Menjaga Harmoni Keberagamaan

Judul : Dinamika Kerukunan Antarumat Beragama
Penulis : Faisal Ismail
Penerbit : Rosdakarya, Bandung
Tebal : 186 halaman
ISBN : 978-979-692-571-1
Peresensi : Muhammad Itsbatun Najih
Alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Titah Nabi Muhammad Saw: Sampaikanlah apa-apa dariku walau satu ayat, menstimulus setiap Muslim berkewajiban berdakwah kepada siapapun. Dakwah adalah menyeru dan mengajak kebaikan. Bakal kontradiktif kala dakwah disampaikan kasar dan memaksa. Pekerjaan menyeru kebaikan sebenarnya fitrah bagi setiap pemeluk agama. Tidak didominasi cendekia dan golongan ulama. Berdakwah adalah saling mengingatkan satu sama lain lantaran manusia tempatnya lalai dan alpa.
Lebih lanjut, Islam termasuk agama missionary (agama dakwah). Mengajak kepada semua pihak berislam secara kaffah. Simbolitas agar dirinya tidak di surga sendirian, bisa didapat dari ritus pungkas shalat berupa salam; menoleh ke kanan dan ke kiri. Bermakna untuk bersosialisasi dan peduli lingkungan masing-masing. Menariknya, Faisal Ismail membuhulkan pemaknaan bahwa ucapan salam dan agama bersebut “Islam” itu sendiri berarti kedamaian. Berangkat dari sini, menjadi tidak koheren manakala berdakwah dibumbui aroma kebencian.
Kedamaian juga berkonklusi pada sikap menjunjung tinggi toleransi. Bila berdakwah, tentu perlu pensikapan penuh keramahan dan kehalusan tutur kata. Maka kepada pihak yang mengatasnamakan Muslim namun bertindak sesuka hati, barbar, dan melakukan kekejian terhadap non-Muslim, Faisal dalam karyanya ini mengecam keras mereka karena jelas sangat bertentangan dari visi-misi Islam. Dalam tamsil nyata, kita bisa menelunjukkan pada kelompok penebar teror seperti ISIS dan Boko Haram yang memaksa non-Muslim untuk masuk Islam.
Faisal mengajak kita menilik sejarah Fathul Makkah; Nabi Saw bersama pasukan Muslim bisa saja menumpas penduduk Mekkah atau memaksanya bersyahadat. Namun, tidak ada darah yang mengucur. Tidak pula ada gelaran pengislaman massal. Justru Nabi memberikan jaminan keamanan bagi mereka tanpa kompensasi sedikitpun. Hal sama juga Nabi Saw perlihatkan saat memimpin masyarakat Madinah. Kota berhawa sejuk itu dihuni pelbagai kelompok etnis dan agama. Komunitas Yahudi terbilang tidak sedikit. Tapi Nabi Saw tidak memaksa mereka menjadi Muslim. Bahkan Piagam Madinah pun sama sekali tidak memasukkan potongan ayat Quran sebagai elan kesetaraan kemajemukan berbangsa.
Piagam Madinah merupakan bukti Nabi Saw beserta kaum Muslim –yang menjadi mayoritas– dapat hidup saling menghormati bersama kelompok Yahudi. Dan, mereka dijamin hak hidup serta berniaga. Bila Madinah diserang, Yahudi dan Muslim wajib bersatu mempertahankan benteng kota. Sebaliknya, bila ada yang merongrong, mengkhianati kesepakatan perjanjian, siapapun itu: Yahudi atau Muslim, wajib beroleh konsekuensi hukuman. Gambaran ideal inilah yang menginspirasi para tokoh Republik kita untuk membuat model serupa bersebut Pancasila.
Indonesia yang berpunya enam agama “resmi” beserta banyak aliran kepercayaan tentu tidak mudah merawat kerukunan antarpemeluk agama. Islam, sebagai agama mayoritas dan negara Muslim terbesar di dunia mestinya dapat menjadi tamsil bahwa tidak selamanya mayoritas itu tidak menindas. Pun, Islam-Demokrasi nyatanya dapat seiring berjalan. Banyak puja-puji atas multikulturalisme di Indonesia. Namun diakui, celah dan renik gegeran-konflik melibatkan antarpemeluk agama juga pernah terjadi lebih dari sekali.
Dalam buku dari kumpulan tulisan di media cetak ini, Faisal menyodorkan langkah-langkah cermat nan apik agar masing-masing pemeluk agama, terutama Muslim, dapat menjadi mayoritas yang mengayomi minoritas. Dalam konteks Indonesia mutakhir, dakwah (Islamisasi) sudah tidak relevan lagi bila diarahkan kepada orang yang sudah beragama (non-Muslim). Begitupun sebaliknya (baca: Kristenisasi). Penyiaran agama/ceramah/dakwah hendaknya diarahkan dan dioptimalkan kepada kalangan internal.
Banyak cara ditawarkan agar antarpemeluk agama dapat menyemai kerukunan. Terutama sekali ditujukan kepada umat Islam -sebagai mayoritas– untuk menerima mengamalkan pluralisme agama. Paham dan pensikapan yang sering diartikan bahwa semua agama adalah sama “benarnya”. Gagasan pluralisme diharapkan agar umat Islam tidak menganggap non-Muslim sebagai musuh atau objek yang harus didakwahi demi menyelamatkannya dari api neraka. Namun rupanya, gagasan macam itu ditampik Faisal. Baginya, pluralisme agama tidaklah tepat karena dapat mengaburkan nilai keislaman itu sendiri. Faisal lantas meluruskannya: bahwa yang perlu disorongkan adalah sikap mengakui “keberadaan” mereka, bukan mengakui “kebenaran” mereka.
Jaminan kebebasan beragama/la ikraha fiddin atau bagimu agamamu bagiku agamaku/lakum dinukum waliyadin adalah sikap tepat dalam memandang yang bukan seagama untuk saling menghormati. Batasan toleransi beragama adalah sebatas tidak mengganggu peribadatannya. Faisal juga menyodorkan tamsil langkah brilian bagaimana penyebar Islam di Tanah Jawa (Wali Sanga) tidak menghancurkan satu pun candi dan pura. Melainkan berdakwah melalui jalur pendidikan dan budaya. Bukan lewat perang dan pemaksaan. Wallahu a’lam

                                                                                                   ———— ***————-

Rate this article!
Tags: