Menunggu Kinerja KarSa II

Sejarah keterlambatan kerja gubernur bagai terulang. Meski telah memenangi pilgub pada tanggal 29 Agustus 2013, tetapi pakde Karwo tidak bisa segera dilantik. Bahkan setelah penetapan putusan MK per-7 Oktober lalu, juga tidak bisa segera dijawal pelantikan gubernur definitf. Padahal seharusnya (periode sebelum Pakde Karwo), Gubernur Jawa Timur selalu dilantik pada sekitar tanggal 26-28 Oktober. Boleh jadi, pasangan KarSa harus napak tilas peristiwa gubernur pertama, RMT Soerjo (patungnya persis di depan Grahadi).  
Meskipun sudah dilantik tanggal 5 September 2013, tetapi belum bisa ke Surabaya. Beberapa tugasnya di Bojonegoro harus diselesaikan. Maka Gubernur Suryo baru memulai tugas barunya di Surabaya pada tanggal 12 Oktober 1945. RMT Soerjo, adalah salahsatu pejuang dan masih memiliki garis trah keturunan kerajaan Mataram. Tak salah Presiden Soekarno memilihnya sebagai gubernur Jawa Timur mengganti pejabat Belanda. Molornya ke-gubernur-an diyakini sebagai pewarisan adat wahyu pulung.
Tetapi terbukti, kelambatan itu efektif sesuai momentum. Pasukan Sekutu yang baru saja memenangi Perang Dunia II, mulai masuk Surabaya pada pertengahan Oktober 1945. Sekutu yang diboncengi NICA (Belanda) coba menggertak Indonesia yang baru 2 bulan memproklamirkan kemerdekaan. Tetapi pada 25 Oktober 1945, Gubernur Soerjo menolak permintaan Sekutu, untuk menyerahkan diri dan datang ke kapal perang pemenang Perang Dunia kedua itu.  
Paradigma masyarakat Jawa masih meyakini, bahwa term kekuasaan merupakan wahyu pulung (penunjukan bersifat Ilahiyah, takdir). Sebab dulu pun, air kelapa yang berisi pulung kekuasaan, bukan diminum oleh pemiliknya (Ki Ageng Giring), melainkan ditenggak habis oleh Ki Ageng Pemanahan. Andai zaman millenium ini ada air kelapa kekuasaan, seberapa besar akan dihargai?
Pada masa kini, “air kelapa kekuasaan” itu berupa konstitusi Pemilu. Kosa kata “pemilu” merupakan kependekan dua kata pemilihan umum. Tetapi idiom pemilu dalam bahasa Indonesia juga bisa dimengerti sebagai kata subyek pelaku, seperti pemanah, pemahat, atau pemanis. Sayangnya, kata “pemilu” (dengan paradigma kata subyek-pelaku) memiliki makna kesedihan. Yakni yang menyebabkan pilu (sedih).
Ternyata benar, pada setiap pemilu pasti selalu ada yang pilu. Kalah dalam pemilu mestilah pilu. Seperti diakui oleh Presiden SBY dalam bukunya “Selalu Ada Pilihan.” Ketika kalah dalam pemilihan Wakil Presiden pada Sidang Umum MPR 2001. SBY ketika itu kalah dari dan Hamzah Haz (yang terpilih menjadi Wapres), dan kalah dukungan dibanding Akbar Tanjung. Syukur masih ada “obat pilu.” Yakni, diangkat menjadi Menko Polkam oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Memenangi Pilgub
Begitu pula dalam pemilukada Gubernur Jawa Timur 2013 lalu, ada yang pilu. Bukan hanya yang kalah, melainkan juga pemenangnya. Walau sudah unggul telak 47,25%, tetapi pilgub Jawa Timur harus menunggu ketetapan MK (Mahkamah Konstitusi). Bahkan menjelang pelantikan masih dikaitkan dengan tragedi penangkan Ketua MK (Akil Mochtar) dalam kasus suap sengketa pilkada. Padahal boleh jadi, hal itu merupakan pembalikan probabilitas fakta. Yakni, mungkin terdapat pendukung pasangan lain pada pilgub Jatim yang coba melobi Ketua MK agar dimenangkan dalam gugatan sengketa pilgub. Memang tak mudah memenangi pilgub di Jawa Timur yang berpenduduk lebih dari 41 juta jiwa. Tidak cukup bermodal populer. Tak cukup pula bermodal pangkat jenderal. Dalam dua kali pilgub paling akhir, dua jenderal terbukti kalah. Begitu pula pada pilgub sebelumnya (ketika dipilih DPRD), seorang jenderal yang sangat populer tidak mampu mengulang untuk jabatan periode kedua, dikalahkan sesama jenderal (yang tidak populer).
Dalam sejarah ke-gubernur-an Jawa Timur, hanya tiga gubernur yang sukses sampai akhir periode kedua, masing-masing era zaman hanya satu orang. Yakni, zaman orde-lama oleh R. Samadikun (1949-1957), zaman orde baru oleh H. Mohammad Noer (1967-1978) dan era reformasi oleh H. Imam Utomo (1998-2008). Apakah prestasi ini bisa diulang, selamat sampai diakhir jabatan? Wallahu a’lam bis-shawab.
Jawa Timur kini sudah memiliki gubernur ke-14 (definitif) per-12 Pebruari 2014. Sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945, (diawali gubernur Soerjo, tahun 1945-1947) sudah terdapat 13 gubernur. Jawa Timur menjadi salahsatu daerah terpenting dalam percaturan pemerintah nasional, secara politik maupun perekonomian, sejak awal kemerdekaan. Dari sisi perekonomian, propinsi ini  berkontribusi sebesar 16% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) nasional.
Walau secara ke-APBD-an (dengan kekuatan senilai Rp 18 trilyunan), memang bukan yang terbesar. Pada sisi lain disektor pertanian, NTP (Nilai Tukar Petani) juga menempati urutan terendah se-Jawa (hanya berkisar 102). Padahal nilai 100 pada NTP memakai patokan tahun 2007 lalu. Jika NTP bergerak mengiringi besarnya laju inflasi tiap tahun, maka setidak-tidaknya sudah harus mencapai nilai 120-an. Artinya, pertanian sudah tergolong mata-nafkah yang in-feseable, tidak menguntungkan. Padahal, sektor pertanian menjadi tempat bekerja 7,68 juta warga Jawa Timur atau 40,41 persen dari jumlah penduduk yang bekerja.
Dus analisisnya, bahwa persentase terbesar yang menikmati pertumbuhan ekonomi bukanlah para petani sebagai mayoritas di Provinsi Jawa Timur. Sebagaimana kondisi secara nasional, sebesar 80% “kue” pertumbuhan dinikmati oleh segelintir (20%) orang kaya. Sedang sisa “kue” yang  20% diperebutkan oleh 80% masyarakat kecil. Namun toh petani tak punya lain. Mengolah sawah bukan sekadar mencari nafkah, melainkan dianggap sebagai ibadah, pengadian untuk menyediakan pangan nasional.
Menjamin Kedaulatan Pangan
Hampir seluruh produk pertanian yang dibutuhkan oleh masyarakat  di kawasan timur Indonesia (khususnya holtikultura) disuplai dari Jawa Timur. Jutaan ton hasil panen holtikultura dijual ke wilayah Kalimantan, Sulawes, Maluku hingga Papua. Menurut catatan Dinas Pertanian Jawa Timur selalu surplus besar holtikultura. Misalnya panen kentang tahun ini bisa mencapai 110.459 ton, yang dikonsumsi oleh masyarakat Jawa Timur kurang dari separuhnya. Begitu pula panen cabai merah sebanyak 774.023 ton, sedangkan kebutuhan hanya 22.486 ton (80% dijual ke luar propinsi).
Dalam RPJMD, secara tekstual dinyatakan bahwa Jawa Timur adalah propinsi agrobisnis, dengan pilar utama usaha ke-pertanian. Bahkan propinsi ini dijadikan sebagai penyangga pangan utama nasional. Hasil berasnya diharapkan mampu sebanyak 7 juta ton (dari sebanyak 11,777 juta ton gabah kering giling). Jika dikurs dengan harga beras sesuai Inpres Nomor 7 tahun 2009 yang sebesar Rp 5.060,- per-kilogram, maka “industri” beras Jawa Timur beromzet senilai Rp 35,5 trilyun. Ditambah berbagai hasil kebun sayur dan buah (plus tebu dan tembakau) nilainya lebih dari Rp 100 trilyun.
Dan petani Jawa Timur bukan hanya jago dalam hal menghasilkan padi, tetapi juga bahan pangan lain, yakni daging. Peternak (yang juga petani) tercatat memiliki 4,7 juta ekor sapi. Jika se-ekor sapi dihargai (minimal) Rp 7 juta, maka “industri” peternakan khusus sapi saja sudah senilai Rp 32,9 trilyun. Ditambah kambing, bebek, dan ayam, totalnya lebih dari Rp 50 trilyun. Maka nilai total omzet “industri” ke-pertanian di Jawa Timur bisa lebih dari Rp 150 trilyun per-tahun. Tidak ada perusahaan BUMN maupun BUMD yang beromzet sebesar itu. Bahkan andai seluruh usaha konglomerat yang ada di Jawa Timur dikumpulkan, belum bisa menandingi sektor ke-pertani-an yang diusahakan oleh rakyat. Maka industri ke-pertanian merupakan usaha paling strategis (dan paling vital) di Jawa Timur. Karena posisinya itu, lazimnya memperoleh perhatian lebih besar dari pemerintah.
Seharusnya, usaha ke-pertanian terukur feseable manakala NTP sudah mencapai 130-an. Itulah sebab, tingkat perekonomian rumahtangga petani rerata tergolong miskin. Lebih lagi, seolah-olah usaha ke-pertanian dibiarkan bersaing dengan produk impor. Itulah tugas utama gubernur Jawa Timur, menjadikan sektor pertanian sebagai usaha yang menguntungkan petani. Keuntungan itu yang akan menjamin kedaulatan pangan, agar tidak bergantung pada impor. Selain itu, masih banyak hak masyarakat yang tergolong kebutuhan dasar (kesehatan dan pendidikan) masih harus diperjuangkan. Amanat UUD pasal 28H ayat (1) tentang hak layanan kesehatan  dan pasal 31 ayat (2) tentang  pendidikan dasar belum sepenuhnya disediakan oleh pemerintah. Lebih dari 14  juta warga Jawa Timur yang berhak memiliki layanan kesehatan belum memiliki kartu penjaminan.

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik

Rate this article!
Menunggu Kinerja KarSa II,5 / 5 ( 1votes )