Menjaga Kerukunan Melalui Medsos Beradab

(Menghapus Konten Ujaran Kebencian dan Fitnah Kelompok)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial Politik

Bangsa-bangsa se-dunia kini sedang menuntut model corporate responsibilty (tanggungjawab perusahaan) aplikator teknologi informasi. Produk media sosial (medsos) dikhawatirkan mengacaukan kehidupan sosial. Tak terkecuali berpotensi perang dunia ketiga. Perusahaan induk medsos paling kesohor di dunia (facebook) telah sering menerima komplain dari berbagai negara. Terutama berkait hoax. Bahkan cuitan (melalui twitter) pucuk pimpinan negara di Timur Tengah juga dipalsukan. Bisa memicu perang kawasan.
Yang terbaru, Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, memprotes facebook, yang menayangkan penembakan di masjid Al-Noor, Christchurch. Bahkan seorang pemuda di Selandia Baru, kini sedang menghadapi ancaman hukuman. Karena turut menyebarkan gambar penembakan terorisme di masjid Al-Noor. Begitu pula senator Australia, menerima “hukuman sosial,” karena komentarnya di medsos. Rambut di kepala senator dilempar telur, karena menyalahkan pihak muslim dalam terorisme di masjid Al-Noor, Selandia Baru.
Namun berbagai ke-gaduh-an medsos, menunjukkan ke-tidak siap-an sosial menerima perkembangan (pesat) teknologi informasi. Termasuk ke-gagap-an regulasi (peraturan) hukum menghadapi medsos. Biasanya, kebebasan menyatakan pendapat berlindung di balik hak asasi manusia (HAM). Tak terkecuali menyatakan pendapat yang disalurkan pada ruang publik, melalui media mainstream (koran, radio, dan televisi). Juga kebebasan menyatakan pendapat melalui medsos.
Ini “buah” HAM. Begitu pula di Indonesia, konstitusi yang menjamin kebebasan informasi dan menyatakan pendapat. UUD pasal 28F, menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Namun HAM, bukan sekadar menggencarkan hak. Melainkan juga berbatasan dengan kewajiban menjamin hak pihak lain. Selain menjamin pelaksanaan kebebasan berpendapat, konstitusi di Indonesia sekaligus juga mewaspadai kebebasan menyatakan pendapat. Terdapat pembatasan. Berdasar pembatasan konstitusi, telah diterbitkan undang-undang (UU) yang lebih menjamin tertib sosial.
UUD pasal 28J ayat (2), menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Menegakkan Hukum
Bahkan konstitusi memberi kewenangan kepada negara (pemerintah) menjamin pelaksanaan HAM, secara berkeadilan. UUD pasal 28-I ayat (5), mengamanatkan, “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” Diantaranya diterbitkan UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
UU ITE pada pasal 28 ayat (2), dinyatakan larangan: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).” Setiap korban (Tim Kampanye capres, maupun calon legislatif) bisa melapor ke Kepolisian, dan BSSN. Pelanggaran terhadap pasal 28 ayat (2), bisa dihukum penjara selama 6 tahun.
Terbukti, sudah banyak yang dihukum dari berbagai kalangan karena “menabrak” hak asasi pihak lain. Terutama kalangan partai politik (parpol). Namun banyak pula kalangan juru dakwah agama dipenjarakan. Karena dakwah yang disiarkan melalui medsos maupun di atas panggung, dianggap berisi ujaran kebencian. Bisa mengobarkan permusuhan antar-kelompok sosial. Padahal seharusnya, dakwah agama dinyatakan secara santun, dan menyejukkan.
Ujaran kebencian melalui medsos, bisa mengancam setiap negara. Terutama negara dengan jumlah rakyat cukup besar. Seperti China, Amerika, India, dan Indonesia. India, misalnya, memiliki pengalaman pahit, yang menyulut kegaduhan sosial. Dengan penduduk sebanyak 800 juta, terdiri dari berbagai suku, dan agama-agama. Sebagai “pasar besar,” telpon pintar berbasis android. Sekaligus menjadi salahsatu pengguna medsos terbesar di dunia.
Eksesnya, India telah sering dilanda tawur sosial, karena berita hoax. Terutama hoax adu-domba ber-altar ke-suku-an, dan agama. Karena itu WhatsApp, menjadikan India sebagai “laboratorium” dampak medsos berkonten hoax. Tawur sosial, niscaya merugikan semua pihak. Lebih lagi manakala diikuti kebijakan penutupan lapak pulsa telepon. Telepon seluler tidak dapat mengisi pulsa, juga tidak bisa berganti nomor baru.
Di Indonesia, pemerintah juga merespons positif pembatasan pesan “terusan” melalui aplikasi WhatsApp (WA). Pembatasan pesan “terusan” WA hanya sebanyak lima kali. Berlaku diseluruh dunia. Kegaduhan sosial dalam media sosial (medsos), benar-benar telah membahayakan keamanan sosial di berbagai negara. Dampak negatif yang masif telah terjadi di seluruh dunia. Terutama di India, Indonesia, dan kawasan Timur Tengah.
Bersama Perangi Hoax
WhatsApp kini telah menempati peringkat kedua aplikasi medsos paling diminati. Namun memiliki tren pertumbuhan lebih pesat dibanding facebook (sekaligus sebagai aplikasi induk). Sampai akhir tahun 2018, diperkirakan sebanyak 1,5 milyar pengguna WA bulanan yang aktif. Jumlah pesan yang dikirim sangat menakjubkan, sebanyak 65 milyar posting per-hari! Indonesia juga menjadi “pasar besar” telepon seluler berbasis android. Diperkirakan sebanyak 146 juta terakses internet. Pengelola WA merasa bertanggungjawab terhadap merebaknya hoax.
Namun penyebaran berita bohong (hoax) bukan hanya melalui WA (dan WA grup). Melainkan juga youTube (berupa video), instagram (gambar), dan cuit twitter (dengan narasi pendek). Sejak Pilkada Jakarta (2014), berita hoax mulai menjamur di Indonesia. Serta mencapai puncaknya saat ini, berkait pemilihan presiden (Pilpres). Hoax, semakin “menggila.” Potensi tawur sosial bisa meledak setiap saat. Berbagai fitnah, berita bohong, dan ujaran kebencian, seolah-olah bebas dipapar pada area publik.
Propaganda e-hate, berupa fitnah dan berita bohong, kini menjadi usaha menggiurkan. Melalui laman (dan akun), hoax, bisa dipesan untuk ditebar luas (dan bebas) di medsos. Ujaran kebencian, di-rekayasa dengan kalimat menarik, seolah-olah benar. Ditambah saran share (meneruskan), niscaya berdampak kekacaukan pranata kehidupan sosial. Konon sindikat internasional (dengan bayaran tinggi) turut berperan menyebar hoax untuk kepentingan politik.
Hoax telah menjadi komoditas bernilai mahal. Bahkan industri hoax bukan hanya melibatkan ahli teknologi informasi. Melainkan juga sindikat marketing berkelas dunia. Berjuta-juta pernyataan penistaan dan pembohongan publik bertebaran di media sosial. Bagai “perang” terbuka tanpa batas. Berbagai penyiaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, telah dimanfaatkan untuk propaganda. Sekaligus menghantam pihak lain yang dianggap sebagai lawan politik.
Tak terkecuali pemerintahan di berbagai dunia menggunakan jasa narsis. Juga pencitraan oleh pemerintah daerah. Misalnya dengan modus perolehan penghargaan dari sesama lembaga pemerintah, dengan cara “membeli.” Tak jarang pula sampai berburu penghargaan ke luar negeri. Namun saat ini, netizen warga kota (daerah) sudah pintar. Sering pula memberi komentar nyinyir berbagai penghargaan. Nampaknya, terjadi kontra-pencitraan. Ironis, komenter nyinyir juga menjadi komoditas.
Tim Siber negara telah menjejaki paparan berita hoax sebanyak 200 akun, hanya dalam waktu setengah bulan (Maret 2019). Sebelumnya, selama dua tahun (sampai tahun 2018) ditemukan dua ribu akun sindikat hoax. Seluruhnya telah dihapus, dan 900 lainnya disidik Kepolisian. Pelakunya diajukan ke Pengadilan. Walau rata-rata hukumannya masih di bawah 2 tahun.
Indonesia sudah dalam situasi darurat hoax sangat kronis. Sasaran hoax, dan ujaran kebencian pada medsos, berani menyerang seluruh kalangan. Bukan sekadar parpol kontestan pemilu (caleg) maupun tim sukses paslon pilpres. Melainkan juga berani menyasar TNI, dan tokoh-tokoh masyarakat yang paling dihormati. Maka penyelenggara negara, wajib lebih gigih menegakkan hukum, dan menjamin ketenteraman sosial.

——— 000 ———

Tags: