Menjadikan Rumah sebagai Basis Peradaban

Judul : Rumahku, Tempat Belajarku
Penulis : Irawati Istadi
Penerbit : Pro-U Media
Cetakan : I, 2017
Tebal : 268 halaman
ISBN : 978-602-782-071-5
Peresensi : Tri Jazilatul Khasanah
Mahasiswi Universitas Negeri Malang 

Rumah merupakan tempat pertama pembentukan karakter seorang anak. Semenjak dilahirkan dan dibesarkan, anak akan memiliki lebih banyak waktu di rumah. Kebiasaan anak adalah mengamati dan meniru apa yang ada di sekililingnya. Orangtua perlu menciptakan suasana rumah yang edukatif sebagai sarana pembelajaran. Membiarkan rumah apa adanya tanpa sebuah rencana dan persiapan merupakan kemunduran.
Jangan sampai kehilangan kesempatan terbaik untuk mendidik anak, agar tidak timbul penyesalan di masa depan. Dalam memberikan pendidikan formal pun perlu perhatian. Seringnya, orangtua sudah merasa nyaman dan aman ketika anak berada di lingkungan sekolah. Seakan pendidikan anak sudah terpenuhi. Tetapi, pendidikan seperti apakah yang telah didapatkan di lingkungan sekolah?
Mayoritas, sekolah-sekolah formal lebih mendukung pada aspek kecerdasan dan prestasi. Kurikulum pendidikan di sekolah lebih dipadatkan dengan materi-materi ilmu pengetahuan. Membuat kita sebagai orangtua lupa, bahwa penanaman karakter pada diri anak adalah kunci utama yang harus dimulai sejak dini. Dan, hal tersebut jarang didapatkan di sekolah-sekolah formal. Tidak dipungkiri, semakin berkembangnya zaman, anak-anak terkena sindrom degradasi moral.
Rumahku, Tempat Belajarku merupakan sebuah buku yang mengajak kita untuk menjadikan rumah sebagai basis peradaban yang utama. Buku yang ditulis oleh Irawati Istadi berangkat dari bentuk keresahan akan pertumbuhan anak-anak yang kehilangan jati diri. Mereka lebih banyak dituntut dengan dunia pendidikan formal tanpa adanya pembelajaran dari orangtua. Terbitnya buku ini diharapkan bisa menjadikan orangtua untuk terjun langsung dalam mendidik anak-anak. Menerapkan pendidikan yang dibangun di rumah sendiri dan menjadikan orangtua sebagai gurunya.
Ayah dan ibu memiliki peran yang begitu penting dalam pendidikan anak. Selanjutnya, kita harus memahami bahwa kedudukan guru dalam proses ini adalah sebagai orang yang membantu ayah dan ibu untuk mencapai target-target yang telah ditentukan. Ayah dan ibu tetap sebagai pendidik utama. Selain karena sebagian besar waktu anak dihabiskan di rumah, orangtua juga pihak yang paling memahami tujuan dan visi misi pendidikan yang sedang diberikan itu, dan mereka pulalah yang paling memiliki hubungan batin-erat dan akrab-dengan si anak (hal 36).
Pendidikan anak tidak hanya di sekolah saja karena di rumah anak justru banyak menghabiskan waktu. Sehingga menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi orangtua untuk menciptakan rumah sebagai lahan kegiatan dan karya bagi anak. Kegiatan di rumah tidak harus dalam bentuk formalitas, tetapi sebuah aktivitas yang bersifat santai yang mengedukasi.
Ikatan hati orangtua dan anak adalah kunci komunikasi. Agar ketika orangtua memberikan sebuah edukasi, dapat diterima oleh anak dengan baik. Hal itu dapat dilakukan dengan membangun dialog-dialog edukatif orangtua dan anak. Dan, menegakkan budaya berilmu dalam keluarga. Untuk mewujudkannya diperlukan sebuah kurikulum dalam membangun pendidikan di rumah.
Pendidikan tanpa kurikulum tidak akan bisa tersistem dengan baik dan rapi. Akhirnya, bisa kekurangan di sana sini, atau sebaliknya tumpang tindih pembelajarannya. Karena itu, orantua harus mulai membuat rencana tatanan pembelajaran yang baik di rumah dengan target dan langkah yang jelas (hal 155).
Penerapan kurikulum pendidikan di rumah dapat dilihat dari dua aspek. Pertama pendidikan rumah bagi anak yang bersekolah formal. Di sini orangtua hanya memerlukan kurikulum pendidikan rumah untuk mengisi waktu ketika anak berada di rumah. Sebaiknya, kurikulum yang diberikan bukanlah kurikulum yang bersifat kognitif. Karena tenaga dan pikiran anak sudah terkuras oleh pendidikan formal. Maka perlu memberikan pendidikan yang belum diperoleh di sekolah, seperti pendidikan karakter, dan lainnya.
Kedua, pendidikan rumah bagi anak homeschooling murni. Di mana orangtua yang terjun langsung sebagai seorang pendidik. Sehingga diperlukan sebuah kurikulum yang lebih spesifik. Karena hal ini merupakan tanggung jawab penuh orangtua dalam memberikan pendidikan secara penuh di rumah. Keuntungannya, waktu yang tersedia untuk belajar di rumah lebih fleksibel, tinggal bagaimana menjalankan metode pembelajarannya. Di sini juga bisa sebagai wadah untuk anak-anak memilih sendiri terkait sistem pembelajaran yang diinginkannya.
Homeschooling atau sekolah rumah adalah pilihan orangtua untuk memberikan pendidikan bagi anak secara penuh di rumah, tanpa mengikuti sekolah formal yang ada di masyarakat (hal 212). Kelebihan dari sekolah rumah, orangtua bisa membuat arah pendidikan yang bebas dengan menyesuaikan potensi anak-anak tanpa terbebani oleh padatnya kurikulum yang diajarkan di sekolah formal. Sehingga anak-anak lebih terfokus akan tujuan yang diinginkannya, sedangkan orangtua memfasilitasi untuk meraihnya. Hasilnya, anak-anak bisa lebih unggul dalam mengembangkan potensinya tersebut.

——— *** ———-

Tags: