Menunggu Kerja Cerdas Gubernur BI (Baru)

Melindungi Martabat Rupiah (dan Uang Rakyat) 

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, sudah dilantik (mengucap sumpah) di Mahkamah Agung (MA), menggantikan Agus Martowardoyo. Dikenal sebagai “guru” moneter internasional, Perry diharapkan dapat mendongkrak nilai kurs rupiah. Serta kebijakan suku bunga bank dalam negeri yang “pantas,” sebagai konter kenaikan suku bunga The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat). Niscaya diperlukan kerjasama dengan pemerintah untuk menerbitkan berlapis-lapis kebijakan.
Seketika setelah pelantikan Gubernur BI yang baru, pasar saham menunjukkan tren positif. IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) meroket sebesar 2,67%, mendekati angka 6.000,-. Artinya, pelaku bursa saham merespons positif hadirnya Prry Warjiyo. Tercatat “aksi beli” investor asing totalnya (net buy) sebesar Rp 684,59 milyar. Namun nilai rupiah belum turut ter-katrol IHSG. Bahkan masih bergerak naik mendekati Rp 14.200,- per-US$.
Perry Warjiyo, berjanji akan membawa BI sebagai penjaga stabilitas ekonomi. Dengan visi (kuat) pro-growth, telah digelar lima peta jalan pertumbuhan ekonomi. Prioritasnya (yang pertama) bertumpu pada kebijakan moneter. Serta peta pendukung utama berupa obligasi, ekonomi syariah, dan ekonomi keuangan digital. Juga kebijakan “relaksasi” makro-prudensial, agar gejolak inflasi maupun nilai tukar tidak mencemaskan.
Tetapi bukan hanya kebijakan strategis keuangan yang diperlukan. Melainkan juga perlindungan sistemik teknis menyelamatkan rekening (uang) masyarakat. Pembobolan teknologi tarik tunai ATM bank, masih sering terjadi, wajib segera ditangani sebagai prioritas. Penegak hukum juga harus bertindak cermat menindak pelaku kriminalitas perbankan.
Pembobolan Anjungan Tunai Mandiri (ATM), diduga telah lama terjadi. Namun tidak dilaporkan. Bahkan “mengutil” uang nasabah bank juga sering terjadi tanpa disadari pemilik rekening. Tiada transaksi, tiada penarikan, tetapi saldo berkurang. “Mengutil” dengan nominal kurang dari 1% jumlah saldo, biasanya tidak disadari. Setelah terjadi beberapa kali (sampai lebih dari 1%), akan cukup mengagetkan.
Beberapa Polda (dan Polres), telah menangkap pelaku pembobol rekening nasabah. Misalnya, Polda DIY (Yogya) telah meringkus 17 pelaku. Modus pembobolan rekening, diawali dengan cara mengganjal mesin ATM dengan lidi. Pelaku mengintip calon korban yang kesulitan menarik uang tunai. Menyaru sebagai petugas (berkostum dengan logo bank) menawarkan bantuan, dengan meminta nomor PIN.
Setelah memperoleh nomor PIN, pelaku bergegas menuju ATM lain terdekat untuk menguras uang nasabah. Itu metode kriminal murni, menyaru dan mempedaya, tergolong pencurian (perampokan) dengan pemberatan. Sebab klausul “pemberatan” bukan sekedar kekerasan fisik. Melainkan terbukti melalui teknologi khusus. Yakni, bisa menarik uang dari ATM tanpa menggunakan kartu ATM yang asli. Klausul “pemberatan” ini dapat menjadi penafsiran iharent terhadap KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
Ironisnya, “pengutilan” tidak dapat di-klaim oleh nasabah bank. Pegawai bank biasanya cukup menjawab, “tidak tahu, mungkin ada transaksi yang terlupakan.” Jawaban yang sangat mengecewakan. Lebih ironis, hal itu sering terjadi pada nasabah kelas menengah ke bawah, dengan jumlah saldo di bawah Rp 200-an juta. Kini baru disadari, bahwa perbankan tidak memiliki perlindungan yang memadai untuk mengamankan rekening nasabah.
Melindungi Rupiah
Realitanya, kepolisian telah mengendus modus pembobolan rekening nasabah melalui teknologi internet. Beberapa hacker jahat (yang mengutill saldo nasabah), telah ditangkap. Sebagian kasus juga melibatkan pegawai bank. Namun institusi perbankan seolah-olah tetap sakti, tidak dapat disalahkan, tidak bersedia mengganti uang nasabah yang dicuri. Padahal undang-undang (UU) Perbankan, mewajibkan penggantian terhadap segala risiko, yang bukan disebabkan oleh nasabah.
Melindungi rekening nasabah tidak perlu menunggu sampai tahun 2021. Peng-alihan teknologi menggunakan chips, harus segera dilakukan. Selama ini ini kartu ATM masih dicetak dengan teknologi strip magnet. Di dalam strip berisi seluruh data nasabah. Tetapi teknologi lama (strip magnet) mudah dibobol. Konon, beberapa bank (terutama bank BUMN) telah memulai peng-alihan teknologi menggunakan chips. Patut segera di-masal-kan, termasuk pada bank swasta nasional.
Namun, kinerja Gubernur BI yang paling ditunggu, adalah mengatrol IDR (Indonesia Rupiah). Saat ini kurs tengah rupiah telah mencapai “ambang psikologis,” Rp 13.960,- per-US$. Sedangkan kurs jual telah benar-benar menembus Rp 14.000,- per-US$. Ambang psikologis harus segera dikendurkan untuk mengurangi spekulasi permintaan dolar. Antaralain, pengetatan penukaran rupiah melalui peraturan “kurs jalan tikus.”
Kebijakan penukaran berliku, perlu dilakukan. Manajemen “kurs jalan tikus,” merupakan penukaran uang rupiah terhadap mata uang lain dengan jalan ber-jenjang. Misalnya, rupiah tidak dapat ditukar langsung dengan dolar Amerika, melainkan dengan mata uang lain yang lebih stabil. Setidaknya berjenjang dua. Misalnya, Riyal Arab Saudi (SAR), dan Yen Jepang (JPY).
Sehingga penukaran rupiah ke dolar akan mengikuti “jalan tikus,” dua jenjang. Yakni, rupiah-yen-dolar Amerika (US$). Atau melalui jenjang rupiah-riyal-dolar Amerika. Manajemen “jalan tikus” hanya berlaku pada penukaran dari mata uang asal rupiah ke mata uang dolar Amerika. Sedangkan mata uang non-rupiah (bukan IDR) bisa langsung ditukar bebas.
BI dapat menentukan (melalui telaah nilaim kurs) mata uang asing yang lebih stabil terhadap rupiah. Sehingga catatan demand mata uang asing bisa meningkat, dan beragam. Tidak di-dominasi dolar Amerika. Penukaran “kurs jalan tikus” diberlakukan secara umum, merata, terhadap individu, perusahaan, maupun money changer. Tak terkecuali penukaran mata uang oleh perbankan BUMN dan swasta nasional.
Macro-prudent sebagai cara me-relaksasi tensi gejolak nilai tukar rupiah, patut dilakukan dengan berbagai cara. Depresiasi rupiah telah berlangsung cukup lama (sejak Oktober 2017), dimulai pada kurs Rp 13.400,- per-US$. Sehingga, jika ditulis dengan nilai dolar Amerika Serikat (saat penetapan APBN), bernilai US$ 165,723 milyar. Namun jika dikalkulasi sesuai nilai tukar saat ini (Rp 14.185,-) kekuatan APBN tahun 2018 sekarang menjadi US$ 156,552 milyar.
Maka APBN tahun 2018, seolah-olah telah “kehilangan” (susut) sekitar US$ 9,171,- milyar. “Kehilangan” itu dalam rupiah (dengan kurs Rp 14.185,- per-24 Mei 2018) setara dengan Rp 130 trilyun lebih. Padahal, tidak ada yang mencuri, dan tidak dikorupsi. Pada bagian lain, kalangan industri juga harus membayar (dengan IDR) lebih besar, khususnya berbasis bahan baku maupun bahan penolong eks impor. Misalnya, industri manufaktur, dan pengolahan baja. Juga industri obat-obatan masih impor bahan farmasi sebesar 30%.
Begitu pula beban yang tertanggung pada rakyat mengalami kenaikan. Misalnya, industri (kelas rumahtangga) produksi tahu dan tempe. Sebesar 70% kedelai masih impor. Lebih lagi susu, juga masih sangat bergantung pada impor. Bahkan aneka buah segar (terutama apel, dan anggur) masih perlu impor dalam jumlah besar. Pada bulan Januari 2018 nilai impor apel senilai US$ 4,522 juta, dan impor anggur senilai US$ 4,04 juta. Seluruhnya terasa lebih mahal dalam (IDR (rupiah).
Road-map perlindungan rupiah yang paling mudah, adalah dengan menaikkan suku bunga. Dengan itu akan diperoleh pergerakan saving (menabung) masyarakat lebih besar. Kalangan menengah ke atas yang memiliki uang cukup besar, juga bisa berpartisipasi dalam obligasi. Bahkan pemerintah daerah (Pemda) juga bisa menerbitkan obligasi daerah untuk membiayai proyek-proyek yang tergolong laris manis. Antaralain, pembangunan rumah susun hak milik, jalan tol kota, sampai RSUD.
Namun menaikkan suku bunga patut mewaspadai “soko guru” perekonomian Indonesia. Yakni, sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Khususnya sektor mikro dan kecil, yang telah terbukti menjadi “pahlawan ekonomi” pada masa resesi ekonomi global. Ironisnya, sektor usaha mikro dan kecil tidak memiliki agunan yang bank-able. Tidak punya sertifikat aset (tanah dan bangunan).
Maka gubernur BI diharapkan dapat menggerakkan sektor usaha mikro dan kecil, melalui kebijakan “garansi kejujuran.” Bersama OJK (Otoritas Jasa Keuangan), BI dapat memperbanyak lembaga penjaminan kredit usaha mikro dan kecil sampai di tingkat desa. Walau harus diakui diperlukan kerja lebih keringat. Namun secara akumulatif akan menumbuhkan padat karya, padat usaha, serta padat pajak dan retribusi (untuk daerah).

——— 000 ———

Tags: