Menjawab Tragedi Nol Buku

Cover Boom LiterasiJudul buku  : Boom Literasi
Penulis  : Satria Dharma dkk
Penerbit  : Revka Petra Media
Tebal  : xii + 299 halaman
ISBN  : 976-602-1162-00-2
Cetakan  : I, Mei 2014
Peresensi  : Eko Prasetyo
Redaktur Pelaksana Majalah Widyawara

Dalam tajuknya di Suara Merdeka tahun 2008, Agus M. Irkham mengatakan bahwa prasayarat bagi suatu bangsa agar dapat maju dan berkembang adalah adanya masyarakat pembelajar. Salah satu basis dukungan terpenting bagi pembentukan masyarakat pembelajar adalah masyarakat yang gemar membaca. Kesadaran demikian naga-naganya semakin dimengerti publik luas.
Disebutkan bahwa rekognisi itu dapat dicandra melalui maraknya gerakan membaca (dan menulis), baik yang diprakarsai individu, kelompok masyarakat, media, lembaga pemerintahan, maupun institusi bisnis. Mulai dari pameran buku yang diselenggarakan lebih dari dua kali setahun di banyak kabupaten dan kota, pelatihan menulis, peluncuran dan diskusi buku, penyelenggaraan lomba menulis, pengoperasian perpustakaan berjalan,munculnya rubrik perbukuan di koran, pemilihan duta baca, hingga pendirian perpustakaan warga yang kini familier disebut komunitas literasi.
Memang tak bisa dimungkiri gairah membaca masyarakat kita saat ini bisa dibilang baik. Kunjungan ke toko buku, taman baca masyarakat (TBM), dan perpustakaan terus menunjukkan grafik meningkat. Ini membuktikan bahwa kesadaran literasi di kalangan publik tanah air semakin bagus.
Beberapa daerah di Indonesia pun berlomba-lomba meningkatkan layanan literasi. Surabaya, misalnya, bahkan sudah mencanangkan diri sebagai kota literasi. Dukungan pemerintah setempat diwujudkan dalam bentuk bantuan buku-buku bermutu yang disalurkan melalui perpustakaan daerah dan seluruh taman baca.
Setidaknya gerakan ini diharapkan dapat memutus mata rantai tragedi nol buku sebagaimana pernah dikatakan budayawan Taufiq Ismail dalam risetnya. Ia melakukan penelitian tentang kewajiban membaca buku sastra di SMA di 13 negara pada bulan Juli sampai Oktober 1997. Ia melakukan serangkaian wawancara dengan tamatan SMA 13 negara dan bertanya tentang kewajiban membaca buku, tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah, bimbingan menulis, dan pengajaran sastra di tempat mereka.
Memang angka di atas hanya berlaku untuk SMA responden (bukan nasional),dan pada tahun-tahun dia bersekolah di situ (bukan permanen). Namun, sebagai pemotretan sesaat, angka perbandingan di atas cukup layak untuk direnungkan bersama. Apabila buku sastra tak disebut di kurikulum, dibaca cuma ringkasannya, siswa tak menulis mengenainya, tidak ada di perpustakaan sekolah, dan tidak diujikan, buku sastra dianggap nol.
Dalam buku ini, Satria Dharma mengatakan bahwa ternyata hasil penelitian tersebut sungguh mengejutkan. Siswa SMA Indonesia tidak wajib membaca buku sastra sama sekali (atau nol buku) sehingga dianggap sebagai siswa yang bersekolah tanpa kewajiban membaca. Inilah yang kemudian disebut tragedi nol buku.
Buku Boom Literasi: Menjawab Tragedi Nol Buku ini berusaha mencatat alur perkembangan dunia literasi di Indonesia. Yang menarik, buku yang ditulis 16 pegiat literasi ini tidak sekadar menghadirkan literasi dari sisi konsepsi, tetapi juga praksis.
Hariani Susanti, misalnya. Guru sebuah SMP negeri di Bojonegoro itu menceritakan kiatnya mengubah kelas terkumuh di sekolahnya menjadi kelas literasi yang mampu menghidupkan kreativitas para siswanya sekaligus meningkatkan minat baca mereka.
Idenya cukup sederhana, yakni membuat perpustakaan mini di kelas tersebut. Ia menunjuk beberapa siswa untuk membuat rak buku dari bahan bambu yang mudah diperoleh di daerah setempat. Kemudian, ia menyumbangkan buku-buku bekas layak baca di perpustakaan itu. Tampilan kelas semakin dipermanis dengan adanya mading yang dikreasi sendiri oleh para siswa. Anak-anak remaja tersebut bisa memaksimalkan kreativitas mereka pada saat jam kosong. Hasilnya, kelas yang semula dikenal sulit dikendalikan berubah menjadi kelas kreatif.
Upaya untuk menumbuhkan minat membaca di kalangan remaja juga berhasil dilakukan oleh Dina Hanif Mufidah. Guru asal Gresik ini melakukannya lewat mendongeng (story telling). Juara mendongeng internasional di tingkat guru ini banyak mendapatkan inspirasi cerita dari pengalamannya mendengarkan sanggar cerita yang pada 1980-an pernah booming. Eksplorasi ini terbukti jitu untuk mendorong minat anak terhadap bacaan-bacaan yang terkait dengan dunia mereka.
Catatan lain yang tidak kalah penting adalah hasil tes PISA (Program for International Student Assessment) siswa Indonesia yang kurang memuaskan pada 2009 dan 2013. Salah satu komponen yang dinilai ialah kemampuan membaca (reading literacy). Satria Dharma memberikan catatan khusus mengenai hal ini. Ia mencontohkan Finlandia yang merupakan salah satu negara dengan system pendidikan terbaik di dunia.
Di sana, agar para siswa gemar membaca, mereka didorong untuk menyampaikan pendapat mereka tentang buku yang mereka baca meskipun pendapat mereka berbeda dengan pendapat umum. Mereka diminta untuk menguji validitas pendapat mereka sendiri tanpa harus dinilai oleh guru (hal. 3).
Kiat semacam ini semestinya bisa diadopsi di Indonesia. Sebagaimana diketahui, budaya literasi di sekolah belum banyak diterapkan. Hal inilah yang dianggap sebagai salah satu hambatan dalam mengembangkan kemampuan membaca siswa kita dan menjawab tragedi nol buku.
Buku ini mengajak seluruh masyarakat untuk kembali ke paradigma bahwa hanya dengan kebangkitan literasi bangsa ini akan meraih peradaban yang terhormat. Jika tragedi nol buku lenyap, kita akan menata sikap dan gerakan menjadi bangsa yang cerdas, bermartabat, dan terpandang di mata dunia.

—————— *** ——————

Rate this article!
Menjawab Tragedi Nol Buku,5 / 5 ( 1votes )
Tags: