Menjalankan Ibadah Berhaji Semampunya

Oleh:
Moh. Mahrus Hasan
Pengurus PP. Nurul Ma’rifah Poncogati  Bondowoso dan Guru MAN Bondowoso

Mei 2017, madrasah kami memfasilitasi siswa untuk membuka rekening tabungan haji. Lebih dari 400-hampir separuh dari jumlah siswa kami-buku tabungan sudah berada di tangan mereka. Alhamdulillah, respon siswa, orang tua, dan masyarakat sangat positif. Dan insyaallah akandiagendakan sebagai program rutin tahunan.
Program tabungan haji siswa ini berawal dari bindang-bincang kami di PGA (Paguyuban Guru Agama) madrasah kami. Salah satu tujuannya adalah memberi pemahaman kepada siswa tentang makna mampu (istitho’ah) dalam ayat tentang kewajiban haji. Pandangan kami, tidak ada salahnya jika kata mampu itu diperluas pemahamannya menjadi semampunya, khususnya berkaitan denganongkos naik haji (ONH).
Tentang semampunya ini, tentunya berkaitan dengan seorang hamba itu sendiri dan Allah. Pastinya, kondisi semampunya seseorang tidak sama dengan orang lain. Yang bersangkutanlah yang lebih tahu. Ada evaluasi diri di dalamnya dan sangat sulit membohongi diri sendiri. Sedangkan Allah Yang Maha Tahu sudah memastikan, “Aku menurut prasangka hamba-Ku terhadap-Ku.” Adakah orang yang berharap di-paringi ketidakmampuan oleh Allah?
Mengenai ONH, kami ajari para siswa untuk menabungsejak dini dengan syarat semampunya. Karena menurut kami, inilah satu-satunya cara berusaha berhaji semampunya. Simaklah kisah Jamaluddin, warga Mataram NTB, seorang tukar sayur keliling bisa naik haji dengan menyisihkan 5 ribu perhari (Jawa Pos, 28-7-2017). Penyisihan uang saku siswa itu selain belajar berhemat, juga mengajari menabung dan melatih bersabar. Kami ajak mereka hitung-hitungan: jika mereka menabung 5000 per-hari, maka butuh 22 tahun untuk mencapai 40 juta (sebagai patokan kasar 1 porsi haji reguler). Bila sekarang usia mereka 17 tahun, maka di usia 39 tahun-usia yang tidak terlalu tua untuk berhaji-ONH sudah terpenuhi.
Tentunya, perhitungan ini di luar “panggilan Nabi Ibrahim”, waiting list, fluktuasi nilai rupiah, dan sebagainya yang di luar kemampuan mereka. Kalaupun misalkan nilai rupiah turun saat itu dan uang 40 juta masihkurang, toh tambahannya tidak terlalu membebani.Atau andaikan karena waiting list-20 tahun misalnya-baru bisa berhaji pada usia 59 tahun, itu lebih baik daripada mendaftar lunas di usia 59 tahun dan menunggu antrian.
“Bagaimana kalau kami tidak bisa berhaji karena meninggal atau sebab lain, sebelum atau sesudah lunas?” demikian salah satu pertanyaan mereka. Kami menjawab, ada beberapa solusi alternatif. Pertama, kalian sudah berniat,”Innamal a’malu bin niat”. Niat kalian itu  dicatat amal baik dan berpahala, karena terkadang “Niat orang mukmin lebih baik daripada perbuatannya”. Itu lebih baik daripada tidak ada niat sama sekali. Dan itu sudah usaha kalian berhajisemampunya. Allah pasti tidak menyia-nyiakan usaha baik hamba-Nya.Kedua, uang itu dapat dipergunakan oleh salah satu keluarga untuk berhaji atau di-badalhaji-kan.Ketiga, disedekahkan atau di-amal jariyah-kan yang lain, serta alternatif lainnya.Semua itu bernilai ibadah dan berpahala. Tidak sia-sia.
Pikiran saya, jika pemahaman siswa tentang perluasan makna mampumenjadi semampunya itu di-rebroadcastkepada keluarga dan masyarakat, niscaya mereka akan berniatdan berusaha berhaji semampumereka. Sebab, disadari atau tidak, akibat pemahaman sebatas mampu itu, berapa banyak orang kaya masih belum merasa mampu untuk mendaftar haji, apalagi yang-maaf-miskin? Sangatlahbenar bahwa “Seandainya anak Adam diberi satu lembah yang penuh emas niscaya dia ingin lembah yang kedua, dan jika diberikan kepadanya dua lembah yang berisi emas niscaya dia akan mencari lembah yang ketiga.”
Kami juga menyampaikan bahwa berhaji lebih baik saat usia yang relatif muda, karena haji merupakan ibadah fisik.Biasanya, 80% usia jamaah haji Indonesia di atas 60 tahun. Pengalaman saya menjadi ketua regu jamaah haji tahun 2013 silam membenarkan anjuran ini. Jamaah haji yang lansiaitu banyak menghabiskan waktunya di kamar maktab, sehingga-maaf-dijuluki”haji kamari” atau “haji maktabi”, karenaalasan kesehatan. Bahkan, seandainya wukuf di Arafah tidak termasuk rukun haji,pasti mereka akan tetap “wukuf” di hotel.
Sayapun harus menyewa kursi roda 100 Riyaluntuk seorang nenek anggota regu saya yang tidak kuat berjalansaat pelaksanaanjamarot. Tentang hal ini, insyaallah siswa kami memahami dan merasakannya, karena tiap tahun kami latih manasik haji semirip mungkin dengan pelaksanaan haji yang sesungguhnya.Nah, dengan menabung semampunya sejak dini ini, maka harapan berhaji di usia muda sangat mungkin terlaksana.
Menjaga kemabruran haji juga seyogyanya dalam batassemampunya. Memang idealnyaperilaku seseorangsemakin baiksetelah berhaji, karena haji merupakan “master status” Muslim yang paripurna.Tetapi, sangat berlebihan rasanya jika ia dituntutharus “suci”, “perfect”, dan tidak boleh bersalah (berdosa)hinggaakhir hayatnya. Maka, boleh jadi tuntutan inimenjadi beban moral dan mental yang menyebabkan sebagian orang enggan berhaji.Padahal, Rasulullah menegaskan, “Ittaqulloh mastatho’tum, bertakwalah kepada Allah semampumu.” Lagi pula,adakah manusia yang tidak bersalah dan berdosa? Bukankah manusia memang tempatnya salah dan lupa, Al-insan mahallul khotho’ wan nisyan”dan “Kullu bani Adama khoththo’un, wa khoirul khoththoin attaibun, setiap manusia pasti bersalah dan paling baiknya adalah yang bertaubat.”?
Semoga berusaha berhaji semampunya ini bisa menjadi pemantik semangatbagi kita,karena siapapun kita, pasti bisa berusaha berhaji semampunya.Tergantung niat dan upaya kita. Berdoa dan berusahalah mulai sekarang! Semoga berkah!

                                                                                              ———– *** ————-

Rate this article!
Tags: