Menjadikan Sastra Sebagai Alat Penyadaran Kebhinekaan

Sastrawan kondang D Zawawi Imron saat menjadi pembicara. [[adit hananta utama/bhirawa]]

Surabaya,Bhirawa
Karya sastra tidak hanya soal keindahan dalam memilih kata. Lebih dari itu, sastra menyimpan nilai-nilai luhur yang penting dan berpengaruh terhadap cara pandang. Tak terkecuali dalam menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air dan merawat kebhinekaan.
Sastrawan ternama Aan Masyur dan D Zawawi Imron mencoba mengupasnya dalam satu ruang diskusi yang renyah. Aan mengatakan, membaca karya sastra dapat mempengaruhi cara pandang terhadap sesuatu hal. Tentu saja pengaruh itu tak serta merta hadir.
“Yang membaca karya sastra lebih bisa berimajinasi dan berpikir dalam kondisi yang ambigu,” ujarnya dia disela-sela dialog Pelibatan Komunitas Seni Budaya dalam Pencegahan Terorisme Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jatim, Kamis (16/3).
Kondisi tersebut, lanjut dia, tidak ditemukan pada orang yang tidak pernah membaca karya sastra. Penulis puisi dalam film Ada Apa Dengan Cinta 2 ini mengungkapkan, dalam sebuah penelitian, kelompok mahasiswa jurusan humaniora jauh lebih tipis terasuki radikalisme dibanding kelompok lain.
“Ini karena jurusan humaniora memiliki kognitif yang lebih terbuka dibanding mahasiswa lain. Sedangkan pemilik kognitif tertutup, lebih mudah menerima paham-paham terorisme,” jelasnya.
Untuk itu, dia menyarankan agar saat ini menghidupkan kembali kelompok kesenian mulai tingkat pendidikan menengah. “Sekarang kan sudah jarang anak sekolah memiliki kelompok kesenian,” terangnya.
Sementara itu, Zawawi Imron mengungkapkan, dalam sastra diperlukan bahasa. Namun, itu hanya bahasa terpilih. “Kata-kata itu memiliki ruh dan mampu menghidupkan kalbu pembacanya,” jelasnya. Sekarang ini, karya sastra jangan ditinggalkan. Apalagi sastra mampu mengoreksi keadaan yang tidak bagus.
Dia mencontohkan, kecintaan terhadap tanah air yang disimbolkan dalam istilah hamemayu hayuning bawono. Dalam lafadz itu diterangkannya sebuah arti tentang mempercantik tanah air. “Kita minum air Indonesia menjadi darah kita, beras Indonesia menjadi daging kita, udara Indonesia menjadi nafas kita, bumi Indonesia menjadi sajadah kita dan kita mati dalam pelukan ibu pertiwi,” sambungnya dengan sebuah lantunan puisi.
Sementara itu, Ketua FKPT Jatim Sobar Isman mengatakan, para budayawan itu merupakan komponen penting untuk mencegah terorisme. Mereka dapat menyampaikan pesan yang mudah dicerna masyarakat. Baik dari berupa karya maupun ketika berkesenian. “Pesan-pesan pencegahan terorisme dapat disampaikan melalui Jula-Juli atau berupa karya sastra,” kata
Dia menjelaskan, pelibatan komunitas seni budaya dalam pencegahan terorisme ini sudah dilakukan sejak tahun lalu. “Ini merupakan salah satu bentuk pendekatan lunak yang dilakukan FKPT Jatim,” tuturnya. Dengan begitu, paham-paham radikal yang berujung pada terorisme dapat dicegah melalui komunitas ini. [tam]

Tags: