Menjaga Netralitas Polri

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum FISIP Univ. Wijaya Kusuma Surabaya

Salah satu tuntutan gerakan reformasi 1998 adalah penghapusan dwi fungsi ABRI (TNI/Polri). Dalam alam demokrasi, TNI dan Polri harus dikembalikan atau ditempatkan sebagai alat pertahanan dan keamanan negara. Namun, ketika dwi fungsi TNI sudah dihapus, kini muncul bibit baru yang berusaha menghidupkan kembali dwi fungsi yang lain, yakni dwi fungsi Polri. Berdasarkan Undang-Undang N0. 2 Tahun 2002, Polri adalah lembaga yang memiliki fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sama seperti TNI, politik Polri adalah politik negara, bukan politik kekuasaan. Keduanya adalah alat negara, bukan alat politik. Karena itu, TNI/Polri harus menjaga jati dirinya sebagai institusi yang netral, tidak bermain-main politik, apalagi dijadikan alat politik-kekuasaan oleh kekuatan sosial-politik tertentu, khususnya dalam Pilkada Serentak 2018 ini.
Diskursus tentang militer dan politik mengingatkan kita pada analisis Samuel Huntington dalam The Soldier and State (New York, 1957) yang menyatakan bahwa proses demokratisasi akan tegak dalam suatu negara apabila kekuatan militer -termasuk Polri- ditempatkan sebagai alat negara, bukan alat kekuasaan, artinya TNI/Polri harus keluar dari kepentingan-kepentingan politik kekuasaan. Jika TNI/Polri masuk politik atau menjadi alat politik kekuasaan, maka akan merusak tatanan demokrasi.
Polri bukan Alat Kekuasaan
Secara hukum Polri netral. Komitmen Polri netral dikuatkan dengan surat formil yang dikeluarkan Kapolri, Tito Karnavian melalui Surat Telegram Rahasia (STR) yang meminta seluruh jajaran kepolisian RI agar tetap netral dan tak memihak kepada salah satu Paslon manapun. Polri dilarang main-main politik. Politik Polri adalah politik negara, bukan politik kekuasaan. Jika ingin berpolitik, maka syaratnya harus mengundurkan diri. Aturan mainnya jelas dan tegas dan didukung dengan surat Kapolri.
Tetapi aturan main dan surat “sakti” Kapolri tersebut, ternyata tak sekuat dan sesakti diimplementasinya. Saat ini masyarakat kembali mempertanyakan netralitas jajaran Korps Baju Ckolat. Ini menyusul beredarnya pengakuan dari salah satu mantan Kapolsek Pasirwangi, AKP Sulman Aziz, yang mengaku dirinya untuk mendata dan menggalang dukungan untuk pasangan Jokowi-Ma’ruf di Pilpres 2019. Meskipun satu hari kemudian, yang bersangkutan meralat pernyataannya yang sempat viral di media. Masyarakat bisa menduga, perubahan sikap yang begitu cepat, ada tekanan struktural yang begitu kuat dari atasannya di lingkungan Korps baju Coklat tersebut.
Cerita dugaan tidak netralnya Polri dalam kontestasi politik, seperti Pemilu mencuat tidak hanya pada saat jelang Pemilu 2019 ini saja. Sebelumnya, Polri juga ditarik-tarik dalam kancah politik yang menjadi ranah sipil ketika Pilkada Jabar. Dalam Pilkada Jabar, mendagri Cahyo Kumolo mengeluarkan kebijakan yang menunjuk dua Pati Polri untuk menjadi pelaksanan tugas gubernur (Plt) di Pilkada serentak 2018. Saat itu, mantan Sekjen PDI-P itu mengajukan dua Perwira Polisi berbintang dua kepada Presiden Jokowi untuk dijadikan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) guberur di Pilkada Serentak 2018, yakni, Asop Irjen Pol. M. Irawan untuk Plt di Jawa Barat dan Kadiv Propram Polri Irjen Pol. Martuani Sormin untuk Sumatera Barat. Penunjukkan dua Pati Polri tersebut tinggal menunggu keputusan dari Presiden Jokowi.
Secara yuridis-normatif, jika anggota TNI/Polri mau berpolitik atau menduduki jabatan politik, seperti kepala daerah atau terlibat dalam kontestasi Pemilu (baca: tim suskes), maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri atau pensiun dari jabatannya (TNI/Polri). Karena itu, penunjukkan kedua Pati Polri dan pengakuan Sulman Aziz tersebut berpotensi melanggar Peraturan Perundangan-Undangan. Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang No. 2 tentang Kepolisian Negara RI, menyebutkan bahwa “Anggota Kepolisian Negara RI dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri dari atau pensiun dari dinas kepolisian”. Selain itu, dalam Peraturan Mendagri No. 74 Tahun 2016, Pasal 4, menyebutkan bahwa Pelaksana Tugas Gubernur sebagaimana dimaksud ayat (1) berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya Kementrian Dalam Negeri atau Pemerintah Propinsi”. Dengan kata lain, pejabat yang berhak untuk mengisi jabatan Plt. adalah personil setingkat Dirjen di pusat atau Sekda setingkat Propinsi.
Politik Polri adalah politik negara. Setiap pikiran, perilaku, dan tindakannya dikhidmatkan untuk kepentingan negara, bukan menjadi alat kekuasaan. Atas kejadian Sulman Aziz ini, seharusnya Presiden Jokowi sebagai kepala negara untuk harus bersikap tegas dan mengintruksikan kepada jajaran TNI/Polri untuk bermokitmen penuh menjaga netralitas TNI/Polti. TNI/Polti tidak boleh berpolitik atau melakukan aksi dukung mendukung dalam pemilu 2019 ini. Pernyataan tegas ini seperti yang dilakukan mantan Presiden SBY pada saat Pemilu 2009.
Menjaga Netralitas Polri
Kasus Sulman Aziz harus menjadi perhatian serius dari Kapolri dan harus diinvestigasi. Jika tidak, ini akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia. Kasus Sulman Aziz ini tidak hanya mencoreng Korps Baju Coklat, tapi juga akan merusak jalannya demokrasi elektoral 2019.
Kasus dugaan Polri terlibat dalam aksi dukung mendukung Paslon di Pemilu 2019 ini dapat tasfir politik dan suudhon politik dari publik. Selain secara hukum bermasalah, pengakuan Sulman Aziz tersebut juga dinilai kental dengan nuansa politik. Pertama, apa yang dilakukan Sulman Aziz (baca: polisi berpolitik), bukan aksi personal, tetapi patut diduga aksi non personal. Artinya patut diduga ada instruksi dari atasannya yang berjalan secara sistematis untuk memenangkan salah satu Paslon.
Kedua, ada perasaan politik “takut kalah”, apalagi jarak elektabilitas Paslon 01 dan 02 semakin menipis. Dan untuk menjaga dan menaikkan elektabiltas petahana segala upaya dilakukan, termasuk penggunaan kekuatan Polri untuk kepentingan pemenangan. Terakhir, beredar video viral yang berisi kepala desa yang terang-terang meminta dan mengajak para ketua-ketua RT dan RW. Jika tak ada tindakan tegas terhadap oknum-oknum anggota Polti yang bermain-main politik, masyarakat khawatir, Polri bisa masuk dalam kubangan politik partisan. Ini yang harus dihindari.
Di pemilu 2019 ini, TNI/Polri harus menjaga netralitasnya. Para elit Polri tidak sekedar memberikan himbauan dan seruan tegas dan keras, baik secara formil maupun non formil kepada jajaran di bawahnya untuk tidak bermain-main politik, tetapi juga harus memastikan bahwa tidak ada praktik politik-kekuasaan di jajaran Polri, mulai pusat sampai daerah tingkat bawah. Tugas utama Polri dalam Pemilu 2019 ini adalah memastikan bahwa pesta demokrasi 2019 ini berjalan dengan lancar, aman, dan terkendali.

——— *** ———-

Rate this article!
Menjaga Netralitas Polri,5 / 5 ( 2votes )
Tags: