Menindak Tegas Pengedar Vaksin Palsu

Ani Sri RahayuOleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang

Terkuaknya identitas fasilitas kesehatan dan petugas medis yang menggunakan vaksin palsu telah diungkap kepada publik. Menteri Kesehatan membuka keterangan itu dalam forum rapat kerja Kementerian Kesehatan, Komisi IX DPR, Mabes polri, BPOM, Satgas Penanggulan Vaksin Palsu, dan produsen vaksin PT Biofarma. Dua dokter, salah satunya direktur rumah sakit, ditetapkan sebagai tersangka. Bareskrim juga menetapkan 20 tersangka lain serta mendata klinik penerima.
Pengungkapan identitas medis tersebut sangat mengejutkan, namun sekaligus melegakan. Selama ini publik belum mendapatkan informasi secara gamblang identitas tenaga medis, klinik, rumah sakit, dan fasilitas kesehatan lain yang menggunakan vaksin palsu. Adanya dua dokter sebagai tersangka membuat syok orang tua yang telanjur mempercayakan imunasi mahal kepada yang bersangkutan.
Berikutnya, hanya dua dokter itukah yang memakai vaksin palsu? Kita memahami kerisauan orang tua yang mendatangi Rumah Sakit Harapan Bunda, Kramat Jati, Jakarta Timur. Mereka memvaksin anak-anak secara rutin ke rumah sakit tersebut untuk mendapatkan layanan terbaik. Mereka berharap anak-anaknya memiliki kekebalan atas bermacam penyakit, cacat berat, atau kematian akibat penyakit. Sungguh risau orang tua yang mendapati selama ini anak-anaknya ternyata mendapatkan imunasi dengan vaksin palsu sejak lahir. Pengungkapan identitas itu juga melegakan karena temuan tersebut menjadi pintu masuk untuk membongkar sindikat kejahatan mafia dunia medis kesehatan.
Jajaran kepolisian bersama Bareskrim tengah melacak alur distribusi vaksin palsu dan sedang bekerja mengumpulkan bukti-bukti apakah vaksin itu beredar dalam waktu dekat ini atau benar sejak 2003. Mulai dari pencari botol bekas, pengumpul botol, produsen, distributor, tenaga kesehatan, dan fasilitas kesehatan yang menyalahi prosedur standar kesehatan. Orang-orang yang terlibat dalam jaringan vaksin palsu harus diusut tuntas dan mendapatkan hukuman setimpal.
Kita menyayangkan adanya tenaga medis yang sengaja meminta tempatnya bekerja membeli vaksin dari CV Azka Medika yang bukan distributor vaksin resmi. Apabila motif ekonomi melatarinya, perbuatan itu tak manusiawi. Mengapa harus mengorbankan anak-anak, membuat risau para orang tua, bahkan mengabaikan kesehatan generasi bangsa? Kita mempercayakan kepada kepolisian untuk mengusut tuntas dan jaringan produsen dan penerima vaksin tersebut.
Tentu saja besar harapan, temuan tersebut bisa dijadikan pijakan negara atau instansi terkait masalah kesehatan untuk memberikan rasa aman warga negara, yakni tentu saja dengan menarik seluruh vaksin yang telah beredar kemudian mengganti dengan vaksin sesuai standar medis, bisa menjadi pertimbangan. Termasuk langkah-langkah penanganan untuk vaksinasi ulang terhadap korban, dengan menghadirkan kejujuran pemerintah.
Kejujuran pemerintah
Terkuaknya praktik pembuatan dan peredaran vaksin palsu ini sontak tengah membuat masyarakat, terutama orang tua yang memiliki anak dan balita merasa khawatir. Pasalnya, mereka khawatir terjadi apa-apa pada anak dan bayi mereka yang siapa tahu telah disuntik vaksin palsu. Sedangkan bagi yang belum juga takut apakah vaksin yang diberikan asli atau tidak.
Kekhawatiran para orangtua dapat kita maklumi. Maka itu, Kementerian Kesehatan melalui akun Twitter resmi @KemenkesRI, menegaskan bahwa peredaran vaksin palsu tersebut tidak perlu terlalu dirisaukan. Kemenkes menyampaikan agar masyarakat tidak perlu khawatir dengan peredaran vaksin palsu antara lain jika anak mendapatkan imunisasi di Posyandu, Puskesmas, dan Rumah Sakit Pemerintah, vaksin disediakan oleh pemerintah yang didapatkan langsung dari produsen dan distributor resmi. Jadi vaksin dijamin asli, manfaat dan keamanannya.
Jika anak mengikuti program pemerintah yaitu imunisasi dasar lengkap di antaranya Hepatitis B, DPT, Polio, Campak, BCG, pengadaannya oleh pemerintah didistribusikan ke Dinas Kesehatan hingga fasyankes. Jadi dijamin asli, manfaat dan keamanannya. Jika peserta JKN dan melakukan imunisasi dasar misalnya vaksin BCG, Hepatitis B, DPT, Polio dan Campak, pengadaan vaksin didasarkan pada Fornas dan e-catalog dari produsen dan distributor resmi, jadi asli dan aman. Kemenkes juga mengimbau agar orangtua membawa anak mengikuti program imunisasi ulang seperti DPT, Polio, Campak. Tanpa adanya vaksin palsu, imunisasi ini disarankan (harus) diulang. Jadi bagi yang khawatir, ikut saja imunisasi ini di posyandu dan puskesmas.
Kemenkes juga mengatakan dikabarkan isi vaksin palsu itu campuran antara cairan infus dan gentacimin (obat antibiotik) dan setiap imunisasi dosisnya 0,5 CC. Dilihat dari isi dan jumlah dosisnya, vaksin palsu ini dampaknya relatif tidak membahayakan.Hanya karena vaksin palsu dibuat dengan cara yang tidak baik, maka kemungkinan timbulkan infeksi. Gejala infeksi ini bisa dilihat tidak lama setelah diimunisasikan. Jadi kalau sudah sekian lama tidak mengalami gejala infeksi setelah imunisasi bisa dipastikan aman. Bisa jadi anak Anda bukan diimunisasi dengan vaksin palsu, tetapi memang dengan vaksin asli.
Demikianlah klarifikasi yang telah diberikan oleh Kemenkes. Meskipun Kemenkes sudah memberikan klarifikasi, namun bagaimanapun masyarakat masih menunggu hasil penyelidikan dan penyidikan dari kepolisian RI. Kita dorong Polri menuntaskan kasus vaksin palsu ini untuk memberi rasa aman di masyarakat. Ada baiknya hasil itu secepatnya diumumkan ke publik. Jika berbahaya katakan berbahaya, jangan ditutup-tutupi. Siapa tahu pelaku bermain dengan orang dalam dari instansi terkait? Hal ini juga untuk meredam kekhawatiran orangtua.
Terhadap pelaku, kita tuntut agar dijatuhi hukuman seberat-beratnya karena telah memperkaya diri dengan mengorbankan anak manusia yang tak berdosa. Berdasarkan pengujian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), setidaknya ada lima vaksin yang dipalsukan. Masing-masing Tuberculin untuk vaksin penyakit TBC, Pediacel dan Triacel untuk tetanus, Bioset untuk penyakit yang disebabkan oleh alergi, dan Hafren untuk hepatitis A.
Menurut Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, anak yang diberi vaksin palsu tentu saja tak mendapat perlindungan dari penyakit, seperti pemberian vaksin pada umumnya. Anak yang disuntik vaksin TBC palsu, misalnya, tak akan kebal terhadap penyakit itu. Artinya, anak itu perlu mendapat vaksin ulang.
Para pemerhati kesehatan juga khawatir soal kebersihan ketika vaksin tiruan itu diproduksi. Jika dilakukan secara serampangan dan bahan campurannya terkontaminasi, pemberian vaksin itu bukan hanya tak mengobati, malah memberikan penyakit baru kepada orang yang disuntik vaksin. Penemuan vaksin palsu ini seharusnya menyadarkan otoritas bidang kesehatan untuk lebih proaktif melakukan pemantauan. Salah satunya memastikan pasokan vaksin tersedia dengan cukup. Sebab, salah satu dugaan pemicu pemalsuan adalah tak sebandingnya pasokan dan kebutuhan vaksin. Celah itulah yang dimanfaatkan para kriminal tersebut.
Langkah tegas pemerintah
Pemerintah perlu menjelaskan kepada masyarakat agar lebih waspada terhadap obat atau vaksin palsu, dan tak mudah tergiur oleh rayuan harga murah. Menurut polisi, satu paket vaksin palsu hanya menghabiskan biaya Rp 150 ribu dan komplotan ini menjual dengan harga Rp 250 ribu. Sedangkan harga vaksin asli sekitar Rp 800-900 ribu per paket.
Pemerintah harus mengambil langkah menyeluruh untuk mengetahui secara pasti cakupan peredaran dan seberapa besar jumlah anak-anak bangsa ini yang menjadi korban dalam waktu 10 tahun pembuatan dan peredaran vaksin palsu tersebut. Intinya, kita menginginkan negara menebus kelalaiannya dalam perkara vaksin palsu ini dengan melakukan sejumlah langkah.
Pertama, menangani korban vaksin palsu. Pemerintah selanjutnya harus melakukan assesment terhadap dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari zat palsu itu. Kita juga mau rencana vaksinasi ulang bagi anak-anak yang dinyatakan mendapatkan vaksin palsu agar keamanannya dipastikan.
Kedua, menghukum siapa pun yang lalai dan terlibat pembuatan dan peredaran vaksin palsu tersebut. Jadi dalam kasus ini, penegak hukum juga mesti menjerat pelaku pemalsuan vaksin dengan memperlakukan sebagai kejahatan khusus extra-ordinary crime. Setara dengan tindak pidana terorisme dan makar. Pemalsuan vaksin dan sediaan farmasi lainnya dapat mengancam jiwa masyarakat. Karena itu UU Kesehatan telah mengatur hukuman tambahan denda maksimal (Rp 1,5 milyar).
Ketiga, meningkatkan pengawasan agar tak ada lagi vaksin palsu beredar di negara ini. Pemerintah dan masyarakat Indonesia mestilah mewaspadai peredaran vaksin palsu.   BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) mesti bekerja ekstra keras.
Langkah-langkah tersebut bisa diperkuat dengan program vaksinasi wajib, merupakan program pemerintah. UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 38 ayat (2), mewajibkan diselenggarakannya vaksinasi. Untuk Pemerintah Daerah (propinsi serta kabupaten dan kota) juga diberi  kewenangan merancang kebutuhan perbekalan kesehatan, tercantum pada pasal 41 ayat (1). Termasuk pengadaan vaksin dan pelaksanaan suntik vaksinasi.
Agaknya, UU Kesehatan telah mewaspadai perilaku kejahatan yang bisa menyertai program vaksinasi gratis. Terbukti pada pasal 48 ayat (1), dinyatakan bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilaksanakan melalui kegiatan pengamanan. Pasal 48 ayat (1) huruf n, dituliskan pengamanan terhadap sediaan farmasi dan alat kesehatan.
Lebih lanjut pada pasal 98 ayat (2), dinyatakan, “Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.” Peraturan tersebut masih ditambah dengan amanat pasal 105 ayat (1), yang menyatakan, “Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.”
Peraturan sudah lengkap mengatur pengamanan obat-obatan. Bahkan ancaman hukumannya cukup berat. Dalam UU Nomor 36 tahun 2009 pada pasal 197, dinyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi … yang tidak memiliki izin edar … dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”  Hak memperoleh pelayanan kesehatan, dijamin UUD pasal 28H ayat (1). Maka menjadi kewajiban negara melindungi setiap warga negara, dimanapun berada. Harus dipastikan, setiap warga negara aman dari penyakit akibat pemalsuan obat-obatan oleh penjahat.
Pemerintah melalui kepolisi harus jujur mau membongkar tuntas kasus ini dan bergerak cepat untuk mencegah meluasnya korban penyebaran vaksin palsu. Komplotan ini mesti dihukum berat agar menimbulkan efek jera bagi para pemalsu lainnya. Harus kita sadari benar bahwa kelalaian ini fatal dan berpotensi sangat buruk terhadap kesehatan dan masa depan anak-anak kita. Beredarnya vaksi palsu saat ini merupakan potret mafia dunia medis tanah air yang harus kita stop, sebab ini sangat berbahaya untuk masa depan generasi.Langkah tegas polisi harus diikuti pengawasan yang ketat oleh Kementerian Kesehatan agar pemalsuan serupa tidak muncul lagi di masa mendatang.

                                                                                                   ————- *** —————

Rate this article!
Tags: