Menumbuhkan Budaya Literasi

Mahathir Muhammad IqbalOleh:
Mahathir Muhammad Iqbal
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Raden Rahmat Malang

Harus jujur kita akui, dapat dipastikan masyarakat kita jarang mengetahui bahwa di bulan September tepatnya tanggal 14 ini adalah hari dimana diperingatinya bulan gemar membaca dan hari kunjung perpustakaan (bahkan di wikipedia pun belum tercantum). Apabila dibandingkan dengan salah satu peristiwa misalnya seperti hari valentine, jelas sekali perayaan hari kasih sayang tersebutlah yang akan lebih di ingat terutama bagi generasi muda bangsa kita. Cobalah anda tanyakan itu kepada salah satu remaja di sekiling kita? benarkah demikian adanya?
Peristiwa penting memperingati bulan gemar membaca dan hari kunjung perpustakaan telah dicanangkan oleh mantan presiden Soeharto pada tanggal 14 september tahun 1995. Tujuannya adalah satu yaitu peradaban bangsa Indonesia maju karena budaya membacanya. Harapan itu menjadi cita-cita di setiap negara di belahan dunia manapun berada terutama bagi negara-negara berkembang yang notabene budaya bacanya masih kurang mengakar dengan baik.
Hal ini berbanding lurus dengan kebiasaan masyarakat Indonesia dalam membaca dan menulis masih terbilang sangat rendah. Tak usah jauh menelisik pada masyarakat Eropa seperti Inggris, Prancis, Jerman, atau bahkan di Amerika. Di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) saja, kebiasaan membaca dan menulis juga terbilang rendah. Indonesia menempati urutan ketiga terbawah di kawasan ASEAN, atau berada di atas Kamboja dan Laos.
Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan. Berdasarkan indeks nasional, tingkat minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,01. Sedangkan rata-data indeks tingkat membaca di negara-negara maju berkisar antara 0,45 hingga 0,62.
Merujuk pada hasil survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2011, indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih ‘mau’ membaca buku secara serius (tinggi). Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi 124 dari 187 negara dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Sementara itu suatu hasil studi menyatakan bahwa lebih dari 90% kemajuan pengembangan ilmu pengetahuan yang dicapai negara-negara maju salah satunya disebabkan oleh sinergi kegiatan belajar formal anak didik di kelas dan ketekunan mereka dalam membaca yang digalakkan di luar kelas. Oleh sebab itu pengembangan minat dan kebiasaan membaca perlu dikondisikan dalam kehidupan masyarakat, jika kita menginginkan masyarakat kita menjadi lebih maju.
Perlu diakui bahwa mayoritas masyarakat Indonesia termasuk anak-anak usia sekolah belum melakukan kegiatan membaca secara intens sebagai suatu kebutuhan hidup. Bahkan di lingkungan sekolah kegiatan membaca yang sudah masuk ke dalam kurikulum, minat membaca siswa pun belum menggembirakan. Berkaitan dengan hal ini, tingkat keterbacaan masyarakat Indonesia masih rendah. Menurut penelitian lembaga dunia terhadap daya baca di 41 negara, Indonesia berada di peringkat ke-39. Saat ini masyarakat Indonesia belum menganggap membaca buku sebagai kebutuhan primer (Kompas, 17 Mei 2004).
Menurut saya, beberapa faktor penyebab lemahnya minat dan kegemaran membaca anak didik antara lain disebabkan kurang adanya penggalakan dan penciptaan kondisi yang mampu mendukung tumbuhnya minat baca melalui program sekolah yang terintegrasi dengan pelajaran, penyediaan bahan bacaan melalui perpustakaan sekolah yang kurang menunjang, dan dorongan orang tua yang juga lemah.
Artana (2004) mengemukakan bahwa masyarakat kita belum memiliki budaya membaca (kebiasaan membaca). Ada lima kendala yang dihadapi masyarakat kita dalam mengembangan kebiasaan membaca, yaitu (a) masih kuatnya budaya tutur yang tertanam dalam kehidupan masyarakat, (b) pesatnya perkembangan media elektronik (gadget) dan masih terbatasnya bahan bacaan dalam bentuk tercetak, (c) masih terbatasnya kemampuan industri penyedia informasi, (d) sistem pendidikan yang belum menempatkan kegiatan membaca sebagai konsep pendidikan, dan (e) kondisi ekonomi masyarakat yang masih rendah.
Kita patut mengelus dada dengan realitas minat baca masyarakat Jatim. Sebab, itu berarti budaya baca di negeri ini memang masih rendah. Apabila membaca-sekaligus tentu menulis-adalah penanda peradaban, siap-siap saja kita bakal semakin tertinggal oleh negeri-negeri jiran kita di Asia, misalnya, Jepang dan Malaysia.
Koran terbitan Tokyo, Jepang, Asahi Shimbun, pernah melaporkan tingginya minat baca di kalangan remaja dua negara tersebut. Di Jepang, misalnya, dalam waktu sebulan, rata-rata anak-anak muda mampu melahap lima judul buku berkategori “berat” dan puluhan jilid komik.
Jadilah di mana saja mereka berada, baik ketika nongkrong di sekolah, kampus, atau kafe, maupun saat di perjalanan di dalam kereta, buku menjadi teman terbaik. Tidak berarti mereka tak akrab dengan segala piranti canggih tadi. Tapi, menu utama mereka tetap membaca.
Kultur atau hasil didikan formal di negara seperti Jepang mungkin memang sepenuhnya diarahkan kepada penyadaran bahwa baca-tulis adalah sebuah upaya memasuki-dan kemudian menciptakan-peradaban. Seperti yang disampaikan Beethoven sang composer dunia, “apabila saya tidak mencatat temuan-temuan saya, saya tentu akan melupakannya begitu saja. Apabila saya mencatatnya, niscaya saya tidak akan melupakannya…”. Tanpa kesaksian yang terwujud dalam teks atau tulisan, sejarah dalam pengertian histoire recite (sejarah yang dikisahkan) tak akan ada.
`Buku lantas menjadi teramat penting bagi manusia ketika kemudian Guttenberg menemukan mesin cetak yang memungkinkan terwujudnya pemasaran buku. Ketika peradaban terus berjalan meninggalkan jejak lakon manusia, buku merekam semua itu.
Dengan kata lain, buku adalah jendela dunia. Melalui buku pula, kita dapat menelusuri sejarah masa lalu maupun memprediksi masa depan. Buku adalah salah satu pintu dan kunci menuju ke arah peradaban dan kebudayaan yang lebih baik.
Dengan membaca, cakrawala berpikir kita akan terbuka. Kabut kelam otak akan segera sirna tersapu oleh hembusan angin segar ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang mampu membawa kita menyelami bumi, laut, langit, bahkan bintang-bintang.
Dengan hanya duduk membaca buku sambil menyeruput secangkir kopi, kita bisa menjelajah dunia yang kita mau. Bahkan, yang belum kita pernah kunjungi secara fisik sekalipun.
Anda tahu, Karl May menghasilkan trilogi Winnetou yang berkisah tentang petualangan di alam wild west Amerika tanpa sekalipun pernah ke sana. Toh 200 juta orang di seluruh dunia (sesuai dengan jumlah eksemplar buku yang terjual) bisa terbius oleh kisah si kepala suku Apache dan sahabatnya yang berdarah Jerman-Amerika, Old Shatterhand, karangan penulis Jerman tersebut.
Ingat, dengan semakin menjamurnya medium yang memungkinkan anak-anak muda kita mengakrabi dunia pustaka, akan sangat menyedihkan kalau budaya baca mereka masih seperti tengara yang disampaikan di awal tulisan ini. Padahal, toko buku, pameran buku, cuci gudang buku, bedah buku, kompetisi menulis, bengkel penulisan kreatif, temu penulis, dan berbagai kegiatan sejenis kian gampang diakses. Mari, kita bangun budaya literasi.

                                                                                              —————- *** —————

Rate this article!
Tags: