bagaimanakah dampak psikologi seorang istri yang mmenjadi istri siri tersebut?

Beban inilah yang kemudian tidak akan mudah dipikulnya. RA, misalnya. Karyawati swasta asal Sidoarjo ini, terlanjur luluh hatinya atas rayuan gombal seorang oknum Polisi Musi Rawas, Sumatera Selatan. Dan luluh hatinya menjadi jalan mulus seorang polisi yang berpangkat Aipda tersebut, untuk mengajanya melangsungkan pernikahan siri, hingga akhirnya lahirlah seorang anak yang sah sebagai buah cinta mahligai pernikahan.

Pernikahan Siri Adalah Pernikahan Sah

Setidaknya, hal tersebut harus terus diinternalisasi agar kita tidak mudah terjebak framing negatif kepada perempuan yang terjerak pernikahan siri. Tentu, kita pun seyogyanya jangan mudah terjebak untuk membuat judgement atau menghakimi bahwa pernikahan siri adalah tindakan negatif, melainkan harus kita bangun pikiran obyektif agar kita mampu menelaah situasi tanpa menghakimi salah satu pihak.

Menyebut pernikahan siri adalah sah, bukan berarti melukai istri pertama yang telah sah sebelumnya.

Setidaknya kalimat tersebut kemudian harus kita pahami secara utuh dan komperehensif. Dalam hal ini, upaya menerima situasi secara obyektif, bukan kemudian membuat salah satu pihak lainnya terluka, sebagai contoh, istri pertama yang telah diakui secara sah oleh agama. Namun, bagi kita semua yang berusia dewasa, tentu harus mampu berpikir bijak dan humanis. Disinilah tingkat kedewasaan kemudian diuji.

Tatkala seorang istri pertama menyadari kesalahan suaminya, dan memiliki jiwa humanis tinggi, maka berbesar hati akan menjadi pilihan mulia. Sebaliknya, tatkala seorang istri pertama memilih bersikap defensif dan cenderung menjadi benteng suami agar tidak melakukan poligami, maka kemanakah sisi kemanusiaannya dalam menyadari bahwa telah terlahir anak yang sah secara agama?

Tulisan ini kemudian tidak sedang menghakimi pihak manapun, melainkan menjadi sebuah upaya obyektifitas realita yang umum terjadi. Dan lagi-lagi, kaum perempuan bukanlah korban pemuas nafsu belaka. Karena kaum perempuan adalah ibu dari generasi bangsa. Tatkala seorang ibu memperjuangkan nasib anaknya, terutama pengakuan atas anak yang terlahir dari pernikahan sah, maka itu sama saja dengan sebuah potret bagaimana seorang ibu gigih memikirkan nasib generasi bangsa.

Akhir kata, terdapat sebuah hadis, bahwa Dari Hakim bin Muawiyah al-Qusyairi dari ayahnya ra., ia bertanya pada Rasulullah: “Ya Rasulullah, apakah hak seorang istri atas salah seorang di antara kami (suami?” Beliau bersabda: “Kamu memberinya makan ketika kamu makan dan memberinya pakaian ketika kamu berpakaian.

——— *** ———–

Tags: