Menjadi Bangsa yang Selalu Mawas Diri

Judul : Pemimpin yang Tuhan
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : Cetakan 1, 2018
Tebal : 392 halaman
ISBN : 978-602-291-512-6
Peresensi : Al-Mahfud
Menulis artikel, esai, dan ulasan buku di berbagai media massa.
Selama beberapa tahun terakhir, isu kebangsaan menguat seiring munculnya berbagai fenomena yang mengancam persatuan dan keharmonisan bangsa. Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, kebhinekaan, kemajemukan, toleransi, menjadi kata-kata sering dibicarakan publik. Berbagai kontestasi politik yang membuat suhu politik memanas, ditambah keriuhan era media sosial dan membanjirnya beragam jenis informasi di era digital, telah melahirkan suasana yang penuh sesak. Orang-orang, siapa pun, dari mana pun, kini bisa berbicara apa saja dan mengomentari apa saja.
Isu-isu sosial, ekonomi, bahkan agama, dihembuskan dan kerap dicampuri isu-isu politik. Akibatnya, tak jarang muncul perdebatan, saling hujat antar sesama di media sosial karena perbedaan pandangan. Bahkan, tak jarang perdebatan itu dipicu berita atau kabar palsu (hoax). Orang-orang bersikukuh dengan pendapat masing-masing, merasa paling benar dan di saat bersamaan menyalahkan yang lain. Fenomena tersebutlah di antaranya yang diteropong oleh budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam buku ini.
Di buku terbaru ini, Cak Nun mengajak kita melihat lebih dalam, lebih jernih, dan lebih teliti akan berbagai isu yang belakangan menjadi perhatian kita bersama. Dengan caranya sendiri yang unik dan khas, Cak Nun memandu kita untuk lebih dalam mengupas berbagai isu, topik, atau gagasan yang selama ini banyak disuarakan. Terkait fenomena orang-orang yang merasa benar dan menyalahkan orang lain, Cak Nun mengajak kita untuk melihat segala sesuatu sesuai konteks dan situasi.
Perdebatan saat ini menempatkan orang-orang pada keinginan untuk berdiri di posisi yang benar, dan orang lain salah. Kita seakan tak sanggup untuk benar, kecuali harus dengan menyalahkan orang lain. Bagi Cak Nun, benar dan salah memang harus jelas di wilayah hukum. “Namun, di wilayah budaya, ada faktor kebijaksanaan. Di wilayah politik ada kewajiban untuk mempersatukan. Agama menuntun kita dengan menghamparkan betapa kayanya dialektika antara sabil (arah perjalanan), syari’ (pilihan jalan), thariq (cara menempuh jalan), dan shirath (presisi keselamatan bersama di ujung jalan)” (hlm 15).
Melihat fenomena di mana orang-orang merasa paling benar dan sekaligus gemar menyalahkan orang lain, bahkan menjadi pemarah, Cak Nun melihat pentingnya kita semua kembali belajar ilmu aurat guna membangun peradaban kebijaksanaan. Sekarang, orang begitu gemar mengumbar aurat. Lebih bahaya lagi, menggunakan aurat untuk menyerang orang lain. Islam lebih ditonjolkan sebagai identitas, melalui simbol-simbil, kostum, jargon, dan bahkan yel-yel, bukan perangkat untuk menyelamatkan dengan skala rahmatan lil ‘alamin. “Kenapa manusia menyembah Tuhan, memeluk agama, dan hasil terbesarnya adalah bermusuhan satu sama lain?” tulis Cak Nun (hlm 28).
Kritik
Pertanyaan tersebut membuat kita berefleksi mengenai sikap kita dalam beragama. Belakangan, muncul orang-orang yang menggunakan agama tidak untuk menebarkan rahmat dan kebaikan pada sesama, namun justru untuk menyerang dan memusuhi orang lain. Di samping tentang fenomena saling menyalahkan dan sikap keberagamaan dewasa ini, banyak tulisan di buku ini yang mengkuliti dan mengkritisi berbagai jargon, gagasan, atau seruan yang selama ini sering kita dengar. Misalnya, semangat kebhinekaan yang belakangan selalu disuarakan oleh berbagai pihak, baik pemerintah, organisasi, maupun masyarakat luas.
Di tengah fenomena saling hujat, terutama di media sosial, yang melanda masyarakat belakangan, nilai-nilai kebhinekaan yang menjadi semboyan bangsa Indonesia sudah selayaknya kembali dikuatkan. Namun, slogan-slogan yang disuarakan mestinya benar-benar merepresentasikan semangat kebhinekaan yang merangkul dan menyatukan semua meski dalam perbedaan. Misalnya, kemuculan slogan “Saya Indonesia, Saya Pancasila” yang banyak disuarakan, dan semakin populer sejak peringatan Hari Kelahiran Pancasila beberapa waktu lalu.
Bagi Cak Nun, semangat Bhineka Tunggal Ika adalah semangat penerimaan, bukan penolakan. Sebab kalau semangatnya penolakan, bangsa kita akan terbiasa men-tidak-kan satu sama lain. Misalnya, kalau orang menyatakan “Saya Indonesia, saya Pancasila”, yang bukan “saya” jadi merasa dituduh tidak Indonesia dan tidak Pancasila. “Kenapa kok tidak “Kita Indonesia, kita Pancasila?” tanya Cak Nun (hlm 142).
Melalui buku ini, Cak Nun mengajak bangsa ini untuk berefleksi dan selalu mawas diri, baik masyarakat maupun para pemimpinnya. Kelihaian merangkai kata, membuat perumpamaan, dan menyentuh ceruk-ceruk pikiran terdalam yang memantik kita untuk merekonstruksi kembali pemahaman-pemahaman yang sudah diketahui, membuat tulisan-tulisan Cak Nun selalu menarik untuk dibaca dan diresapi.

——————– *** ———————–

Rate this article!
Tags: