Menjawab Kekhawatiran Dana Desa

Oleh:
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Univ. Muhammadiyah Malang

Dana desa sebagai salah satu implementasi UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa dikucurkan pemerintah pusat dengan tujuan sangat mulia. Penggelontoran dana yang nantinya hingga Rp1,4 miliar per desa per tahun, seluruh desa di Indonesia yang berjumlah lebih dari 74 ribu diharapkan bisa membangun secara mandiri untuk menyejahterakan diri sendiri.
Sedangkan dalam jangka panjang, penggunaan dana desa secara benar bisa menipiskan kesenjangan antarwilayah serta kesenjangan antarpendapatan. Kita tahu pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla terus berupaya keras memperkecil jurang kesenjangan ekonomi. Semua itu yang diagendakan oleh pemerintah pusat merencanakan menambah alokasi anggaran dana desa untuk tahun 2017 jadi Rp 60 triliun.
Evaluasi efektivitas dana desa
Alokasi anggaran Rp 60 triliun merupakan peningkatan signifikan dari volume anggaran Rp 46,7 triliun yang diperuntukkan bagi 74.000 desa selama tahun 2016. Belum cukup dengan rencana anggaran Rp 60 triliun, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi atau PDTT juga menebar janji akan mengalokasikan dana desa Rp 120 triliun tahun 2018. Sejak program dana desa diintroduksi, semua pihak  sudah wanti-wanti.
Pertama, kita mewanti-wanti ihwal efektivitas penggunaan dana desa itu, apakah penggunaannya sesuai dengan tujuan. Janji manis peningkatan besaran transfer fiskal dana desa merupakan simalakama politik. Pemerintah pusat terlampau menganggap mudah implementasi pengelolaan dana desa yang di tingkat bawah masih banyak kelemahan dalam hal teknis dan orientasi kepatuhan pada regulasi. Belum lagi, kucuran dana desa meningkatkan tendensi korupsi di lingkup pemegang kuasa pengelolaan dana desa
Kedua, kita khawatir besarnya dana desa menjadi ladang korupsi baru. Kekhawatiran itu sesungguhnya bermuara pada kualitas sumber daya manusia pengelola dana desa. Bukan hendak mengecilkan ‘orang desa’, melainkan memang tidak mudah mengelola dana sebesar itu. Perihal efektivitas pemanfaatan dana desa sangat terkait dengan kapasitas atau kepiawaian mengelola dana desa secara produktif.
Ketiga, kalaupun ihwal kemungkinan terjadinya korupsi sangat terkait dengan integritas pengelola dana desa. Tanpa kapasitas dan integritas, dana desa menjadi percuma. Itu menyebabkan tidak sinkronnya antara kebijakan dan pelaksanaan. Celakanya, salah satu penyakit kronis dalam pengelolaan bangsa ini ialah tidak sinkronnya kebijakan dan pelaksanaan.
Jadi kalaupun begitu banyak kebijakan yang dibuat pemerintah untuk menyejahterakan rakyat, begitu banyak pula penyimpangan dalam penerapan di lapangan. Setiap kebijakan yang ditetapkan pemerintah tentu dimaksudkan demi kemaslahatan rakyat. Namun, amat sering kebijakan dan pelaksanaan tak seiring sejalan. Oleh para pelaksana, tidak jarang kebijakan justru dibajak dari yang semestinya semata demi kepentingan masyarakat menjadi ajang bagi pribadi atau kelompok mengeruk keuntungan.
Itulah yang terjadi selama berpuluh-puluh tahun di negeri ini. Bahkan, itulah yang membuat penyakit akut berjuluk korupsi terus saja unjuk keganasan seakan tiada obat yang mampu menjinakkan. Itu pula yang membuat sebaik apa pun kebijakan sering tak membuahkan hasil sesuai dengan tujuan. Terkait dengan dana desa, contoh teranyar terjadi di Pamekasan, Madura, Jawa Timur.
Stop korupsi dana desa
Kebijakan dana desa yang sangat strategis untuk memberdayakan masyarakat desa di sana digerogoti perilaku korup. Bila dikorupsi, dana desa tak mungkin bisa digunakan optimal untuk menyejahterakan desa. Kasus di Pamekasan itu pun diduga kuat bukan kasus korupsi dana desa pertama. Ia diyakini hanyalah puncak gunung es. KPK bahkan telah menerima 300 laporan adanya korupsi dana desa.
Besar harapan dengan semangat yang begitu bagus, tiada alasan bagi siapa pun untuk tidak menyukseskan program dana desa. Dengan tujuan yang begitu mulia, dana desa harus diselamatkan dari siapa pun yang tidak becus mengelolanya bahkan bernafsu memangsanya.
Kini, menjadi tugas penegak hukum untuk menindak tegas siapa saja yang menyunat dana desa agar ada efek jera bagi mereka sekaligus efek takut bagi aparat yang hendak melakukan hal serupa. Juga, menjadi tugas pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dalam penggunaan dana desa. Korupsi terjadi, selain tentu saja karena masih banyak aparat tak berintegritas, juga karena lemahnya pengawasan.
Saat ini yang lebih penting ialah mencegah korupsi dana desa. Mencegah penyalahgunaan berarti menuntun pengelola menggunakan dana desa secara benar. Untuk keperluan itu, yang diperlukan ialah bimbingan, pelatihan, dan pendampingan. Ini bertujuan meningkatkan kapasitas perangkat desa untuk menggunakan dana desa secara benar sehingga tujuan mulia negara tercapai.
Pemerintan mesti lebih memberdayakan pendamping sehingga perangkat desa betul-betul mampu membuat perencanaan dan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana desa. Terungkapnya korupsi dana desa di Pamekasan jangan sampai membuat perangkat desa ciut menggunakan dana desa. Bila perangkat desa enggan mengelola dana desa karena takut dituduh korupsi, dana desa akan mangkrak tidak produktif.
Pendampingan mencegah dana desa mangkrak. Kasus di Pamekasan harus dijadikan momentum perbaikan pelaksanaan program dana desa. Dengan begitu, dana puluhan triliun rupiah yang sudah dan akan digelontorkan pusat ke desa betul-betul menjadi mesin pendorong pembangunan desa.
Oleh sebab itu besar harapan program pengawasan terpadu kelola dana desa juga perlu dibuatkan landasan regulasi yang tegas dan jelas sehingga komunitas pendamping desa, organisasi masyarakat sipil di desa, dan representasi masyarakat desa bisa melaksanakan pengawasan tata kelola dana desa. Mereka memiliki posisi tawar untuk mengkritik dan mengoreksi penyimpangan kelola dana desa. Sangat sulit pengawasan kelola dana desa diserahkan kepada institusi penegak hukum dan lembaga pengawas birokrasi, seperti inspektorat atau BPKP.
Efektivitas kelola dana desa juga membutuhkan inovasi, seperti pelaksanaan program sistem informasi keuangan desa (Siskeudes), E-budgeting dana desa (APBDes), ataupun penguatan sistem informasi desa, sehingga tata kelola desa bisa terakses dan termonitor oleh masyarakat desa. Dana desa sangat penting menjadi piranti sosial untuk kesejahteraan masyarakat desa dan merealisasikan konsepsi membangun dari desa (pinggiran).

                                                                                                       ————- *** —————

Rate this article!
Tags: