Menunggu Kepastian Full Day School

Oleh :
Nur Kholis Huda, M.Pd.
Guru SDN Jetis III Lamongan.

Gagasan Full Day School memang sudah tidak asing terdengar. Pada awal kinerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof. Dr. Muhadjir Effendy, gagasan ini sudah menjadi wacana program kerja 100 hari pertama, yang akan diterapkan pada jenjang SD dan SMP baik negeri maupun swasta.
Guru diwajibkan memenuhi ketentuan beban kerja 40 jam per minggu.. Ketentuan ini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah yang dikeluarkan pada tanggal 12 Juni 2017. Peraturan Full Day School berlaku untuk semua sekolah kecuali TK/ RA atau sederajat. Artinya, sistem ini akan dilaksanakan pada jenjang SD, SMP, dan SMA atau sederajat.
Tahun pelajaran 2017/ 2018, gagasan Full Day School hampir final untuk dilaksanakan, meski 19 Juni 2017 Presiden Jokowi membatalkan Permendikbud tersebut. Pembatalan Permendikbud ini tidak membuat beberapa daerah untuk tetap melaksanakan persiapan program lima hari sekolah tersebut. Hal ini dilaksanakan, dengan alasan pembatalan Permendikbud nantinya akan diperkuat dalam Peraturan Presiden.
Topik seputar penerapan sistem ini sontak menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Baik dari kalangan guru, wali murid, dan pemerhati pendidikan. Banyak elemen publik yang menganggap bahwa Full Day School tidak bisa serta merta diterapkan di Indonesia. Program ini perlu dikaji lebih dalam dan menyeluruh, secara detail sehubungan dampak positif dan negatifnya.
Keresahan Full Day School
Meski dengan dalih bahwa konsep Full Day School ini bertujuan memberi waktu luang anak dan keluarga untuk bertemu di akhir pekan, banyak kalangan beranggapan bahwa konsep Full Day School cocok untuk lingkungan keluarga tertentu. Misalnya, bagi anak-anak yang kedua orang tuanya bekerja. Daripada dititipkan ke pengasuh anak, yang menyedot cost finansial maupun sosial, mereka lebih memilih hari sekolah dengan sistem ini.
Namun untuk kelompok masyarakat tertentu, Full Day School tidak relevan. Contohnya, bagi anak dari keluarga kurang mampu. Dengan sekolah berbasis Full Day, otomatis biaya operasional akan naik. Biaya tambahan tersebut sudah pasti menjadi beban orang tua karena termasuk biaya tambahan di luar kegiatan belajar mengajar di sekolah. Biaya tersebut bisa berupa uang saku yang pasti akan bertambah karena anak membutuhkan uang untuk makan siang. Contoh lain, bagi anak di pedesaan atau di kota-kota kecil, yang masih menempuh belajar agama sekolah diniyah, atau paling ringan, mengaji di sore hari. Konsep belajar lima hari ini pastinya akan mengganggu rutinitas keagamaan mereka. Karena di sekolah biasa belum tentu bisa menerapkan pembelajaran mendalam tentang keagamaan.
Persoalan lain yaitu pada aturan jam istirahat. Dalam satu hari sekolah yang berlangsung selama 8 jam, hanya diberikan waktu setengah jam istirahat. Jika dalam pelaksanaan pembelajaran dengan sistem ini, pihak sekolah menambahkan jam istirahat, maka tidak boleh mengurangi 8 jam yang sudah baku dalam aturan Permendikbud. Lantas bagaimana penerapannya pada usia anak SD?.
Pemampatan hari sekolah dari 6 hari menjadi 5 hari, otomatis akan menggeser jam belajar yang dilaksanakan pada hari Sabtu beralih ke 5 hari yang ditetapkan. Padahal, dalam satu hari terdapat kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Lantas kapan ekstrakurikuler dilaksanakan?, sedangkan Mendikbud memastikan bahwa lima hari sekolah tidak mengubah kurikulum yang sudah berjalan.
Keresahan akan daya tahan belajar siswa memang tidak bisa dipungkiri. Kita semua tahu bahwa kemampuan otak manusia terbatas, tidak hanya orang dewasa, hal ini berlaku pada semua usia. Khususnya usia sekolah dasar, mereka masih memiliki kecenderungan untuk bermain berdasarkan dari karakter perkembangan usianya. Jika dipaksakan untuk menghadapi kegiatan di sekolah dalam jangka waktu lama, kita khawatir anak akan kehilangan masa-masa bermain dan menjadi pribadi yang tertekan.
Pendidikan yang baik harus dilaksanakan secara berjenjang (hirarkis). Lebih baik belajar sedikit tetapi berkelanjutan, daripada belajar dalam satu waktu yang panjang. Jika kita mengacu pada teori ini, maka konsep Full Day School yang akan kita laksanakan pada tahun pelajaran baru justru akan merusak daya serap belajar anak. Bisa jadi, mereka tidak maksimal dalam menerima materi pelajaran, atau hanya menjadi rutinitas semata.
Menyikapi Full Day School
Kegalauan berbagai pihak dalam merespon Permendikbud tentang Hari Sekolah dalam konsep Full Day School memang tidak bisa terhindarkan. Masyarakat butuh kepastian yang menyejukkan. Bukan sekadar peraturan yang malah membuat bingung. Apalagi, selama ini anak sekolah sudah dibebani dengan banyak “target” dari orang tua yang sejatinya buah dari salah kaprah dalam mendefinisikan makna pendidikan. Paradigma yang menganggap nilai pelajaran lebih penting dari wawasan dan karakter sudah menggerogoti sistem. Pemerintah memiliki pekerjaan rumah untuk menggerus mindset seperti itu.
Menyikapi Permendikbud tersebut, semua kalangan masyarakat baik orang tua, guru, atau pemerhati pendidikan hendaknya tetap menunggu kepastian dalam pelaksanaan yang jelas. Seperti apa yang disampaikan Gubernur Jawa Timur Dr. H. Soekarwo dalam surat edaran perihal pemberlakuan hari sekolah di Jawa Timur yang dikeluarkan pada tanggal 16 Juni 2017. Beliau mengharapkan agar dilakukan penundaan pelaksanaan peraturan dimaksud sampai dengan adanya petunjuk lebih lanjut dari Pemerintah Pusat.
Konsep Full Day School jelas membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk diterapkan. Mulai dari aspek menyiapkan tenaga pendidik yang mampu mengelola lingkungan belajar agar tetap menyenangkan bila sudah lewat siang, hingga sisi kurikulum yang pasti mesti disesuaikan. Meski Mendikbud menyatakan bahwa peraturan lima hari sekolah dikecualikan bagi sekolah yang belum memadai, sebagaimana dalam pasal 7 dilakukan secara bertahap. Kita hendaknya tidak terburu-buru untuk menerapkan pelaksanaan lima hari sekolah tersebut hingga keluar aturan pelaksanaan yang jelas.
Bahkan kalau bisa berharap, pemerintah menimbang ulang dengan melakukan pemantauan yang akurat di berbagai pelosok sekolah, agar tidak salah melangkah dalam mengambil keputusan. Maka itu, penerapan program ini harus bijak dan terukur. Tidak boleh asal dilaksanakan tanpa pertimbangan komprehensif. Supaya setiap elemen masyarakat tidak mengalami “guncangan” ekonomi dan sosial.

                                                                                                    ———– *** ———–

Rate this article!
Tags: