Menjaga Kebhinekaan di Tengah Media Sosial

Asri Kusuma DewantiOleh :
Asri Kusuma Dewanti
Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Perluasan dan penyebaran informasi di jejaring media sosial (medsos) saat ini sudah tidak dapat dibendung lagi. Kelahiran media sosial digital berbasis sistem operasi jaringan (internet) semacam Friendster, Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp, Blackbery Messenger, Youtube dan lain-lain, mempercepat proses interaksional yang disebut Chalaby (2003) sebagai pangkal dari tersusunnya cara-cara komunikasi baru. Oleh Hafez (2007), revolusi komunikasi ini ditahbiskan sebagai “fenomena desa global” (global village phenomena), dunia dibaratkan sebuah komunitas raya yang memiliki hubungan komunikatif unik ala desa tradisional.
Konsekuensi konsep di atas memicu terbentuknya interelasi baru dengan kelompok-kelompok sosial yang belum pernah terpetakan pada masa-masa sebelumnya. Ada proses interaksi yang lingkaran pergaulannya semakin meluas daya jangkaunya. Beragam informasi mudah diakses dan didistribusikan kembali dalam berbagai bentuk. Pertumbuhan dan pengguna medsos pun terus meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi. Sehingga kehadiran media sosial ini sangat membantu aktivitas manusia untuk pendidikan, berbisnis, maupun hanya sekadar menjalin silaturahmi dan berbagi informasi.
Fenomena media sosial
Realitas saat ini telah menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin “melek” teknologi, maka pengguna media sosial terus bertambah. Tahun 2015 saja ada 88,1 juta, dan 79 juta di antaranya merupakan pe­ngguna medsos aktif. Dari angka tersebut tidak mengherankan Indonesia dengan jumlah penduduk hampir 250 juta merupakan salah satu negara teraktif menggunakan medsos. Bahkan menurut data yang telah dikumpulkan oleh We Are Social, dalam setahun mulai dari 2015 hingga 2016, ada kenaikan sekitar 15 persen pengguna aktif medsos. Pengguna internet melalui ponsel pintar berbasis android di Indonesia pun kini mencapai 124 juta. Tren ini di akhir 2016 akan terus meningkat signifikan.
Namun sangat disayangkan penggunaan medsos saat ini sudah mengarah tak “sehat”. Sebagian pengguna medsos melanggar aturan norma, etika dan hukum. Isi pesan yang ditampilkan bukan lagi untuk berbagi informasi dan membangun kualitas pendidikan, bukan lagi untuk berbisnis dan bukan lagi menjalin silaturahmi atau pertemanan, tetapi sudah mengarah kepada informasi yang tak benar dan memancing kebencian dan perpecahan.
Hambatan kuno berupa stereotipe klasik yang selalu memanfaatkan jurang perbedaan elementer semacam SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dan ideologi makin meluntur seiring menguatnya solidaritas interindividu dan antarwarga dunia. Saling hujat, saling benci dan saling memperkuat ego kedaerahan, kesukuan dan agama terus mengalir sesama pengguna medsos.
Berbagai persoalan berbau suku, agama, ras dan golongan (SARA) terus mencuat di jejaring medsos. Padahal sebagai bangsa yang besar, beradab dan menghormati nilai – nilai budaya ketimuran, tentunya persoalan mengarah SARA itu tidak perlu muncul. Untuk itu patut kita renungkan. Melihat kenyataan ini, sudah saatnya kebinekaan harus menjadi rujukan. Apalagi Indonesia terdiri dari beragam suku, bahasa dan agama. Setidaknya ada 1.128 suku dan lima agama. Keragaman dari perbedaan yang ada itu menjadikan Bangsa Indonesia indah, karena lahir dari perbedaan. Presiden Joko Widodo ketika memberikan sambutan dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Amanat Nasional (PAN) Minggu lalu, juga mengingatkan perbedaan merupakan hakikat Bangsa Indonesia. Ungkapan Presiden dapat kita tafsirkan bahwa perbedaan merupakan jati diri bangsa dan negara Indonesia. Masyarakat Indonesia sejak dahulu sudah terbiasa hidup dan beraktivitas dengan beragam perbedaan.
Namun kondisi saat ini dengan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang dikemas dalam jaringan medsos, terlihat perbedaan tersebut dipergunakan untuk memperuncing dan memperkeruh perbedaan. Kondisi ini dilihat dari menyebarnya ujaran – ujaran kebencian dan penggiringan opini masyarakat tertentu, untuk menilai seseorang atau lembaga itu, bersalah atau tidak. Penggiringan opini melalui medsos terkadang juga langsung memvonis seseorang atau lembaga tetap bersalah. Padahal informasi yang diterima belum tentu benar adanya. Bisa saja informasi itu salah dan fitnah.
Untuk itu sebagai pengguna medsos diminta untuk tidak langsung menerima atau “menelan” bulat – bulat informasi jejaring sosial sebagai suatu kebenaran. Informasi yang diperoleh tersebut hendaknya disimak, diteliti dan disaring apakah mengandung kebencian atau sebuah “dagelan” yang sifatnya multi tafsir dan membuat orang penasaran. Atau informasi itu sebuah provokasi untuk memancing keributan di tengah – tengah masyarakat. Berbagai peristiwa yang telah terjadi dan kemudian menjadi bahasan di medsos seperti seperti peristiwa di Papua, Tanjungbalai, kasus Gubernur DKI Jakarta nonaktif, dan terakhir peristiwa di Kalimantan Timur.
Merujuk pada kebhinekaan
Melihat fenomena pesan yang mengalir di dunia maya tersebut, maka sudah sepatutnya kita untuk selalu waspada dan menyadari efek dari pesan yang didistribusikan kepada sesama pengguna. Pendeknya, kewarganegaraan dan bangsa sedang mengalami redefinisi menuju sebuah paradigma baru, yakni dunia yang cair, seluruh penduduknya memiliki pertalian hubungan erat tanpa harus dipusingkan dengan keterpisahan dimensi spasial. Gonjang-ganjing yang menjurus rusaknya persatuan dan kesatuan di Negara kita akibat kurangnya control terhadap lalu lintas komunikasi dan informasi lewat media sosial. Media sosial seakan-akan menjadi momok yang dapat menjadi dilema.
Ibarat buah simalakama, maka media sosial disatu sisi bisa memberikan seribu satu manfaat jika dimanfaatkan dengan sebijak-bijaknya, namun bisa menjadi senjata yang mematikan yang mampu memicu perang dan kerusuhan. Namun, semua itu bisa saja tidak terjadi jika negara kita telah terpenuhi syarat-syarat berikut :
Pertama, terpenuhinya pendidikan etika dan moral di sekolah-sekolah di seluruh Nusantara dengan baik. Kurikulum yang mengajarkan etika dan moral disetiap mata pelajaran, mulai dari pelajaran Agama, PKN, hingga pendidikan TIK telah mengajarkan bagaimana etika dan moral memanfaatkan perangkat IT dengan baik, sehingga setidaknya kita tau untuk apa dan saat dimana perangkat IT digunakan dan saat dimana dan sedang apa tidak perlu digunakan. Juga, apa efek negative dan positif pemanfaatan TIK, dan lain sebagainya.
Kedua, adanya control keluarga, masyarakat dan aparatur Negara dalam membangun generasi yang peduli akan pemanfaatan media sosial untuk kebaikan. Orang tua harus mampu menjadi benteng dari efek negative pemanfaatan media sosial dengan cara mengawasi perilaku anak, pergaulan anak, dan pemanfaatan anak terhadap sarana Internet dan media sosial. Memberikan kepercayaan penuh kepada anak saat memanfaatkan media teknologi adalah suatu kesalahan fatal. Tetapi dengan mengawasi game, informasi yang diakses, setidaknya kita dapat menjadi penyelamat anak-anak kita dari pengaruh-pengaruh negative media sosial.
Ketiga, tetap memupuk hati nurani saat berselancar di dunia maya. Artinya, jangan emosi menanggapi sesuatu masalah yang terjadi, sesuatu informasi yang disediakan oleh media sosial harus mampu di pilah, yang mana perlu ditanggapi yang mana yang tidak perlu, tetap mampu berpikir dengan logika, apa tujuan kita saat berselancar di dunia maya, jangan tergoda dengan tawaran berjuta-juta hal yang disediakan oleh media sosial namun focus dengan tujuan untuk mengupgrade ilmu pengetahuan dan teknologi, berkomunikasi dengan baik di media sosial. Hindari comment-comment yang negative, berpikir terlebih dahulu sebelum menuliskan sesuatu hal, baik itu status atau komentar terhadap status orang lain. Karena itu mari kita berfikir bijak dan dewasa dalam menerima setiap informasi melalui medsos. Bersikap bijak dan dewasa merupakan filter awal agar tidak terjebak efek negatif medsos. Dengan demikian pengguna dapat membangun medsos yang “sehat” dan memperkokoh persatuan, kesatuan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.
Sekiranya, dari ketiga langkah ini sudah cukup untuk menghindari diri kita terjerumus menjadi sampah di media sosial. Cukup tidak dikejar-kejar oleh pihak yang berwajib dan menjadi bahan pergunjingan di dunia nyata. Melihat kenyataan ini, sudah saatnya kebinekaan harus menjadi rujukan untuk menjaga kerukunan hidup bermasyarakat di Indonesia yang memiliki semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, biarpun beragam-ragam tetapi tetap satu jua!. Indonesia akan menjadi kuat dan tidak terpecahkan apabila kita mampu menjadi agent yang menjaga negara ini tetap utuh. Bukan semata-mata tugas TNI, Polisi, tetapi tugas kita sebagai pribadi dan warga negara yang baik untuk menjaga keutuhan NKRI dengan tidak menjadi sampah di media sosial.

                                                                                                          ————- *** —————

Tags: