Menuju Indonesia Bebas TB

Oryz-SetiawanOleh : Oryz Setiawan
Alumnus FKM Unair dan Mantan Wakil Supervisor (Wasor) TB
Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur

Berbicara penyakit tuberkulosis atau TB, orang membayangkan penyakit yang tidak populer, kuno dan menyerang sebagian besar kelompok masyarakat miskin dan keterbelakangan. Tuberkulosis (TB) bukan merupakan penyakit yang baru, penyakit ini sudah ada sejak jaman dahulu sekitar 15.000 – 20.000 tahun yang lalu. Bila dibandingkan dengan penyakit modern kekinian yang lagi ngetren di masyarakat seperti HIV/ AIDS, Flu Burung (H5N1), Difteri hingga DBD. Secara program memang penyakit TB adalah salah satu indikator kesehatan untuk mengukur tingkat kemiskinan sehingga pengendalian TB sangat penting dalam rangka upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat. TB adalah wabah yang lekat dengan kemiskinan, karena TB dan kemiskinan ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, kemiskinan bisa menjadi penyebab mewabahnya TB. Seperti misalnya, lingkungan kumuh, padat dan kotor dimana menjadi tempat favorit berkembangbiaknya kuman TB. Oleh karena itu dalam rangka memperingati Hari Tuberkolosis Sedunia / TB Day tahun 2015 ini mengangkat tema Indonesia : Bebas TB, Indonesia Sehat dan Hebat. Dengan tema tersebut tersirat makna bahwa pemerintah berupaya keras dan terus menerus untuk mengurangi kasus penderita TB secara menyeluruh dan berkesinambungan hingga tercapai kondisi bebas TB di republik ini.
Penyakit TB memang sulit untuk diberantas selama masih ada sumber kuman, potenitas obat yang sudah tidak sesuai dan gerakan penjaringan suspect (tersangka) TB di masyarakat yang memiliki prevalensi yang tinggi. Aspek kualitas lingkungan yang buruk, tingkat kepadatan penduduk (densitas) dan tingkat kepatuhan pasien berobat adalah faktor-faktor resiko penyakit sehingga wajar bila penyakit TB merupakan salah satu indikator kemajuan dan tingkat kesejahteraan masyarakat dimana kian banyak kasus TB di suatu negara  menunjukan bahwa negara tersebut masih terbelakang dan lekat dengan kemiskinan. Berdasarkan penelitian bahwa lebih dari 80 persen kasus TB menyerang kaum miskin dimana tingkat hiegienitas dan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk.
Proaktif dan Efektif
Berbagai masalah kesehatan terutama penyakit di Indonesia memang cenderung menurun namun demikian strategi penanganan kasus penyakit di lapangan masih menggunakan pendekatan kuratif medistis. Padahal secara karakteristik kasus TB adalah bagian dari penyakit yang berbasis komunal dimana keberadaannya ada di tengah-tengah masyarakat sehingga upaya yang dilakukan antara lain : pertama, strategi deteksi dini berupa upaya penjaringan atau kunjungan rumah (home care) yang bersifat proaktif selain juga pelayanan pengobatan di puskesmas. Kondisi yang demikian membutuhkan pendekatan komunitas atau public health sehingga tenaga kesehatan yang “lebih” berperan adalah bidan, perawat dan kesehatan masyarakat yang memiliki basis keilmuan komunitas atau kemasyarakatan dengan tidak menyesampingkan upaya penatalaksanaan kasus yang bersifat kuratif dan pengobatan secara medis. Penanganan tersebut sangat terkait erat dengan prinsip dasar layanan kesehatan yakni mengedepankan pencegahan daripada upaya pengobatan. Jika sudah terjadi kasus maka upaya promotif dan preventif lebih didorong daripada upaya kuratif dan rehabilitatif.
Kedua, melakukan upaya inovatif atau terobosan seperti membentuk forum atau paguyuban mantan penderita TB yang sudah disembuhkan sehingga kesaksian (testimoni) dan pengalaman mereka sangat dibutuhkan untuk memacu semangat dan motivasi penderita untuk selalu teratur dalam menjalani pengobatan hingga tuntas. Pengobatan teratur dan tuntas merupakan kunci penyembuhan penyakit TB sebab biasanya pasien TB sudah merasa sembuh sebelum masa pengobatan berakhir sebab secara kuman TB masih bersifat “dormant” atau “persister”. Dalam keadaan dormant kuman TB tidak aktif namun berpotensi kembali aktif apabila keadaan lingkungan berubah (memungkinkan) terutama kondisi lingkungan yang gelap dan lembab. Oleh karena itu diperlukan keteraturan minum obat hingga tuntas sebagai upaya untuk mematikan kuman hingga benar-benar mati dan tidak kambuh kembali. Ketiga, melibatkan jejaring kesehatan seperti kader, perangkat desa, tokoh masyarakat, tokoh agama serta lintas sektor mutlak dibutuhkan untuk mendukung mencegah resiko dan  menuntasan penyakit TB.
Dengan ketersediaan dan keterbatasan tenaga kesehatan tentu mau tidak mau harus melakukan gerakan serempak melalui jejaring masyarakat dengan demikian bila muncul gejala-gejala penyakit TB dapat sedini mungkin ditemukan dan diobati agar tidak terjadi rantai penularan di masyarakat. Keempat, memperkuat sarana dan kelengkapan laboratorium sebagai instrumen mengukur ketepatan dan keakuratan diagnosis kuman Basil Tahan Asam (BTA) melalui serangkaian tindakan laboratorium berupa fiksasi dan pewarnaan termasuk reagen. Tak kalah pentingnya adalah perangkat mikroskop yang standar sebagai bagian tatalaksana pemeriksaan TB yang tak terpisahkan sehingga penentuan jenis, derajat penularan, kuantitas dan kualitas kuman dapat memperkuat tindakan pemeriksaan dan pengobatan termasuk jenis obat yang diberikan. Dengan demikian baik tindakan non medis maupun medis sangat diperlukan untuk mendiagnosa dan mencegah penularan penyakit TB secara luas.
Pengendalian TB) di Indonesia telah mendekati target Millenium Development Goals (MDGs). Ukuran keberhasilan terhadap kuantitas penurunan kasus dan kesembuhan memang cukup berhasil, namun secara kualitas klinis perlu diwaspadai dampak resistensi obat anti tuberkulosis (OAT), fenomena tersebut kian mengkawatirkan bila terjadi MDR (Multi Drugs Resistance) atau XDR (Extremely Drugs Resistance) yakni resistensi obat yang terdiri dari komposisi Rifamfisin, INH, Pirazinamide, dan Ethambutol. Resistensi obat timbul akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat dalam kemoterapi pasien TB sehingga kuman BTA menjadi mengalami kekebalan. Kondisi tersebut diperparah bila kuman yang resisten menular pada orang lain termasuk balita dan anak-anak, sungguh sangat mengkawatirkan. Salah satu karakterisitik pengobatan TB adalah rentang waktu pengobatan yang lama minimal enam bulan, sementara untuk pasien yang mengalami kekambuhan hingga sembilan bulan bahkan yang lebih menyedihkan adalah untuk pasien yang telah mengalami resistensi obat memerlukan treatment khusus, dipantau ketat dalam pengobatannya hingga 24 bulan tanpa terputus.

                                                                                   —————————— *** ——————————

Rate this article!
Menuju Indonesia Bebas TB,5 / 5 ( 1votes )
Tags: