“Menjinakkan” Harga Cabai

Karikatur Ilustrasi

Serasa percaya – tidak percaya, harga cabai lebih mahal dibanding haga daging sapi. Sekaligus mampu “memimpin” laju inflasi melebihi seluruh komoditas. Selama sebulan sejak pertengahan Pebruari, harga cabai rawit sudah melampaui Rp 100 ribu per-kilo. Cabai sudah sering menunjukkan martabatnya sebagai komoditas strategis di Indonesia. Maka pemerintah bersama petani perlukan inovasi sistem tanam cabai sepanjang musim.

UMKM juga perlu didorong hilirisasi (memproduksi) “sambal instant” awet, yang bisa dikonsumsi selama menunggu musim panen cabai. Kelangkaan cabai selalu berulang pada bulan Pebruari hingga Maret, setiap tahun, bersamaan puncak musim hujan. Menjadi periode paceklik cabai. Selalu dimulai dari Jawa Barat, kenaikan harga cabai pada pertengahan Desember merangkak naik sampai 100%. Kini harga cabai di Jakarta dan Jawa Barat mencapai Rp 130 ribu per-kilogram.

Selama satu dekade terakhir cabai sering mengguncang, bersamaan puncak musim hujan. Semula diduga disebabkan faktor off-farm. Yakni, pasok distribusi yang terhambat banjir. Bahkan pada tahun 2013, istana presiden menyelenggarakan rapat terbatas membahas cabai. Karena cabai menjadi “mesin pendorong” laju inflasi, sampai 1,78%. Melebihi kekuatan kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Pada musim hujan, putik bakal cabai sangat rentan (cepat busuk).

Kementerian Pertanian perlu memfasiltasi ladang cabai dengan teknologi sederhana (tepat guna). Khususnya penanganan tatakelola on-farm. Misalnya melindungi tanaman (tertutup, tidak terguyur hujan) cabai yang mulai berbuah, sampai siap petik. Pemerintah Daerah (kabupaten dan kota) juga bisa memberi tanaman cabai kepada masyarakat. Karena sebenarnya tanaman cabai mudah tumbuh dengan perawatan tidak sulit.

Cabai sudah menjadi komoditas hortikultura yang sering mengalami volateli. Tiba-tiba naik, dan tiba-tiba pula anjlok. Mengecoh petani, karena ke-tidakpasti-an harga. Kebutuhan cabai nasional ditaksir sebanyak satu juta ton per-tahun! Sedangkan hasil panen cabai sekitar 1,2 juta ton. Pulau Jawa, terutama Jawa barat dan Jawa Timur, menyumbang pasokan terbesar. Maka mestinya, tidak terjadi kelangkaan. Bahkan masih bisa ekspor. Tetapi realita suplai and demand, berbeda. Cabai sering langka seiring musim hujan.

Ironis, tahun 2017 Indonesia malah mengimpor cabai dari Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Walau tidak banyak, hanya sekitar 200 ton. Namun devisa yang dikeluarkan untuk impor bisa digunakan sebagai fasilitasi ladang di dalam negeri. Konon pemerintah pernah memiliki program penambahan areal cabai seluas 340 ribu hektar. Lokasinya di propinsi Banten dan Jawa Barat, itu hanya untuk menyokong konsumsi di kawasan Jabodetabek.

Tetapi bisa jadi kelangkaan cabai bukan disebabkan cuaca. Melainkan “permainan” pedagang besar melonjakkan harga cabai. Sehingga Polisi perlu pula menyidik mahal-nya harga cabai. Begitu juga KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), menurunkan tim menjejaki harga cabai, mulai hulu (sentra cabai) hingga hilir di pasar krempyeng. Boleh jadi terdapat pedagang besar menimbun untuk mengeruk keuntungan, berdalih kendala musim hujan. Kasus penimbunan pernah dijejaki di pasar Kramatjati, Jakarta.

Pepatah “kecil-kecil cabe rawit,” ternyata benar. Bentuknya kecil, tetapi bisa merongrong perekonomian rakyat dalam skala nasional. Sehingga presiden perlu memberi instruksi kepada menteri terkait untuk men-stabilkan harga cabai. Termasuk kepada Polri dan KPPU, agar harga cabai tidak semakin me-liar. Perlu razia cabai, untuk memutus matai rantai sindikat tengkulak. Harga cabai seyogianya berada pada harga ke-ekonomi-an, yang tidak memberatkan rakyat (konsumen), dan tidak merugikan petani.

Pemerintah perlu memfasilitasi tata-niaga hasil panen. Serta pe-masal-an tanaman cabai pada setiap rumahtangga. Kelak, pemerintah tidak akan tergagap-gagap lagi menghadapi masalah cabai.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: