Menjaga “Kewarasan” di Tengah Pandemi Covid-19

Oleh :
Isna Ni’matus Sholihah
Guru BK SMKN 2 Bojonegoro

Kasus Corona yang ditemukan di Wuhan pada akhir tahun 2019 telah resmi menjadi pandemi global. Reaksi masyarakatpun beragam, ada yang menanggapi berita ini dengan rasa gelisah, takut tetapi masih adapula yang menanggapinya dengan bodo amat.
Kecemasan mulai muncul saat secara resmi presiden mengumumkan temuan Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020. Kepanikan dimulai! Masyarakat memborong hand sanitiser, masker, sabun anti septic, vitamin C, cairan pembersih lantai hingga perkakas rumah tangga untuk mencuci tangan (bak). Ludes.
Semua menjadi langka. Yang lebih parah, masyarakat membabi buta untuk melindungi diri dengan memborong sarung tangan karet yang sedianya digunakan paramedis dan juga APD (alat pelindung diri) selaku pakaian khusus yang dikenakan petugas kesehatan saat menangani pasien positif Corona. Berbagai informasi baik dalam bentuk video, tulisan berseliweran, broadcast tumpuk undung menghasilkan rumor dan mispersepsi. Intinya, tiada hari tanpa membahas Covid-19.
Pemerintah mengambil keputusan cepat di tengah kondisi ini. Salah satu alternatif yang dipilih adalah Work from Home (WFH) dan Learn from Home (LFH). Kebijakan ini menjadi hal yang menarik untuk diamati karena rentetan dari keputusan ini begitu panjang.
Semua pekerja yang biasanya pergi pagi pulang petang berubah drastic menjadi bekerja beberapa jam saja atau malah dirumah dan hanya berhadapan dengan computer atau gawainya. Guru dan murid mengalami pembelajaran jarak jauh dan proses belajar dilakukan via daring.
Di sinilah ditemukan aneka keruwetan. Benar-benar ruwet, ruwet, ruwet (baca dengan intonasi pak Jokowi ). Tenaga medis ruwet dengan langkanya APD, stigmatisasi masyarakat tentang orang yang menangani COVID 19 dan jenazahnya, Pedagang ruwet dengan pembatasan jam buka dan yang paling ruwet versi saya adalah korelasi Guru-murid-orang tua.
Guru yang dituntut laporan kinerja memberikan materi dalam bentuk file word, PPT, PDF atau video pembelajaran lalu membagikan ke peserta didik melalui media sosial. Yang lebih menguasai IT, memilih melakukan pembelajaran melalui aplikasi meeting seperti webex, edmodo, zoom, google meet, Skype, facetime, slack, discord, , dan berbagai aplikasi lain.
Satu guru dan yang lain boleh jadi berbeda pilihan, bisa dibayangkan berapa banyak aplikasi yang harus di download murid. Masing-masing guru memberikan tugas dan meminta laporan berupa bukti pengerjaan. Bisa dibayangkan jika dalam satu keluarga ada 3 anak yang sedang sekolah dengan jenjang berbeda dan dengan tugas yang (pasti) tidak sama alangkah ribetnya. Ibu yang didaulat mendampingi anaknya belajar harus on mantengin hp. Belum lagi kendala yang dihadapi peserta didik yang tinggal di area sepi signal. Nelangsa.
Menteri pendidikan dan jajaran berusaha memberikan solusi atas kondisi ini dengan memberikan layanan pendidikan untuk pelajar semua jenjang melalui TVRI, namun masalah tidak lantas selesai karena sebagian besar masyarakat tidak bisa mengakses channel tersebut sehingga harus mengikuti siaran pendidikan via streaming. Kuota lagi, kuota lagi.
Duh. Mas menteri tidak tinggal diam dengan mengeluarkan kebijakan bahwa dana BOS boleh dipergunakan untuk kepentingan pembelajaran jarak jauh, tapi realnya belum semua sekolah menerapkan. Sangat bisa difahami jika pada akhirnya ada video viral emak-emak yang meluapkan emosi dengan memohon kepada mas menteri agar dibiarkan bahagia di rumah dengan tidak lagi bermain”guru-guruan” alias menjadi guru bagi anak-anaknya.
Di sisi lain, anak juga tidak kalah stress mendapati “guru” dirumahnya galak luar biasa dan hobi marah-marah. Semua tertekan, stress dengan berubahnya keadaan yang menuntut bertambahnya peran dan tanggungjawab. Anak muda resah gelisah dilarang kongkow.
Kondisi ini ternyata juga berimbas secara cepat dan pasti pada keuangan. Penurunan pendapatan dirasakan hampir semua sektor. Terlebih bidang usaha. Bahkan hilangnya pekerjaan sampai menghilangkan nyawa seorang wanita karena selama 2 hari hanya mengisi perut dengan air isi ulang (. Banten.suara.com, 21 April 2020).
Perasaan takut, stress adalah hal yang lazim sebagai reaksi akan bahaya yang memang ada, yakni bahaya virus yang mengancam nyawa. Mayoritas manusia akan takut sakit atau mati, khawatir tertular, cemas nanti di PHK, dihantui ketakutan diasingkan jika nanti terpapar virus. Stress akan berefek pada otot tegang sehingga dalam jangka waktu lama akan menyebabkan sakit kepala dan nyeri punggung, emosi yang tidak dikendalikan dengan baik akan berakibat rentannya konflik saat berinteraksi. Mengingat dampak yang tidak sederhana, diperlukan ketahanan mental menghadapi krisis ini. Istilahnya ojo sampe wedimu ngalahno warasmu. Berikut solusi yang bisa dilakukan :
Pertama, Kelola Emosi. Yang harus dilakukan pertama adalah menyadari bahwa kecemasan, stress berlebih hanya akan berlanjut ke depresi yang merugikan diri sendiri, yakinlah semua bisa dikendalikan asal kita mengikuti protokoler yang sudah diajarkan pemerintah. Stay at home. Lakukan social distancing, physical distancing, Isolasi diri, sering cuci tangan, konsumsi makanan sehat, minum vitamin, olah raga dan berjemur. Saat kita benar-benar lelah dan tidak lagi kuat dengan banyaknya pekerjaan dan berbagai hal yang menguras emosi, lakukan katarsis: luapkan emosi dengan cara yang tepat, salah satunya adalah bercerita kepada sahabat, pasangan atau menulis. Ya, menulis akan menjadi terapi tersendiri untuk bisa meredakan emosi. Bila perlu, lakukan konsultasi online yang banyak tersedia. Usahakan mengambil jeda antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lain.
Kedua, Kelola Diri. Manfaatkan banyaknya waktu luang untuk mengembangkan diri, salah satunya meng-up grade ilmu pengetahuan melalui fasilitas online. Banyak sekali pelatihan, diklat, seminar hingga talkshow di tawarkan secara gratis. Jika rutinitas selama ini membosankan, sekarang lah waktunya mengambil “me time”. Nikmati hobi, apakah sekedar rebahan atau nonton The World of the Married. Hal lain yang bisa dilakukan adalah memaksimalkan “Bonding’, ikatan dan kedekatan dengan keluarga. Semisal, melakukan aktifitas olahraga bersama, memasak dan membuat kudapan favorit, menyanyi dan karaoke, menonton film atau bermain game. Seru, kan?
Ketiga, Kuatkan Spiritual. Diakui atau tidak, virus ini mengingatkan kita agar senantiasa dekat dengan Tuhan, bahwa kematian begitu dekat dan bisa menghampiri siapa dan kapan saja, melatih empati, solidaritas dan juga keperdulian kita. Perbanyak mengakui kesalahn kepada Tuhan dan sesama.
Keep strong, Guys. Be positive. Jangan sampai jadi member fitness. Awak fit ati ngenes. Jaga diri selalu, jangan lupa bahagia. Corona pasti berlalu.

————– *** ————

Tags: