Menjadi Pemain Utama, Figuran atau Penonton?

Wahyu Kuncoro

Wahyu Kuncoro

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Liberalisasi industri logistik kawasan ASEAN segera berlangsung bersamaan dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 sebentar lagi. Liberalisasi logistik mencakup jasa kargo, pergudangan, agen transportasi, kurir, hingga jasa pengepakan barang. Dibandingkan anggota negara ASEAN lainnya, potensi bisnis logistik Indonesia paling tinggi. Potensi logistik yang besar dalam era liberalisasi bermakna, kalau pelaku usaha logistik Indonesia tidak memiliki daya saing yang tangguh maka bukan tidak mungkin pasar besar tersebut menjadi ‘kue empuk’ bagi pelaku logistik negara ASEAN lainnya.
Data menyebutkan, peringkat Indonesia dalam laporan survei Logistics Performance Index (LPI) 2014 naik enam peringkat, dari 59 ke 53. Dalam laporan yang telah diunggah dari laman resmi Bank Dunia, Indonesia mendapat peringkat 53 dengan persentase rata-rata 66,7 persen. Menurut Bank Dunia, biaya logistik di Indonesia juga masih tinggi yakni 27% dari nilai PDB. Angka ini lebih tinggi dibanding Vietnam yang mencapai 25% dan sangat jauh dibanding Singapura yang hanya 8%. (Lihat tabel 1).
Tabel 1. Perbandingan Biaya Logistik Negara Maju dan ASEAN (% dari PDB)
Negara  Biaya Logistik  Negara  Biaya Logistik
Amerika Serikat  9,9  Malaysia  13
Jepang  10,6  Thailand  20
Korea Selatan  16,3  Vietnam  25
Singapura  8  Indonesia  27
Sumber : World Bank (2014)
Menilik masih tingginya biaya logistik di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara maju dan beberapa negara ASEAN lainnya menandakan bahwa biaya logistik masih menjadi salah satu faktor penyebab ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Akibatnya investor asing pun enggan menanamkan investasinya di Indonesia karena faktor tingginya biaya logistik. Maka ketika liberalisasi logistik berlangsung pelaku usaha logistik dari negara ASEAN yang lebih kompetitif akan dengan mudah akan menggeser bahkan mengambil alih industri logistik di tanah air.
Menggarap Potensi Logistik
Secara geografis Indonesia menjadi pusat perlintasan logistik dunia karena berada di antara dua benua dan dua samudra. Indonesia menjadi negara terseksi yang dilirik negara-negara ASEAN lainnya untuk dijadikan target pasar. Di luar faktor sebagai pusat perlintasan logistik dunia, sebagai negara kepulauan yang sangat besar, kebutuhan logistik menjadi sangat tinggi. Bagaimana tidak, Indonesia yang memiliki 17.508 pulau dengan jumlah penduduk lebih dari 242 juta memiliki potensi pasar logistik yang besar.
Potensi berikutnya yang menjanjikan pasar bagi bisnis logistik di Indonesia adalah pertumbuhan pesat perdagangan online seiring dengan meningkatnya penggunaan internet dan penggunaan gadget. Kondisi ini membuat Indonesia punya peluang bagus karecna daya beli kelas menengahnya tumbuh terutama untuk e-commerce.
Perkembangan teknologi membawa kehidupan masyarakat berubah sangat dinamis dan termasuk pada pola kehidupan yang modern, praktis dan efisien. Hal ini juga membawa pada pergeseran perubahan transaksi dari konvensional ke online yang semakin terlihat nyata. Indikasinya pertumbuhan pengguna smartphone  dan internet semakin tinggi. Ke depan,  model transaksi secara online akan menjadi pilihan para konsumen. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan, total nilai transaksi e-commerce Indonesia pada 2013 mencapai US$ 8 miliar atau sekitar Rp 94 triliun dan diprediksi terus meningkat hingga mencapai US$ 24 miliar atau sekitar Rp 283 triliun pada 2016.
Bisnis e-commerce, rupanya menjadi berkah bagi industri logistik di dalam negeri yang menjadi turunannya untuk pengiriman barang. Pasar di Indonesia, akan banyak mengalir ketika mulai banyak barang yang diperdagangkan, dan itu menjadi potensi untuk di-delivery. Kondisi akan semakin menjanjikan ketika arah kebijakan pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi-JK) juga mengarah pada hal itu. Terbukti,  pemerintah punya atensi terhadap pengembangan industri kreatif dan e-commerce, misalnya dengan mendorong pembayaran secara elektronik dan digitalisasi ekonomi.
Momentum Kebangkitan
Komitmen pemerintahan Jokowi-JK untuk mengembangkan aspek maritim salah satunya dengan konsep tol laut sungguh merupakan angin segar bagi sektor logistik. Kalangan pebisnis logistik optimis rencana merealisasikan tol laut, dipastikan, bisa mendongkrak potensi bisnis logistik di Tanah Air.
Data ASEAN  Statistics Database, per 14 Juli 2014 menunjukkan, total perdagangan di kawasan Asia Tenggara (Asean) mencapai US$ 608,63 juta. Nilai perdagangan Indonesia sudah  US$ 369,18 juta. Nah, dari nilai perdagangan tersebut, sekitar 80% berasal dari poros perdagangan Jawa – Sumatera. Koneksi dua pulau utama di Indonesia inilah yang menjadi tulang punggung bisnis logistik Indonesia saat ini. Imbasnya, banyak pebisnis logistik yang memusatkan kegiatan di dua pulau ini. Dengan demikian, ketika poros maritim dengan konsep tol lautnya terealisasi maka kue bisnis logistik akan lebih besar. Publik tentu berharap agar visi kelautan yang kuat dari pemerintahan Jokowi-JK ini nantinya juga diikuti dengan langkah-langkah nyata dalam mengembangkan sarana pendukung (baca : infrastruktur) penopang bangkitnya industri logistik di tanah air.
Selain mendorong penyiapan infrastruktur, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk melakukan penguatan-penguatan bagi para pelaku usaha melalui kebijakan-kebijakan yang pro pebisnis. Dan, kebijakan yang dimaksud tidak semua harus disertai investasi besar. Contoh sederhana, semua perangkat pembayaran di pelabuhan yang memakai mata uang dolar Amerika dijadikan rupiah. Itu sungguh menolong para pengusaha logistik, apalagi, insentif fiskal diberikan, seperti suku bunga diturunkan, unit-unit kendaraan diremajakan, biaya spare part khusus mobil alat produksi ataupun kapal sektor logistik akan lebih kuat dan kebijakan lainnya. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan perlu memberi stimulus fiskal, yakni meminta perlakuan yang sama dengan negara lain seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina yang memberikan subsidi terhadap perusahaan logistik nasionalnya. Sehingga, bisa lebih kompetitif dan tentunya usaha itu menjadi tambah sehat.
Terlepas dari masih banyaknya sektor yang harus dibenahi, publik rasanya patut memberi apresiasi atas beberapa langkah yang telah diambil pemerintahan Jokowi-JK melalui kebijakan yang diambil Kementerian Perhubungan. Kementerian yang kini dipimpin oleh Ignatius Johan ini telah memangkas 157 jenis peraturan yang meliputi rangkaian perizinan, sertifikasi dan rekomendasi untuk sektor transportasi darat, laut dan udara. Selain memangkas peraturan yang telah berlaku sejak 5 November 2014 lalu, kementerian perhubungan juga telah meningkatkan kapasitas dermaga dan sarana prasarana bongkar muat. Ujung dari serangkaian langkah-langkah tersebut adalah bisa menurunnya ongkos logistik di tanah air.
Didominasi ‘Pemain’ Asing
Persoalan berikutnya yang harus ditangani adalah realitas bahwa sektor angkutan logistik Indonesia masih dikuasai asing. Kita kehilangan Rp 80 triliun per tahun dari angkutan ekspor dan impor. Bahkan dari angkutan kegiatan lepas pantai (offshore) domestik, Indonesia kehilangan hingga US$ 1,2 miliar per tahun. Indonesia, bicara jaringan pelayaran logistik internasional, jelas masih dikuasai asing, khususnya layanan ekspor dan impor yang mencapai 90 persen. Hal ini dipicu masih sangat jarangnya kapal Indonesia yang mengambil rute ke luar negeri.
Pengusaha lokal sulit bersaing karena peran pemerintah menyokong industri masih minim. Tidak ada stimulus fiskal yang merangsang pengusaha berinvestasi lebih besar. Ditambah lagi, jaringan perusahaan pelayaran lokal terbatas di luar negeri. Beli kapal sangat mahal, bunga bank di Indonesia juga tinggi. Belum lagi jaringan rute internasional yang sangat terbatas karena di tingkat ASEAN saja belum semua pelabuhan disinggahi kapal berbendera Indonesia. Idealnya, pemerintah harus memberikan insentif kepada pengusaha kapal lokal, terutama bunga perbankan.
Perusahaan shipping lokal juga harus beraliansi dengan shipping line negara ASEAN lain sehingga mempunyai jaringan rute internasional yang kuat. Selain pelayaran logistik, perusahaan-perusahaan logistik multinasional mengincar pasar Indonesia. Kehadiran mereka sebenarnya menjadi tantangan sekaligus peluang untuk menciptakan persaingan kompetitif yang mampu memangkas biaya logistik nasional.
Penguasaan perusahaan asing di sektor transportasi dan logistik didominasi korporasi multinasional yang telah berjaringan komersial internasional, seperti DHL, Damco, Havi Logistics, IDS Log, dan Lifox. Seiring diberlakukannya MEA 2015, kedatangan investasi asing di bidang jasa logistik tentu kian meningkat. Perusahaan logistik asing yang datang telah lebih dulu berkemampuan teknologi dan jaringan. Di lain sisi, perusahaan berlabel internasional kurang membantu meningkatkan pengetahuan pemain logistik lokal ataupun berkontribusi terhadap pendapatan nasional.
Begitu dominannya pelaku usaha logistik asing, bukan berarti mematikan pelaku bisnis lokal di sektor logistik. Terbukti, perusahaan penyedia jasa logistik lokal Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (Tiki – JNE) bersiap mengakuisisi perusahaan asing di wilayah Asia Tenggara untuk menyambut MEA tahun depan. Menurut Managing Director Tiki JNE Johan Zein, pihaknya tengah melirik perusahaan logistik di Filipina dan Thailand. Selain karakteristik masyarakatnya yang mirip dengan Indonesia, pertimbangan yang digunakan adalah kedua negara tersebut tengah mengalami pertumbuhan e-commerce yang menjanjikan, Kompas (21/12).
Bahwa di luar Tiki-JNE, kita tentu berharap masih ada pelaku logistik lokal yang mampu tumbuh dan bersaiang dengan pelaku usaha logistik dari asing. Bahwa fenomena mengembangkan bisnis dengan menggandeng atau mengakuisisi perusahaan asing adalah bagian untuk memperkuat diri menghadapi persaingan di bisnis logistik yang bakan super ketat. Artinya, dengan keterbatasan jaringan yang dimiliki mayoritas pelaku usaha logistik tanah air maka membangun jaringan dengan pelaku usaha logistik asing adalah salah satu jalan keluar yang harus diambil. Di luar langkah tersebut, pelaku usaha logistik  harus tetap memperkuat jaringan dan layanan di dalam negeri dan yang tak boleh dilupakan adalah meningkatan kualitas SDM dan teknologinya.
Berkaca pada potensi dan ancaman di atas, maka sesungguhnya Industri pengiriman ekspres dan logistik di Indonesia memiliki kesempatan besar untuk berkembang. Tak hanya perusahaan besar yang bisa berkembang, pemain kecil pun memiliki kesempatan yang sama untuk maju.
Selama ini pengiriman barang dari luar negeri hanya sampai pelabuhan, siapa yang mau angkat sampai ke tujuan? Itu barangkali salah satu peluang yang belum banyak terpikirkan, semua bisa mendapatkan kesempatan, tinggal siapa yang bisa menangkapnya. Artinya potensi industri logistik yang sedemikian besar di depan mata tersebut itu mau diapakan? Apakah kita (baca : pelaku usaha logistik di Indonesia) ingin menjadi pemain utama, atau pemain figuran atau bahkan ingin sekadar menjadi penonton saja? Peran apapun yang dipilih tentu akan memiliki konsekuensi sendiri-sendiri. Bukan sekadar apa yang harus dilakukan, tetapi juga termasuk apa yang akan didapatkan ketika memilih peran tersebut.
Di atas itu semua, pemerintah harus hadir dan ikut serta memfasilitasi tumbuh dan bangkitnya pelaku usaha logistik yang handal dan tangguh. Saatnya pemerintahan Jokowi-JK membuktikan bahwa poros maritim yang digagasnya benar-benar akan menjadi momentum bangkitnya industri logistik di tanah air. Semoga

                                                                             ————— *** —————-

Tags: