Menjamin Cita-cita Menjadi Atlet Berprestasi

(Penghargaan Olahraga, bagai “Habis Manis Sepah Dibuang”) 

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial dan politik 

Lagu kebangsaan Indonesia Raya, berkumandang pada podium tertinggi pada pertandingan atletik paling bergengsi di dunia. Medali emas pertama prestasi olahraga telah kelas dunia, diraih oleh putra asal Lombok Utara (Nusa Tenggara Barat, NTB). Peraihnya, Lalu Muhammad Zohri (18 tahun) bersujud syukur di stadion kota Tampere, Finlandia. Seketika berbagai lembaga pemerintahan seolah-olah tersadar, perlu memberi hadiah raihan prestasi olahraga.
Sebelumnya, beberapa atlet telah berprestasi tingkat dunia. Tetapi pemerintah (dan daerah) “kurang pintar” menghargai prestasi keolahragaan. Banyak mantan atlet menjalani hidup pasca-prestasi (masa tua) dengan sangat menyedihkan. Sampai menjalani pekerjaan kelas bawah (tidak perlu kompetensi), bagai tanpa prestasi. Terutama atlet yang hanya berprestasi tingkat nasional, menjalani masa tua sangat sengsara. Padahal, tidak mudah mengukir prestasi olahraga sampai tingkat nasional.
Misalnya, tragis yang dialami Denny Thios, yang pernah memecahkan rekor dunia angkat besi di Inggris, dan Swedia. Kini Denny hanya berwiraswasta, membuka bengkel las di Makassar. Yang lebih ironis, adalah nasib Leni Haini, atlet dayung, kini berprofesi buruh cuci. Walau berijazah SD (Sekolah Dasar), Leni, bisa meraih emas pada kejuaraan dunia perahu naga (1996, di Hongkong). Leni juga menyumbang medali emas pada SEA Games 1997 dan 1999, plus Kejuaraan Asia di Taiwan 1998.
Nasib lebih tragis terjadi padaSoeharto (68 tahun), atlet penyandang disabilitas, hidup terlunta-lunta menjalani profesi tukang pijit. Pada dekade 1970-an, Soeharto merupakan atlet yang diandalkan pada ajang Far East and South Pacific (FESPIC, kini Asian Para Games). Juga atlet yang bernama sama, Suharto, pembalap sepeda. Pada lomba Team Time Trial jarak 100 Km, SEA Games 1979 (di Malaysia), Suharto bersama tiga rekannya meraih emas. Kini Suharto, mengayuh becak.
Pola pembinaan (penghargaan) terhadap atlet, bagai pepatah “habis manis sepah dibuang.” Yang lebih merasa terbuang, adalah Leni Haini, atlet dayung, kini berprofesi buruh cuci. Walau hanya berijazah SD (Sekolah Dasar), Leni, bisa meraih emas pada kejuaraan dunia perahu naga (1996, di Hongkong). Leni juga menyumbang medali emas pada SEA Games 1997 dan 1999, plus Kejuaraan Asia di Taiwan 1998.
Masih banyak lagi atlet dari berbagai cabor (cabang olahraga) yang hidup terlunta-lunta pada masa pasca-prestasi (tua). Termasuk sederet nama jagoan lapangan (sepakbola), jago di ring (tinju), sampai binaraga. Puncaknya, pebulutangkis Mia Audina, memilih hijrah ke Belanda. Berbagai kenangan pahit, peng-abai-an prestasi, menyebabkan profesi ke-atlet-an tidak menjadi pilihan generasi muda. Tiada yang bercita-cita menjadi atlet.
Langganan Juara Dunia
Berbagai bakat yang nampak pada masa kanak-kanak tidak diasah lebih lanjut, karena tidak menjanjikan kesejahteraan. Bahkan prestasi tingkat propinsi juga tidak dilanjutkan, dianggap sekadar hobi. Sehingga tradisi medali pada lima periode Olympiade, dan kejuaraan dunia cabor, terus melorot. Padahal mendongkrak prestasi kelas dunia, niscaya dibutuhkan pola pembinaan nasional yang lebih “menghargai” kinerja atlet. Terutama pada sistem penghargaan yang berujung pada kesejahteraan.
Menjadi nomor satu di dunia pada bidang olahraga, sebenarnya bukan hal asing. Bahkan sudah sering lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang pada multy-even pesta olahraga paling bergengsi di dunia, Olympiade. Juga kejuaraan dunia single even (satu cabor). Misalnya, “langganan” menjadi juara bulutangkis, sampai beberapa kali berturut-turut. Atlet Indonesia selalu merajai Piala Thomas Cup.
Pada even kejuaraan dunia (dimulai sejak tahun 1977), Indonesia memang langganan gelar juara, dimulai juara ganda putra oleh Tjun Tjun dan Johan Wahyudi. Berlnajut pada tahun 1980, Indonesia memborong 4 gelar: tunggal putra-putri (Rudy Hartono dan Verawati Fajrin), ganda putra (Christian Hadinata-Ade Chandra), serta ganda campuran (Christian Hadinata-Imelda Wiguna). Namun pada tahun 1983, hanya tunggal putra Icuk Sugiarto yang membawa pulang medali emas.
Meraih medali pada even paling bergengsi se-dunia, Olympiade, Indonesia bukan tergolong debutan, melainkan langganan. Bahkan sudah dimulai sejak 30 tahun silam (tahun 1988), pada Olympiade Seoul. Srikandi Indonesia, memperoleh medali perak. Pada Olympiade berikutnya di Barcelona (1992), tim bulutangkis meraih 2 emas, 2 perak, dan 1 perunggu. Berlanjut pada Olympiade Atlata (1996), bulutangkis meraih 1 emas, 1 perak, dan 2 perunggu.
Pada Olympiade Sydey (tahun 2000), bukan hanya bulutangkis yang meraih emas (1 medali plus 2 perak). Melainkan juga cabor angkat besi, meraih 1 perak, dan 2 perunggu. Olympiade Athena (tahun 2004) cabor bulutangkis 1 emas, dan 2 perunggu. Serta angkat besi meraih 1 perak. Indonesia masih selalu disegani pada cabor bulutangkis, walau Olympiade diselenggarakan di Beijing (2008). Setidaknya masih meraih 1 emas, 1 perak, dan 1 perunggu. Juga angkat besi memperoleh 2 perak.
Total medali yang diperoleh Indonesia dari Olympiade sebanyak 30 keping. Tujuh diantaranya, menempatkan bendera merah-putih pada podium tertinggi. Lainnya 16 perak, dan 7 perunggu. Catatan tren merosotnya perolehan medali emas mulai terjadi pada Olympiade London (2012). Tetapi pada tahun 2016, di Rio de Janeiro (Brasil), bulutangkis bisa merebut lagi 1 emas (melalui ganda campuran Tontowi Ahmad – Lilyana Natsir). Serta angkat besi konsisten dengan 2 perak.
Belajar pada China
Tidak mudah menjadi atlet profesional, berprestasi tingkat internasional. Niscaya dibutuhkan pola pembinaan nasional yang lebih “menghargai” kinerja atlet. Terutama pada sistem penghargaan yang berujung pada tingkat kesejahteraan. Cermin terbaik sistem pembinaan olahraga prestasi, bisa belajar pada China. Situs kantor berita resmi Xinhua pernah menurunkan artikel berjudul “Berapa harga sebuah medali emas?” Ternyata, tidak murah.
Antara tahun 2000 hingga 2004, anggaran tahunan untuk olahraga sebesar lima milyar Yuan atau sekitar US$785 juta. Jumlah anggaran dalam empat tahun itu lebih dari US$3 miliar (sekitar Rp 31 trilyun). Hasilnya, diperoleh 32 medali emas di Olympiade Atena 2004. Jadi, untuk setiap medali emas setara 600 juta yuan atau sekitar Rp 900 milyar. Itu merupakan persiapan medali paling mahal di dunia. China, sudah membuktikan diri pantas menjadi “raksasa” baru prestasi olahraga dunia.
Artinya, pemerintah RRC menganggap bahwa perolehan medali pada even olahraga internasional (terutama Olympiade dan Asian Games), merupakan simbol martabat bangsa. Sistem pembinaan olahraga prestasi di China, sebenarnya tak jauh beda benar dengan pola yang diterapkan Kemenpora Indonesia. Mungkin hanya faktor disiplin dan biaya yang kurang. Dan, faktor korupsi. Di China, tidak ada yang berani korupsi.
Zaman kini, harus berubah. Pembinaan dan penghargaan kepada atlet berprestasi, bisa disetarakan dengan sertifikasi akademis (dosen). Misalnya, prestasi juara nasional setara dengan Strata 2 (magister), juara tingkat regional (SEA Games dan Asian Games) setara sertifikasi strata-3 (doktor). Serta juara dunia disetarakan dengan profesor, patut memperoleh tunjangan guru besar pada masa pasca prestasi.
Sudah dimulai dari juara dunia lari 100 meter, Lalu Muhammad Zohri. Pada ajang International Association of Athletics Federations (IAAF World) U-20 Championship, Zohri, finis terdepan dengan catatan waktu 10,18 detik. Pada lomba lari cepat kelompok U-20, biasanya di-dominasi atlek Amerika Serikat (AS). Bahkan Zohri ditempatkan pada lintasan ke-8 (paling pojok). Sebagai debutan, kemenangan Zohri di Finlandia, mengejutkan seluruh delegasi.
Perjuangan keras Zohri, membuahkan hasil, mensejahterakan keluarga. Berbagai penghargaan berupa materi diterima bagai hujan uang. Disediakan pula rumah baru (selain rumah lama yang direhab). Termasuk penghargaan modal kerja berupa usaha pertokoan, sampai tawaran menjadi pegawai ASN (Aparatur Sipil Negara). Juga tawaran menjadi prajurit TNI (Tentara Nasional Indonesia) langsung tanpa tes.
Zohri, seyogianya menjadi titik tolak pola pembinaan prestasi olahraga. Terutama manjaga kesinambungan cita-cita anak-anak menjadi atlet profesional, dengan jaminan hidup layak pada masa tua atlet.

——— 000 ———

Tags: