Menjaga Integritas Hakim dari Serangan Media Sosial

Oleh :
Kholilur Rahman
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya

Pada era digital saat ini penggunaan media sosial sudah berkembang sangat pesat dan cepat, dimana banyak masyarakat menjadikan media sosial seperti facebook, instragram, twiter ataupun media lainnya sebagai tempat untuk menyampaikan pendapat. Aplagi kebebasan berpendapat telah dijamin oleh hukum sebagaimana dalam pasal 28 E UUD 1945 bahwa setiap orang memiliki kebebesan untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Quot hominess, tot sententie, ungkapan lama ini bermakna sebanyak manusia itulah banyaknya pendapat (Peter Mahmud Marzuki, 2008). Apalagi ditengah era digital saat ini, sebagai seorang hakim tentunya harus menjaga independensinya dalam menangani perkara sehingga tidak ada intervensi melalui media sosial.

Potret buram penegak hukum pada kasus novel menjadi konsumsi publik dan membentuk atau menggiring opini publik masyarakat, padahal belum ada putusan hakim, dalam hal ini hakim harus tetap menjaga intergritas dan independensinya dalam menjatuhi putusan. Sedemikian besarnya pengaruh media sosial dalam mempengaruhi publik, KY sempat mengingatkan hakim yang menyidangkan perkara mantan Gubernur DKI Jakarta non aktif, yaitu Basuki Tjahaja Purnama pada tahun 2018 lalu, untuk tidak terpengaruh pada isu-isu yang berkembang di media masa dan media sosial (Majalah Komisi Yidisial, 2016).

Kemandirian hakim atau independensi hakim dijamin oleh undang-undang, oleh karena itu dalam memeriksa, memperimbangkan dan memutus suatu perkara dilarang ada campur tangan atau intervensi baik secara intern maupun secara ekstern dalam bentuk apapun. UUD dan undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan ruang untuk kebebasan bagi hakim, meliputi kebebasan mengadili, kebebasan dari campur tangan dari pihak luar. Artinya kebebasan ini harus benar-benar mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara.

Pentingnya tanggung jawab di ungkapakan oleh Emmanuel Levinas yaitu “Respondeo ergo sum” aku bertanggung jawab maka aku ada (Bertens, 2000). Tanggung jawab hakim secara vertikal yaitu dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan secara horizontal kepada semua manusia, sehingga dalam putusan harus diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bismar Siregar, Selaku mantan Hakim Agung Mahkamah Agung periode 1984-2000 mengemukakan dengan jelas bahawa “tanggung jawab hakim bukan kepada bangsa, namun pertama-tama kepada Tuhan Yang Maha Esa, baru kemudian kepada diri sendiri. Dengan ini menunjukkan bahawa tanggung jawab hakim itu kepada Tuhan bukan kepada kepercayaan sosial.

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

Dalam pengambilan keputusan para hakim tentunya harus berdasar pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang dijadikan landasan yuridis dalam menjatuhi putusan. Tidak hanyut dalam opini publik dan/atau tidak terpengaruh oleh isu-isu yang berkembang di media sosial, karena putusan yang tidak adil akan berdampak pada para yustiabel serta orang-orang yang terkena jangkaun putusan tersebut. Sehingga dalam hal ini, profesi hakim di ikat dengan rule of law dan rule of ethics yang pada dasarnya mempunyai tujuan menjaga martabat hakim dan keluhuran profesi hakim.

Manakala dikaitkan dengan factual patterns of behavior yang fokus studinya adalah perilaku. Perilaku hakim dalam kewenangan memutus dapat saja terpengaruh oleh pemberitaan yang terdapat pada media masa. Sehingga hakim harus benar-benar menjaga prilakunya berdasarkan pada 10 prinsip-prinsip kode etik dan pedoman perilaku hakim yaitu : (1) berprilaku adil, (2) berprilaku jujur, (3) berprilaku arif dan bijaksana, (4) bersikap mandiri, (5) berintegritas tinggi, (6) bertanggung jawab, (7) menjungjung tinggi harga diri, (8) berdisiplin tinggi, (9) berperilaku rendah hati, (10) bersikap profesional, sebagaimana telah di jelaskan dalam keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Dalam Seluruh kualifikasi hakim yang dimuat dalam Bangalore rinciple yang kemudian diperluas dan diterjemahkan ke dalam 10 pedoman perilaku hakim itu adalah kewajiban komulatif bukan alternative bagi hakim, hak bagi seorang yang diadili serta hak bagi masyarakat luas (Farid Wajdi, dkk. 2020). Bagi seorang hakim yang melanggar kode etik akan diberikan sanksi yang tegas. Namun tidak hanya 10 perilaku tersebut, hakim juga harus menjaga perilakunya dalam bermedia sosial.

Hakim memegang peran penting dalam menentukan baik buruknya penegakan hukum dan keadilan, untuk itu hakim membutuhkan kemandirian dalam memeriksa, mempertimbangkan dan memutus suatu perkara. Kemandirian atau independensi hakim berkonstribusi terhadap ketidakberpihakan, artinya hakim dalam memutus perkara harus bersikap netral dan tidak tunduk pada pengaruh apapun. Bentuk yang relevan merujuk pada pendapat Franken ahli hukum belanda, mengenai Praktische of Feitelijke Onafhankelijkheid (independensi praktis yang nyata) bahwa independensi hakim untuk tidak berpihak (ipmarsial). Hakim harus mengikuti perkembangan pengetahuan masyarakat yang dapat dibaca atau disaksikan dari media. Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh berita-berita itu dan kemudian mengambil begitu saja kata-kata dari media tanpa mempertimbangkan hakim juga harus mampu menyaring desakan-desakan dalam masyarakat untuk dipertimbangkan dan diuji secara kritis dengan ketentuan hukum yang sudah ada (Firman Floranta Adonara, 2015).

Oleh karena itu untuk membendung serangan media sosial terhadap integritas hakim, maka diperlukanlah program pengawasan mengenai prilaku hakim, dan pembinaan terhadap para hakim dalam bermedia sosial. Sumartoyo anggota Komisi Yudisial Republik Indonesia (pada Majalah Komisi Yudisial, 2019) memberikan pemahaman, bahwa konteks kebebasan peradilan (independency of judiciary) haruslah diimbangi dengan pasangan utamanya yaitu akuntabilitas peradilan (accountability of judiciary), dan konsekuensi lebih lanjutnya adalah adanya pengawasan atau kontrol yang seharusnya melekat pada kinerja badan-badan peradilan, baik mengenai jalannya peradilan maupun perilaku para aparatnya. Dengan adanya pembinaan terhadap para hakim dalam bermedia sosial serta pengawasan atau kontrol dalam prilaku hakim, diharapkan agar para hakim tidak mudah berkomentar atau berependapat di media sosial, serta tidak terpengaruh oleh opini publik yang beredar di media sosial. Seperti apa yang telah disampaikan di atas bahwa tanggung jawab hakim adalah kepada Tuhan bukan kepada kepercayaan sosial.

———- *** ————

Tags: