Menjamin Hari Tua Pekerja Lebih Baik

Tjitjik RahayuOleh :
Tjitjik Rahayu
Wartawan Harian Bhirawa Biro Jakarta

Tidak ada satupun diantara kita yang ingin menjalani kehidupan dihari tua nanti dengan menderita. Pastilah semuanya, berharap bisa menikmati hari tua dengan tenang, tercukupi semua kebutuhan pokoknya. Namun sayangnya, tidak semua bisa menatap hari tua dengan tenang alias masih banyak pekerja kita yang selalu resah dan gelisah ketika menatap masa depannya.
Kalaupun ada, tentu hanya untuk mereka yng punya kepastian jaminan pensiun seperti misalnya kalangan PNS atau mereka yang memiliki kesempatan menabung atau bisa ikut program asuransi khusus hari tua yang mempunyai harapan untuk menyambut hari tua dengan tenang. Sementara sebagian besar lagi, bisa jadi tidak sempat memikirkan kebutuh an dihari tua, memikirkan untuk hidup yang sekarang saja masih butuh kerja keras.
Selalu maraknya aksi demonstrasi pekerja setiap tahun, utamanya saat masa penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), menjadi indikasi betapa masih banyak pekerja yang merasakan upah yang diterima nya masih belum cukup. Kondisi ini pada sisi lain menunjukkan bahwa kehidupan hari tua masih belum sempat terpikirkan oleh para pekerja di tanah air. Bahkan masih banyak diantara pekerja kita yang belum sempat memikirkan, kalau tiba-tiba Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) itu menimpa mereka. Padahal, ketika kondisi perekonomian nasional masih belum stabil maka akan rentan terjadi goncangan ekonomi yang imbasnya gelombang PHK setiap saat bisa saja menimpa para pekerja kita. Pertanyaannya, seberapa banyakkah pekerja kita yang sudah memilih simpanan atau tabungan yang bisa digunakan kalau tiba-tiba terjadi gelombang PHK ?.
Bagi yng mendapat pesangon PHK yang cukup, mungkin bisa menolong. Tapi bagaimana yang tidak mendapat kan pesangon atau harus berjuang dulu agar dapat pesangon? Kondisi semacam ini sungguh masih banyak menimpa pekerja kita.
Menjamin Hari Tua Pekerja
Kegalauan masa tua pekerja nampaknya juga menjadi pertimbang an tersendiri pemerintah, ketika mem bentuk BPJS Ketenagakerjaan. Oleh karenanya, kehadiran BPJS Ketenaga kerjaan salah satuny adalah membuat pekerja bisa menikmati masa tuanya dengan tenang. Ada dua program khusus yang dikonsepsikan untuk masa tua pekerja yakni Program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP).
Meski terlihat sama, ada perbeda an dari keduanya. JHT memiliki manfaat dalam bentuk uang tunai sekaligus sebesar akumulasi iuran ditambah hasil pengembangannya, diterima saat memasuki usia pensiun, meninggal dunia atau cacat total tetap Sedangkan JP, manfaat dalam bentuk uang tunai bulanan dari pensiun hari tua, pensiun cacat, pensiun janda/duda pensiun anak dan pensiun orang tua dengan syarat masa iuran minimal 15 tahun.
Jadi jika di JHT manfaat pembayar annya bisa sekaligus, namun JP tiap bulan. Perbedaan lainnya, peserta JHT dapat mengambil sebagian dana jika telah memiliki masa kepesertaan minimal 10 tahun. Untuk JP, peserta memasuki pensiun dengan masa iuran kurang dari 15 tahun, peserta menerima akumulasi iuran beserta hasil pengembangannya secara sekali gus. Besar manfaat, JHT akumulasi iuran ditambah hasil pengembangan dan JP dihitung dengan formula tertentu berdasarkan masa iuran, upah masa iuran, dan faktor manfaat.
Iuran JHT ditetapkan sebesar 5,7% dari upah sebulan dengan rincian 2% dibayarkan pekerja dan 3,7% dibayar kan pemberi kerja. Tapi, JP iuran pertama kali ditetapkan 3% dari upah sebulan (dengan batas upah) dengan rincian 2% dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1% oleh pekerja. Sementara itu mekanisme penyelenggaraan JHT menjadi tanggungan wajib, sedang JP asuransi sosial. Dengan bentuk program, JHT tabungan atau provident fund, sedang JP manfaat pasti. Untuk risiko harapan hidup yang semakin panjang JHT ditanggung sendiri secara individual oleh peserta. Sedangkan JP ditanggung bersama secara kolektif oleh peserta.
Program ini jelas berlaku untuk semua pekerja yng ikut BPJS Ketenaga kerjaan tak pandang gajinya berapa. Pekerja rendahan yang semula mungkin tidak memikirkan bagaimana masa depan hari tuanya, kini bisa ikut tersenyum karena di hari tua nanti bisa untuk menyambung hidupnya. Syaratnya cuma satu, yakni menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan.
Belum terlalu banyak yang mema hami bahwa program JHT dan JP sesungguhnya adalah program keuangan yang juga bisa dimasukkan dlam kategori perencanaan keuangan. Falsafahnya sederhana. Setiap orang pasti memiliki risiko. Salah satunya, risiko menjadi tua dan kemudian tidak bisa bekerja lagi.Lalu,bagaimana risiko  itu diantisipasi? Bagi yang bisa menabung tentu akan lebih baik. Tetapi bagi pekerja, minimal adalah ikut serta program JHT yang diseleng garakan BPJS Ketenagakerjaan.
Format kontribusi iuran secara bersama, itulah yang membedakan program JHT dan JP dengan tabungan biasa ataupun jika mengikuti asuransi, yang biasanya seluruh dana yang dibayarkan berasal dari pekerja. Sementara jika mengikuti program JHT dan JP yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan, iurannya dibayarkan dua belah pihak, tetapi haknya dimiliki pekerja. Ini sesuai dengan falsafah gotong royong yang termaktub dalam prinsip jaminan sosial. Program JHT dan JP ini merupakan amanah Undang Undang. Artinya merupakan program negara yang wajib diikuti seluruh pekerja dan pemberi kerja atau pengu saha. Tujuannya adalah agar pekerja tidak menjadi miskin ketika memasuki hari tua dan tidak produktif lagi.
Polemik Pencairan JHT
Program Jaminan Hari Tua (JHT) pada awalnya memang sempat menjadi polemik terkait mekanisme pencairannya. Namun setelah ada revisi, maka per 1 September 2015, para pekerja yang menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang berhenti bekerja atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa mencair kan Jaminan Hari Tua (JHT) mengikuti mekanisme aturan yang baru.
Peraturan Pemerintah (PP) nomor 46 tahun 2015 tentang Penyelengga raan Jaminan Hari Tua, telah resmi di revisi dengan diterbitkannya PP nomor 60 tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua. Sebagai peraturan turunan atas PP no 60 tahun 2015 itu Menaker juga menerbit kan Peraturan Menteri nomor 19 tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua. Perubahan peratur an ini dilakukan untuk mengakomodir kondisi ketenagakerjaan nasional dan aspirasi yang berkembang di masyara kat, khususnya yang terkait dengan pengaturan manfaat Jaminan Hari Tua bagi pekerja/buruh.
Konten dari aturan baru ini sama dengan apa yang menjadi aspirasi dari para pekerja selama ini. Intinya adalah bahwa para pekerja yang terkena PHK atau berhenti bekerja, mereka bisa mencairkan JHT, 1 bulan setelah mereka terkena PHK atau berhenti bekerja. Itu substansi paling mendasar dari PP 60/2015 yng merupakan revisi PP 46/2015.
Dalam PP 60 tahun 2015 yang merupakan revisi PP 46 tahun 2015 dijelaskan soal pengaturan pencairan manfaat JHT bagi pekerja/buruh yang mencapai usia pensiun, mengalami cacat total tetap, dan meninggal dunia termasuk yang mengalami PHK atau berhenti bekerja. Substansi dalam peraturan baru mengenai tata cara pencairan JHT ini antara lain mengatur mengenai persyaratan bagi peserta yang akan mengambil manfaat JHT adalah apabila Peserta yang berhenti bekerja karena mengundurkn diri, terkena Pemutusan Hubungan Kerja dan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Pencairan manfaat JHT dapat juga diambil selama peserta aktif dengan catatan masa kepesertaan minimal sepuluh tahun dan manfaat JHT dapat diberikan paling banyak 30% dari jumlah JHT yang peruntukannya guna kepentingan lain. Jadi pencairan manfaat JHT dapat juga diambil selama Pekerja aktif bekerja. Dengan catatan masa kepesertaan minimal 10 tahun dan manfaat dapat diberikan paling banyak 30% dari jumlah JHT, yang diperuntukkan guna kepemilikan rumah. Atau paling banyak 10% untuk keperluan lain.
Program JHT ini tidak hanya bisa digunakan sebagai pertsiapan hari tua, tetapi juga untuk pembiayaan perumahan. Jadi ketika kita sudah pensiun sebelum mencapai usia 56 tahun dan ingin memiliki rumah, dana tersebut bisa diambil dari tabungan JHT kita. Berbeda dengan tabungan biasa, tabungan JHT ini memang program yang dipersiapkan untuk masa tua. Namanya juga untuk masa tua, jadi harus diambilnya pada saat sudah tidak bekerja lagi atau berusia 56 tahun. Namun berbeda untuk pegawai yang di PHK atau berhenti bekerja. Mereka bisa mengambil seluruh tabungan JHT setelah 1 bulan masa PHK atau berhenti bekerja. Jadi tidak harus menunggu 10 tahun atau usia 56 tahun, sesuai dengan PP 60 tahun 2015 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 19 tahun 2015.
Menilik demikian strategisnya program ini bagi masa depan pekerja, maka pemerintah dalam hal ini BPJS Ketenagakerjaan harus proaktif, melakukan sosialisasi terhadap eksis tensinya. Harapannya,semua pekerja yang ada di tanah air bisa ikut BPJS Ketenagakerjaan. Dari total 40 juta pekerja secara nasional, hingga semester pertama 2015, baru 22 juta yang ikut BPJS Ketenagakerjaan. Artinya masih ada sekitar 18 juta pekerja kita yang dilanda resah dan gelisah akan nasib masa tuanya nanti.

                                                                                                ——————— *** ——————–

Rate this article!
Tags: