Menumpas “Calon” Teroris

Jasad (diduga teroris pelaku bom bunuh diri) tergeletak nista di depan gerbang gereja katedral Makasar. Tubuh berserakan terhantam bom yang meledak lebih awal. Menandakan terorisme semakin tidak memiliki ruang gerak. Tetapi jaringan terorisme tetap tumbuh bermodal dakwah ajaran menyimpang, dan radikal. Pemerintah perlu tetap menggiatkan penumpasan terorisme. Terutama melalui “patroli” sosial melibatkan masyarakat.

Terorisme, dipastikan sebagai penyimpangan ajaran agama. Karena seluruh agama meng-haram-kan tindak kekerasan. Membunuh manusia bisa dilakukan oleh setiap orang dari berbagai bangsa, berbagai profesi, dan berbagai keyakinan. Misalnya, terorisme yang terjadi di kota Christchurch, Selandia Baru. Pelaku menembaki jamaah muslim yang baru usai shalat Jumat, 15 Maret 2019. Tak tanggung-tanggung, dua masjid sekaligus dijadikan sasaran.

Dalam sehari itu, Selandia Baru (dan dunia) bagai terguncang. Di kota Christchurch yang damai, disusupi teroris beraltar ultra rasialis kulit putih. Lebih sangar dibanding “nazi-isme.” Seketika bergelimpangan korban jiwa sebanyak 49 orang di pelataran masjid Al-Noor, area Linwood Avenue, dan masjid kawasan Dean Avenue. Termasuk dua dari Indonesia (satu korban jiwa, dan satu terluka serius). Teror pembuhuhan masal oleh pelaku kulit putih, sudah sering terjadi.

Kulit putih (sekaligus non-muslim) membunuh sesamanya, telah menambah catatan panjang terorisme. Seperti terjadi pada Oktober (2017) di Amerika Serikat. Mata dunia terbelalak ketika Las Vegas diguncang teror tunggal tanpa bom. Korban jiwa sebanyak 50 orang (dan 500 lain terluka), diduga “di-eksekusi” dengan senjata laras panjang. Pelakunya, bukan muslim, bukan pula berkebangsaan Arab. Melainkan warga setempat, yang tidak berkait dengan sindikat teroris internasional.

Namun kepolisian Amerika Serikat (AS), memperoleh hujatan internasional. Karena tidak menyebut perilaku Stephen Paddock sebagai terorisme. Aksi akuntan yang hobi judi itu di-labeli sebagai “serangan” brutal bersenjata. Seperti tentara gila. Walau tidak berkait dengan sindikat terorisme. Namun dapat melakukan penyerangan kepada orang banyak secara individual (seorang diri). Lazim disebut “lone wolf” terrorism. Serangan yang ditujukan kepada banyak orang, adalah terrorisme!

Catatan terorisme di berbagai negara menunjukkan berbagai pelaku, dengan berbagai sasaran, tanpa alasan. Menyasar kafe, stadion, gedung pusat perdagangan dunia Wall Street, sampai menyasar The White House (istana kepresidenan AS). Di Indonesia, yang paling brutal sampai menyasar Markas Polri berskala besar (level markas komando pasukan elit), Mako Brimob (9 Mei 2019). Dibutuhkan waktu selama 36 jam menjinakkan terorisme di Mako Brimob, dengan korban jiwa 5 anggota Polri gugur.

Pelaku terorisme di Mako Brimob, adalah kelompok JAD (Jamaah Ansharud Daulah). Kelompok pelaku yang sama dengan teroris bom bunuh diri katedral Makasar. Harus diakui, ber-altar ajaran dakwah menyimpang. Sesungguhnya telah dijejaki (dan diwaspadai), sehingga tidak memiliki ruang gerak. Harus diakui pula, dakwah ajaran menyimpang tumbuh cukup subur di berbagai daerah. Ironisnya, teroris yang menjadi narapidana malah diberi ruang dakwah sebagai penceramah, dan imam shalat di penjara.

BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) juga telah memiliki catatan komplet berbagai jaringan terorisme. Termasuk akun media sosial, dan lembaga pendidikan kalangan radikalisme. Misalnya, kelompok takviri Wahabi, dan Salafy. Ironisnya, kelompok dakwah ajaran radikalisme masih bisa leluasa menimbulkan kegaduhan sosial. Terutama olok-olok terhadap kelompok mayoritas umat Islam. Yang tidak sejalan (se-akidah) dianggap kafir.

Pemberantasan terorisme di Indonesia telah cukup memadai. Termasuk dukungan Komando Operasi Khusus (Koopsus) TNI anti teroris. Masyarakat juga berperan aktif menjejaki setiap warga yang berkarakter dakwah menyimpang, dan radikal.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: