“Menjinakkan” Dana Desa

karikatur ilustrasi

Penggunaan Dana Desa yang bersumber dari APBN, mulai menjebak pejabat tertinggi di daerah. Bupati (Pamekasan, Madura) menjadi “tumbal” besar pertama, terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Sebelumnya, korban penggunaan Dana Desa masih terbatas pada aparat desa. Namun sebenarnya, penyelewengan bisa dicegah dengan melibatkan partisipasi warga desa. Andai Dana Desa beres, maka warga desa bisa menikmati kemakmuran.
Pengucuran Dana Desa merupakan amanat UU Nomor 6 tahun 2014 tentang (Pemerintahan) Desa. Pemerintah berjanji, setiap desa akan menerima dana transfer (minimal) sebesar Rp 1 milyar. Secara bertahap kelak, desa (diharapkan) bisa turut menyokong pertumbuhan ekonomi. Janji itu bukan muluk-muluk, karena sejak tahun 2016, kekuatan APBN telah sebesar Rp 2.000-an trilyun. Sedangkan umlah desa ditaksir sebanyak 74 ribu unit pemdes (pemerintahan desa).
Jadi, hanya dibutuhkan anggaran sekitar Rp 100-an trilyun. Itu hanya sekitar 3,7% dari kekuatan APBN. Karena Dana Desa memiliki payung hukum kuat sebagai mandatory (berdasar undang-undang). Wajar manakala penggunaan keuangan desa, akan diberlakukan seperti APBD dan APBN. UU Nomor 6 tahun 2014, pada pasal 79 mengamanatkan sistem perencanaan pembangunan desa melalui musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbang-des).
Bahkan setiap Kepala Desa, harus siap diperlakukan seperti Kepala Daerah. Berdasar UU tentang Desa pasal 79 ayat (2), disyaratkan pula penerbitan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (6 tahun). RPJM-Desa, disesuaikan derngan visi dan misi kampanye kepala desa terpilih. Juga wajib menyusun RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Desa) tahunan yang selanjutnya menjadi APB-Des.
Sejak awal penerbitan UU tentang Desa, sejatinya telah diduga akan terjadi penyelewengan. Karena tiba-tiba, desa memiliki sumber dana sangat besar. Sebelum memperoleh anggaran mandatory dari APBN, pemerintahan desa telah memiliki ADD (Alokasi Dana Desa). ADD bersumber dari APBD Kabupaten, diberikan sebagai bagi hasil pemerintahan kabupaten. Nominal ADD bergantung pada pungutan pajak bumi dan bangunan, serta potensi lain.
Tidak mudah mencairkan ADD dari kas negara. Pencairan Dana Desa, ditransfer melalui rekening Pemerintah kabupaten (Pemkab) dan Pemkot, dengan persyaratan ketat, yang harus dipenuhi oleh Pemkab maun Pem-des. Transfer dari pusat ke daerah dilakukan setelah Pemkab memenuhi tiga persyaratan. Yakni, telah mengesahkan Perda tentang dana desa, di dalamnya terdapat pasal pengaturan tentang alokasi dana desa serta dana bagi hasil.
Pem-des, juga tidak mudah menerima dana desa dari Pemkab. Terdapat persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemerintah desa. Syarat utama, Pemdes sudah menerbitkan Perdes tentang APB-Des, serta menyampaikan realisasi penggunaan dana desa tahun sebelumnya. Syarat utama ini wajib menyertakan dokumen pertanggungjawaban keuangan (tahunan) oleh Kepala Desa di hadapan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Selain itu masih terdapat peraturan perundangan yang wajib dipatuhi. Terutama Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 tahun 2014. Pada PP telah ditentukan prioritas penggunaan dana desa. Antaralain untuk penanggulangan kemiskinan dan peningkatan akses sumber daya ekonomi. Pada tahap pencairan Dana Desa (tahun 2015), telah disediakan anggaran sebesar Rp 40 juta per-desa untuk  pelatihan aparat desa.
Dana desa dari APBN merupakan “rezeki” baru yang sebelumnya tak pernah diduga-duga. Tidak mudah menggunakannya, karena itu memerlukan  pendampingan dan supervisi memadai. Pengelolaan dana besar, niscaya membutuhkan perencanaan (dan pengawasan). Juga diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).
Dana Desa telah menunjukkan (fakta) ke-rawan-an. Seluruh kesalahan bisa berakibat tindak pidana khusus dan tindak pidana korupsi (tipikor), urusan KPK. Jika tidak waspada, akan banyak perangkat desa sampai Bupati mendekam di penjara.

                                                                                                         ———————- 000 ————————

Rate this article!
Tags: