Menjaga Marwah Perbankan Nasional

wahyu kuncoro snOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Bisnis perbankan mendasarkan pada kepercayaan masyarakat. Persoalannya, menjaga dan membangun kepercayaan masyarakat sungguh bukan pekerjaan yang murah. Sebagai bukti, pada saat terjadi krisis perbankan seperti pada tahun 1997 dan 1998, negara dipaksa harus mengeluarkan anggaran hingga Rp 600 triliun untuk menyelamatkan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional.
Hal itu terjadi karena perbankan gagal mengembalikan dana simpanan nasabah. Kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan saat itu sungguh runtuh. Akibatnya sungguh mahal harga yang harus dibayarkan. Dan untuk mengembalikan kepercayaan nasabah, pemerintah pun membentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 2004 agar masyarakat kembali percaya menyimpan uangnya di bank.
Berbagai upaya dilakukan kalangan perbankan agar masyarakat mau menyimpan uangnya. Bank mengeluarkan sejumlah jurus agar pemegang rekening tabungan bertambah melalui hadiah atau iming-iming tertentu. Tanpa kepercayaan, masyarakat enggan menyimpan uang di bank. Artinya, LPS hadir sesungguhnya untuk meyakinkan masyarakat bahwa menyimpan uang di bank aman karena sudah dijamin.
Menjaga Kepercayaan Masyarakat
Sampai hari ini, dalam upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, LPS telah menutup sebanyak 60 bank, terdiri dari 59 Bank Perkreditan Raktar (BPR).
Penutupan bank, sesungguhnya merupakan salah satu fungsi LPS yaitu dalam hal resolusi. Fungsi LPS pada dasarnya terbagi 2 yaitu penjamin simpanan nasabah dan resolusi bank. Resolusi itu dibagi 2 lagi, penyelamatan dan likuidasi. LPS ini mengurusi bank-bank yang gagal. Dalam menjalankan fungsi resolusi ini, diakui tidaklah mudah. Selalu ada konsekuensi hukum dan politik yang menyertainya. Inilah yang kerap kali menjadi sorotan publik.
Sejak 1998, penyelamatan atau penutupan bank itu selalu jadi kontroversi. Namun, fenomena itu bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika pun begitu waktu 2008. Di dunia, bailout itu selalu kental dengan nuansa politik. Padahal, langkah menyelamatkan atau menutup suatu bank bukan dilakukan untuk kepentingan si pemilik, tetapi  melakukannya terkait stabilitas sistem keuangan, yakni menjaga sistem dan deposan, bukan untuk kepentingan pemilik bank. Muaranya tentu saja untuk menjaga martabat perbankan nasional sehingga mampu meningkatkan kepercayaan publik.
Pada wilayah lain, perbankan selalu saja  dihadapkan pada tekanan para pemilik dana yang selama ini dapat mendikte suku bunga. Tekanan dilakukan oleh pemilik dana kakap, baik perorangan, korporasi, maupun institusi. Mereka memaksa bank memberikan bunga sangat tinggi, bahkan melampaui suku bunga penjaminan.
Dalam kondisi seperti itu, bank seperti dalam posisi inferior karena kenyataan memperlihatkan bahwa 50 persen dana pihak ketiga di bank sebesar Rp 3.350 triliun saat ini hanya dikuasai oleh 1 persen nasabah. Merekalah raja-raja yang bisa sesuka hati mempermainkan bank. Perilaku “kartel” pemilik dana kakap itulah yang selama ini menjadi tameng bagi bank. Bankir cenderung defensif setiap dituding egois lantaran lamban dalam menurunkan bunga kredit.
Sudah menjadi gejala umum bahwa bank begitu rensponsif menurunkan bunga deposito bila BI rate turun, namun tidak demikian dengan penurunan bunga kredit yang cenderung lambat. Namun begitu BI rate naik, suku bunga kredit juga buru-buru dikerek mengikuti bunga deposito. Betapa pun, perang bunga deposito perlu dicegah. Bank Indonesia perlu bersikap, apalagi banyak bank yang mematok bunga melampaui batas atas bunga yang dijamin LPS.
Lantaran itu, BI dan pemerintah secara bersama-sama perlu “menekan” bank-bank untuk menurunkan suku bunga kredit. Penurunan bunga kredit yang begitu alot tidak mungkin diserahkan kepada mekanisme pasar, mengingat ada tendensi perbankan pun berperilaku kartel, khususnya bank-bank papan atas. Selama ini memang BI cukup kewalahan menghadapi kiprah perbankan, yang dalam batas tertentu terjadi persaingan tidak sehat. Praktik tidak sehat, yakni perang bunga deposito dan sulit menurunkan bunga kredit, tidak hanya dilakukan bank-bank papan atas–termasuk bank-bank BUMN–tapi juga bank-bank asing.
Perilaku oligopolistik perbankan versus oligopsonik nasabah kakap tersebut perlu diintervensi. Sebab, tingginya biaya dana yang harus dipikul bank akibat perang deposito membuat sektor riil menderita. Bagaimanapun suku bunga kredit di Indonesia relatif tertinggi di kawasan regional, sehingga kurang mendukung daya saing dunia usaha nasional. Agar suku bunga kredit bisa ditekan, bank-bank perlu memperbaiki efisiensi dan menurunkan biaya operasional (overhead).
Berpijak pada kondisi tersebut, Bank Indonesia dan pemerintah perlu menggunakan otoritasnya, mengintervensi lewat berbagai peraturan yang bisa memaksa bank menurunkan bunga kredit. Tidak sulit bagi BI memformulasikan peraturan yang memberikan sanksi bagi bank yang menetapkan bunga deposito di atas bunga penjaminan LPS atau bank yang enggan menurunkan bunga kredit. Ketika ada sebuah kekuatan ekonomi yang menciptakan pasar tidak wajar, atau ketika mekanisme pasar tak lagi berjalan, maka perlu peraturan yang mampu mengurangi atau meniadakan distorsi agar tidak membahayakan perekonomian nasional, di tengah ketidakpastian global saat ini.
Mendorong Konsolidasi Perbankan
Tantangan perbankan nasional menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 tahun depan sungguh berat menyusul konsolidasi perbankan yang lambat. Konsolidasi sangat penting, karena bisa menjadikan perbankan sangat kuat.
Sekadar catatan, jumlah perbankan nasional saat ini mencapai 119 perbankan. Dari jumlah tersebut sebanyak 100 perbankan berada di posisi Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 1 dan BUKU 2. Artinya, mayoritas bank-bank lokal hanya memiliki modal yang minim.
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012 tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank, disebutkan BUKU 1, Bank dengan modal inti kurang dari Rp1 triliun, BUKU 2 sebesar Rp1-Rp5 triliun, BUKU 3 sebesar Rp5-Rp30 triliun, BUKU 4 bank dengan modal inti di atas Rp30 triliun.
Bahwa salah satu perbankan nasional yang besar di dalam negeri seperti Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) jumlah assetnya masih rendah dibandingkan dengan aset Bank DBS dan OCBC asal Singapura, begitu juga dengan May Bank dan CIMB asal Malaysia.
Sebagai perbandingan, kalau di Indonesia ada 119 bank, maka di Singapura hanya ada tiga bank, Malaysia 20 bank dan Thailand 30 bank. Oleh karena itu, dalam konteks konsolidasi perbankan untuk mendapatkan struktur perbankan yang kuat, ada baiknya pemerintah segera menata ulang keberadaan empat bank BUMN yang ada. Penggabungan bank-bank BUMN itu lebih mudah dilakukan ketimbang memaksa bank milik swasta untuk saling bergabung.
Hanya persoalannya, ide yang sebenarnya sudah ada dari dahulu tidak mudah direalisasikan karena hambatan kepentingan. Alangkah baiknya, bila pemerintah baru nanti fokus membenahi empat bank BUMN ini ketimbang mendirikan sebuah bank baru yang memiliki kekhususan tertentu. Keberadaan bank BUMN yang kuat dan sehat tentunya mampu menjalankan tugas khusus dari pemerintah.
Jumlah bank yang terlalu banyak  dalam segi keefisiensinya dapat dikatakan kurang, khususnya apabila dikaitkan masalah permodalan. Dengan begitu, perlu ada kebijakan dari otoritas untuk mendorong merger atau konsolidasi tidak hanya pada bank kecil, tetapi juga kepada bank besar. Untuk itu, perlu dukungan kemudahan regulasi dan insentif. Selain itu, pemilik bank harus rasional dan tidak mempersulit upaya konsolidasi perbankan nasional.
Urgensi Literasi Keuangan
Bahwa disamping mendorong agar LPS bersama-sama Bank Indonesia aktif memainkan perannya dalam menjaga stabilitas perbankan, pada wilayah lain masyarakat juga perlu diedukasi (baca : literasi keuangan) agar tidak menjadi korban akibat ulah perbankan dan lembaga keuangan lainnya yang kadang ‘membabi buta’ dalam mengiming-imingi masyarakat untuk menjadi nasabah. Misalnya, publik jangan mudah silau dengan tawaran suku bunga deposito yang begitu tinggi. Mengapa? Tidak lain karena berpotensi risiko tinggi bagi nasabah sekiranya suku bunga deposito itu ternyata lebih tinggi daripada suku bunga penjaminan LPS. Karena ternyata, LPS tidak akan memberikan ganti rugi kepada nasabah ketika bank tempat menyimpan dana itu mengalami pailit. Tidak berhenti di situ, LPS pun melarang nasabah untuk menerima cash back dari bank nasional karena itu dianggap sebagai bagian dari suku bunga deposito.
Terkait dengan maraknya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di tengah masyarakat, publik seharusnya juga diedukasi agar mengerti berapa suku bunga berdasarkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan maksimum nilai simpanan yang dijamin. Catatan LPS, tingkat kepatuhan BPR hanya mencapai 30 persen. Dari 750 BPR, hanya 227 yang patuh. Sedangkan pada bank umum dari 2.709, sebanyak 2.179 telah menjalankan aturan LPS. atau mencapai 80 persen. Jadi seolah menjadi  ‘mati’ bagi BPR kalau mengumumkan. Meski begitu, LPS perlu terus mendorong agar seluruh bank menempatkan pengumuman yang mudah dilihat nasabah mengenai LPS rate dan kriteria simpanan yang dijamin LPS.  Wallahu’alam Bhis-shawwab.

                                                           ——————— *** ———————

Rate this article!
Tags: