Menjaga Potensi dan Stabilitas Ekonomi Makro

Oleh :
Novi Puji Lestari
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang

Pengambil kebijakan ekonomi makro akan senang jika ekonomi tumbuh tinggi dan menghasilkan pertumbuhan berkualitas. Namun, pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi mengalami siklus dan berfluktuasi. Siklus bisa disebabkan oleh faktor dalam negeri dan luar negeri. Agar pertumbuhan ekonomi stabil, maka pengambil kebijakan ekonomi makro harus membuat penyesuaian dan melakukan kebijakan antisipatif.
Ekonomi Makro Indonesia
Kerangka teoritis tersebut jika dikomperkan dengan kondisi belakangan ini potensi kemampuan Indonesia dalam membayar utang meningkat. Hal itu tercermin dari peningkatan peringkat yang dibuat Moody’s Investor Service. Lembaga itu menetapkan peringkat kemampuan membayar pinjaman dari stabil menjadi positif. Moody’s juga menegaskan Indonesia berada pada posisi layak investasi. Dalam dunia ketika investasi di sektor keuangan begitu cair, penilaian dari lembaga-lembaga populer bisa menggerakkan pasar. Penilaian mereka dipantau para investor.
Melihat kondisi yang demikian, tidak mengherankan kalau pemerintah kecewa ketika dalam survei pada November lalu JPMorgan menurunkan peringkat surat-surat berharga negeri ini dari posisi overweight (cenderung membeli) menjadi underweight (cenderung menjual). Penurunan itu direspons pemerintah dengan menghentikan semua kontrak kerja samanya dengan perusahaan-perusahaan yang berada dalam grup JP Morgan. Dalam survei terbarunya, JP Morgan menaikkan peringkat surat-surat berharga Indonesia.
Pemeringkatan atau penilaian terhadap instrumen-instrumen pinjaman yang dibuat pemerintah tidak bisa dilepaskan dari pengkajian terhadap ekonomi makro negeri ini. Selain itu, juga memperhatikan penetapan anggaran dan kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mencapai target dan asumsi yang dipatok dalam anggaran.
Persoalan menjadi rumit karena pembiayaan anggaran antara lain lewat penerbitan surat-surat berharga. Penilaian suatu lembaga bisa memengaruhi kemampuan pemerintah membiayai APBN. Bank Indonesia sebagai otoritas kebijakan moneter tampaknya masih mencari-cari formula yang tepat untuk mengantisipasi kondisi ekonomi makro ke depan.
Keterkaitan itu membuat koordinasi antara Bank Indonesia dengan pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian Keuangan, begitu strategis. Koordinasi harus intens agar langkah-langkah yang dihasilkan efektif. fokus instrumen kebijakan moneter bisa jadi didorong oleh beberapa faktor.
Pertama, bank sentral AS telah memberikan sinyal akan mengerek kembali Fed rate tiga kali pada 2017 dan dua kali pada tahun berikutnya. Sinyal ini niscaya akan memantik sentimen negatif berupa penyedotan likuiditas pasar keuangan domestik menuju ke AS, yang dipandang sebagai tempat paling aman dari ketidakpastian.
Kedua, prospek inflasi pada tahun ini yang bakal melejit. Potensi gejolak inflasi bersumber dari kenaikan harga barang yang diatur pemerintah, seperti tarif dasar listrik, BBM, dan gas serta beberapa harga komoditas pangan yang bergejolak.
Ketiga, kondisi perekonomian global memang sedang tidak kondusif. Kecenderungan kebijakan ekonomi Trump yang proteksionis, perlambatan ekonomi Tiongkok, krisis utang di Eropa, faktor Brexit, dan pelemahan harga komoditas unggulan di pasar internasional menjadi penandanya.
Ketiga faktor di atas tentu menuntut stabilitas menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan ekonomi. Pemerintah pun moderat dalam menargetkan pertumbuhan ekonomi. Alhasil, strategi stability over growth menjadi opsi paling layak bagi BI dalam menempuh kebijakan moneter pada 2017 ini.
Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi
Peningkatan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pemerintah. Dengan pertumbuhan ekonomi diharapkan penerimaan pajak juga meningkat. Penerimaan pajak yang tidak mencapai target akan mengancam keberlangsungan program-program dalam APBN.
Pertumbuhan ekonomi tinggi juga diharapkan mengurangi angka pengangguran sehingga meningkatkan pendapatan per kapita. Ujungnya adalah keterwujudan peningkatan kesejahteraan masyarakat. kebijakan moneter dan fiskal yang antisipatif sering tidak menyenangkan bagi pelaku sektor riil dan politisi karena bisa berbentuk kenaikan suku bunga, kenaikan pajak, pengurangan subsidi, ataupun realokasi pengeluaran pemerintah.
Belajar dari realitas di awal Januari ini, Bank Indonesia (BI) memberikan sinyal untuk tidak lagi mengandalkan suku bunga acuan guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara instrumen suku bunga acuan bersama nilai tukar dan pengawasan (surveillance) lebih diarahkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
Sinyal tersebut seolah menjadi pengakuan atas minimnya kontribusi kebijakan suku bunga acuan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kendati demikian, sinyalemen BI di atas masih dapat dimaklumi. Menurut UU No 23/1999 yang diubah sebagaimana UU No 6/2009, tugas BI hanya satu, yakni memelihara stabilitas nilai rupiah alih-alih mendorong pertumbuhan.
Tetapi meski demikian, pertumbuhan ekonomi tinggi sebenarnya menyimpan risiko peningkatan angka inflasi. Tingkat inflasi berhasil dijaga rendah pada 2016, meskipun kecenderungan perlambatan ekonomi berhasil dilewati. Keberhasilan dalam dua sisi itu diharapkan bisa terulang pada tahun ini.
Melalui mekanisme pengawasan, otoritas moneter mengondisikan perbankan dan lembaga keuangan lain untuk mendukung program stabilisasi. Konsekuensinya, terjadi mobilitas energi besar-besaran pada upaya memelihara stabilitas sistem keuangan. Konkretnya adalah terjadi control alih-alih liberalisasi pasar keuangan.
Demi menjaga konsistensi tersebut maka kebijakan seperti yang dijanjikan Gubernur BI Agus Martowardojo harus terlihat. Pada sisi lain, langkah-langkah yang ditempuh Kementerian Keuangan dan juga kementerian-kementerian teknis yang terkait dengan pelaksanaan program-program dalam APBN juga berada dalam koridor yang menjaga stabilitas ekonomi makro. Stabilitas ekonomi makro memiliki indikator-indikator objektif, yang antara lain bisa dikonfirmasi lewat penilaian dan penetapan rating oleh lembaga-lembaga kredibel.

                                                                                                   ———– *** ———–

Tags: