Menjaga Harga Jagung

Jagung (1)Akhir Maret sampai April ini, akan menjadi puncak panen raya jagung. Namun petani was-was, karena harga jagung dalam tren merosot. Harga anjlok, bisa sampai dibawah Rp 3.100,- per-kilogram. Padahal biasanya, harga jagung (pipilan kering) bisa sedikit diatas harga gabah. Sekilas, seolah-olah hal itu wajar karena suplai melebihi demand (kebutuhan). Karena itu pemerintah mesti ekstra waspada menata perdagangan dan distribusi jagung.
Untuk mengamankan stok jagung nasional (tanpa impor), pemerintah seyogianya memborong hasil panen dengan harga layak. Juga untuk menghindari “permainan” harga oleh pedagang besar. Saat ini patokan HPP (harga pembelian pemerintah) jagung sebesar Rp 3.150,- per-kilogram. Mencapai harga tertinggi inipun tak mudah. Diantaranya, kualitas jagung harus memenuhi syarat kandungan air tak lebih dari 15%. Padahal, saat panen jagung bertepatan dengan puncak musim hujan.
Benarkah pemerintah akan coba memenuhi kebutuhan jagung tanpa impor, tahun ini? Itu masih harus dibuktikan. Bahkan Bulog sudah diberi “jatah” impor jagung selama triwulan I tahun 2016 ini. Jumlahnya mencapai 600 ribu ton. Walau (selalu) dengan persyaratan yang diperketat. Namun toh, masih terdapat jagung impor ilegal. Sebagaimana terjadi di pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, ditemukan 17 ribu ton jagung impor ilegal asal Brasil.
Tahun (2016) ini, diperkirakan panen jagung akan melimpah, mencapai 24 juta ton. Sedangkan kebutuhan nasional rata-rata sekitar 21 juta ton. Meruah-nya panen jagung disebabkan adanya tambahan lahan tanam seluas 1 juta hektar. Serta bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) berupa pemipil, dan pengering. Pemerintah menggelontor anggaran (APBN) lebih dari Rp 16 trilyun untuk tanaman pangan, termasuk di dalamnya alsintan.
Namun selain untuk penambahan lahan dan alsintan, anggaran APBN ternyata, juga impor jagung. Tahun (2015) lalu, misalnya, telah diimpor sebanyak 3,6 juta ton bibit jagung. Padahal, berdasar Inpres, impor bahan pangan boleh dilakukan manakala persediaan hasil panen dalam negeri tidak mencukupi. Puncak panen raya pada bulan April ini, hampir bisa dipastikan mencukupi kebutuhan nasional. Bahkan berlebih, bisa diekspor.
Karena persediaan berlebih itulah, harga jagung saat ini jeblok. Di berbagai daerah sentra jagung, sudah mulai nampak kegelisahan. Di Purworejo (Jawa Tengah) harga jagung sekitar Rp 2.600,- per-kilo pipilan kering. Di Pasuruan (Jawa Timur) sekitar Rp 2.800,-. Di Bolaan Mangondo (Sulawesi Utara) Rp 2.500,-. Bahkan di Dompu, hanya Rp 2.200-an. Dengan harga dibawah Rp 3.000,- per-kilogram, petani akan merugi.
Harga ke-ekonomi-an jagung, ditaksir (minimal) senilai Rp 3.150,- per-kilogram. Kalkulasinya, 1 hektar lahan menghasilkan sebanyak 7,6 ton. Sehingga dihasilkan total jagung senilai Rp 23,940 juta. Sedangkan total biaya tanam (termasuk memperhitungkan sewa lahan) sebesar Rp 12 juta. Jadi, masih tersisa (keuntungan) sebesar Rp 11,940 juta. Dengan catatan, seluruhnya sukses, tanpa serangan hama (serta virus), dan tiada bencana (angin).
Jika dihitung masa kerja tanam jagung (sampai panen) selama 4 bulan, maka keuntungannya sebesar Rp 2.985 ribu. Nilai ini hampir setara dengan rerata UMK (upah minimum kabupaten / kota) nasional yang sebesar Rp 3 juta-an. Cukup memadai, karena bertani jagung sesungguhnya lebih sulit dibanding ladang padi. Antaralain pemberian lebih banyak dibanding padi. Namun salah pemupukan (organik maupun an-organik) malah bisa mendatangkan bakteri.
Maka pemerintah (melalui BUMN Bulog), diharapkan memborong hasil panen jagung dengan harga fair. Wajib pula menghindari “bermain” dengan kandungan air maupun keutuhan butir jagung. Maka perlu pendampingan petani jagung saat menyetor hasil panen ke divre Bulog. Dengan itu, nilai ke-ekonomi-an lebih terjamin.

                                                                                                               ——— 000 ———

Rate this article!
Menjaga Harga Jagung,5 / 5 ( 1votes )
Tags: