Menunggu Pancasila Turun ke Bumi

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini tetap berlangsung dan berjalan harmonis hingga hari ini, salah satunya adalah karena kekuatan dari nilai-nilai Pancasila. Maka pemahaman nilai Pancasila itu harus terus digalakkan, terutama kepada para generasi muda. Pancasila merupakan dasar dan falsafah bangsa yang sudah terbukti kesaktiannya dalam mempersatukan seluruh komponen bangsa dari Sabang sampai Merauke.

Pancasila terbukti ampuh menjadi ideologi kunci dalam menjalankan roda kehidupan masyarakat Indonesia sampai saat ini. Tanpa Pancasila, bukan hal yang mustahil bangsa ini tidak bisa utuh seperti sekarang ini. Tanpa Pancasila, mungkin kita sudah tercerai-berai. Karena keragaman Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa, agama, hingga bahasa, sangat rentan pecah bila tidak ada pemersatu yang diyakini secara bersama. Belum lagi negara kita yang berbentuk kepulauan, tentu memiliki potensi yang tinggi untuk terpisah satu sama lain.

Di sinilah pentingnya Pancasila sebagai dasar negara yang mampu menjadi perekat beragam perbedaan tersebut. Dengan Pancasila, berbagai perbedaan-perbedaan tersebut bukan lagi menjadi kelemahan. Kemajemukan bangsa ini menjadi sebuah kekayaan Indonesia yang jarang sekali dimiliki oleh negara lain. Masing-masing suku bangsa memiliki adat istiadat, bahasa hingga kesenian khusus yang menjadi identitasnya. Ada tari Pendet dari Bali yang sangat mendunia. Ada tari Saman dari Aceh yang juga sangat terkenal. Dan, itu semua menjadi kebanggaan nasional Indonesia. Semuanya masih ada dan menjadi identitas nasional karena peran Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Artinya, Indonesia adalah Pancasila.

Keduanya tidak bisa dilepaskan, karena Pancasila lahir dari kemajemukan bangsa dengan latar belakang sosial-budaya, geografis, dan kesamaan sejarah masyarakat Indonesia. Sebaliknya, pandangan hidup, ideologi, falsafah bangsa Indonesia itu semuanya telah tecermin dari nilai-nilai yang ada dalam Pancasila. Karena itu, Pancasila tidak akan bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Pancasila Turun ke Bumi

Kesuksesan Indonesia dalam berdemokrasi tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila yang mengalir di seluruh urat nadi dan darah manusia Indonesia. Namun bukan tidak mungkin, nilai nilai Pancasila akan tergerus seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi. Maka itu, para generasi penerus bangsa wajib dibekali dengan nilai-nilai Pancasila sejak dini.

Sekolah-sekolah perlu lagi memberikan pelajaran yang cukup tentang Pancasila. Yang tak kalah penting adalah jangan sampai Pancasila hanya menjadi jargon belaka. Jargon yang melayang di awang awang dan tercerabut dari realitas sosialnya. Akibatnya, realitas sosial menjadi berjarak dengan Pancasila. Pancasila tersimpan di ruang sakral yang sesekali dimunculkan untuk menjawab persoalan sosial kebangsaan. Bahkan acap kehadiran Pancasila dijadikan komoditas politik untuk kepentingan sesaat kelompok tertentu. Jangan sampai Pancasila hanya diakui milik golongan tertentu. Kampanye soal Pancasila juga jangan sampai digunakan untuk menyerang atau mendiskreditkan kelompok-kelompok yang kritis, karena cara-cara seperti itu justru akan memecah belah bangsa dan akan membahayakan kesatuan dan kemajemukan masyarakat yang selama ini hidup rukun.

Kekhawatiran Pancasila akan dijadikan alat politik atau sekadar alat untuk menjustifikasi perberbedaan menjadi bencana sungguh tidak berlebihan bila dikaitkan dengan kegaduhan yang terjadi akibat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang berujung sebanyak 75 karyawan Komisi Pemberantasasn Korupsi (KPK) tidak lulus dan selanjutnya 51 karyawan dari 75 Karyawan yang tidak lulus tersebut diberhentikan dari KPK.

Kita tentu berharap agar Pancasila benar-benar hadir di tengah masyarakat dan mampu berdialog dengan persoalan yang ada di tengah masyarakat. Jangan biarkan Pancasila berada di awang awang dan terasing dari masyarakatnya. Pancasila bukan sekadar jargon dan mantra sakti yang hanya dimiliki para pejabat tinggi yang memiliki otoritas sebagai penafsir tunggal sehingga memanfaatkan mantra sakti Pancasila untuk memberangus perbedaan dan kekuatan yang dianggap tidak sejalan secara politik dengan mengatasnamakan Pancasila.

Kolaborasi Ideal

Sampai hari ini, kearifan lokal dan ideologi Pancasila dinilai menjadi kolaborasi terbaik untuk membentengi bangsa dari “serangan” ideologi transnasional yang membawa paham-paham kekerasan. Kearifan lokal di Indonesia diakui sebagai alat pemersatu bangsa kita yang majemuk. Itu diucapkan banyak ulama-ulama, terutama dari Timur Tengah. Mereka memuji Indonesia karena mampu hidup damai dengan berbagai keragaman agama, suku, ras, bahasa, dan sebagainya. Bahkan mereka juga memuji Islam Indonesia yang toleran. Identitas bangsa Indonesia, yaitu kearifan lokalnya yang dikenal memiliki peradaban, kultur, bahasa, dengan ciri masing-masing daerah. Artinya, dengan saling menghormati dan menjunjung tinggi kearifan lokal, masyarakat otomatis telah memperkuat persatuan bangsa. Masing-masing daerah memiliki kultur dan adat sendiri, dan semua bisa saling menghormati dan menghargai.

Indonesia mempunyai sejarah sebagai bangsa yang disegani dan dikagumi oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Nilai-nilai luhur rakyatnya dan kearifan lokal masyarakatnya mampu menyatukan keanekaragaman budaya, tradisi, dan adat-istiadat dalam ikatan kebersamaan yang saling menghormati dan menghargai. Tak heran jika ada dua kerajaan besar yang pernah memiliki wilayah seluruh Asia Tenggara, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Lantas, apakah modal demografi bangsa Indonesia tersebut? Nilai asli Indonesia terbukti mampu mengakomodir semua kepentingan kelompok menjadi perpaduan yang serasi dan harmonis. Nilai-nilai kearifan lokal yang dapat membawa Indonesia ke puncak kejayaan, di antaranya semangat gotong royong, tolong-menolong, kemajemukan, dan budi pekerti.

Semangat gotong royong merupakan kearifan lokal bangsa Indonesia yang ada sejak nenek moyang kita. Sebagai contoh, apabila di suatu masyarakat di daerah pegunungan terjadi kerawan tanah longsor atau banjir, maka seluruh warga akan bekerja bersama-sama membuat terasering untuk menanggulangi bencana tersebut tanpa berharap upah atau imbalan. Semangat tolong-menolong dimunculkan ketika salah satu warga yang memiliki hajat. Seluruh warga tanpa dikomandoi akan menyumbangkan tenaga dan material guna menyelesaikan hajat orang tersebut. Jiwa kemajemukan sangat terlihat dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika dihadapkan pada pekerjaan bersama, tak seorang pun warga akan memandang latar belakang, suku, agama, ras atau golongan. Mereka meleburkan diri untuk memelihara keharmonisan umum. Sedangkan budi pekerti merupakan ajaran hidup yang diturunkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia agar selalu menghormati dan menghargai orang lain, serta memperlakukan orang lain seperti diri sendiri.

Nilai-nilai kearifan lokal merupakan sifat asli bangsa kita, namun telah diracuni dan dikaburkan oleh kekuatan asing. Budaya kebersamaan luntur oleh budaya pragmatis transaksional. Kerja bakti lingkungan yang dimaksudkan sebagai media komunikasi antar warga dan menimbulkan rasa ikut memiliki fasum/fasos, dianggap sebagai kegiatan formalitas yang dapat ditinggalkan dengan cara membayar sejumlah uang. Ruang publik sebagai tempat berkumpulnya warga tidak dijadikan prioritas dalam program pembangunan. Saling sapa antar warga menjadi hal yang aneh, bahkan antar tetangga pun tidak kenal satu dengan lainnya. Semangat kebersamaan luntur menjadi sikap individualistis dan apatis.

Nah hemat penulis, kalau dalam kondisi demikian, maka sesungguhnya hanya mengenalkan Pancasila secara tekstual kepada generasi sekarang juga tidak cukup bisa untuk memperbaiki keadaaan. Sebab, teks-teks indah yang tersurat dalam butir-butir Pancasila itu hanya akan menjadi teks mati kalau tidak diimbangi dengan tumbuh dan bangkitnya budaya bangsa, yang notabene merupakan asal muasal kearifan lokal. Sungguh kita berharap Pancasila kembali turun ke bumi.

—— *** ——-

Rate this article!
Tags: