Menunggu Political Will Pemerintah

Nurudin (1)Oleh :
Nurudin
Dosen Fisip Universitas Muhammadiyah Malang

Masyarakat kita rasanya kian tidak sabar atas sikap pemerintah dalam menghadapi persoalan bangsa dan negara. Pemerintah kita memang terkesan lamban, itu tidak bisa dipungkiri. Ini bukan soal tidak sabar karena pemerintahan Jokowi-JK belum berjalan 1 tahun. Namun begitu, jika persoalan bangsa dan negara tidak diputuskan segera secara konkrit,  gelombang protes dan ketidakpuasan kian mengalami eskalasi.
Mengurai Masalah
Harapan pada pemerintahan Jokowi begitu besarnya karena ia dicitrakan sebagai presiden yang merakyat lantaran sering blusukan dan berkomunikasi dengan rakyat. Tentu saja, tidak semua presiden mampu melakukan kegiatan itu. Harapan kelewat besarnya itu membuat Jokowi punya beban berat. Bisa jadi, siapapun yang jadi presiden akan punya beban serupa, masalahnya Jokowi sudah dianggap sebagai “sang mesiah” bagi pendukungnya.
Sebagai seorang presiden, Jokowi punya beban berat karena ia bukan “pemilik” sebuah partai politik (Parpol) yang bisa menggerakkan kendaraan partai secara leluasa. Ia hanya penumpang paling populer diantara penumpang yang lain, bahkan dari “pemilik”nya sekalipun.  Karena popularitasnya itu, ia didorong menjadi nahkoda yang lebih besar dengan tetap tak punya hak milik atas “kendaraan” tersebut.
Sebagai pemilik kendaraan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tentu tidak rela jika sang nahkoda ikut menguasainya. Dinasti trah Soekarno bisa terancam, seandainya Jokowi dibiarkan tidak dalam pengawasan. Di sinilah kemudian terjadi gesekana kepentingan. Jokowi yang notabene  sudah menjadi milik masyarakat Indonesia dianggap tetap menjadi milik atau orang yang hanya bisa menjadi orang karena peran “kendaraan” politik.
Jadilah kepanikan melanda PDIP. Kekuasaan yang dimiliki sampai mampu mengantarkan Jokowi jadi presiden, jika tidak dipelihara akan hancur. Kepanikan ini muncul sampai elit politik PDIP mengeluarkan pendapat bahwa Jokowi itu hanya petugas partai. Ini justru menunjukkan kepanikan partai berlambang banteng dengan moncong putih itu. Dalam posisi ini, presiden benar-benar tersandera secara politik.
Di sinilah awal mula masalah berasal sehingga presiden tidak bisa bekerja secara leluasa karena tersandera secara politik. Dalam bahasa humor, maju kena mundur kena. Jokowi tinggal memilih sebuah keputusan untuk   partai atau rakyat.
Kemauan Politik
Politik memang tetap politik yang mempunyai dunianya sendiri. Ia memang tidak bisa dirasionalkan. Seteru bisa menjadi teman sejati, sementara itu teman sejati dalam sekejap bisa menjadi lawan. Inilah yang bisa jadi digunakan Jokowi untuk menimbang untung rugi dalam memutuskan kebijakan, meskipun terkesan lambat.
Yang jelas dan pasti, pemimpin harus punya kemauan mengeluarkan kebijakan secara cepat dan bijak dengan melihat kelebihan dan kekurangan. Perlu diingat pula, tidak semua kebijakan seorang pemimpin akan memuaskan semua pihak, tetapi pemimpin harus mengeluarkan kebijakan. Oleh karena itu, jangan jadi pemimpin kalau tidak mau mengambil risiko berkaitan dengan kebijakan yang diambilnya itu.
Kita bukan tidak percaya presiden tak mengambil langkah-langkah konkrit. Barangkali presiden sedang bingung kebijakan apa yang sebaiknya diambil, sementara masyarakat inginnya keputusan dikeluarkan sesegera mungkin. Rakyat tentu tidak akan menanggung risiko jika ada dampak negatif. Namun demikian, seorang pemimpin layaknya presiden, jika salah mengambil kebijakan ia akan dicaci maki habis. Bahkan, jabatannya itu akan menjadi taruhan. Dalam hal ini kita memahami pertimbangan presiden, tetapi masalahnya apakah masyarakat juga punya pemikiran seperti itu? Masyarakat kita tentu sudah muak dengan hingar bingar politik tanpa keputusan yang jelas.
Tentu saja, masyarakat tidak bisa punya pikiran kayak presiden yang selalu lambat dalam mengambil kebijakan. Masyarakat membutuhkan keputusan segera dan bisa dirasakan. Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat yang seperti itu karena memang kondisi dan level berpikirnya masih belum sesuai yang diharapkan. Namun demikian, masyarakat hanya punya permintaan pada pemerintah agar ia segera mengeluarkan  langkah-langkah konkrit.
Benar bahwa partai atau kepentingan tertentu melatarbelakangi dirinya jadi presiden, tetapi siapa yang memilih? Dalam posisi ini rakyat telah memberikan mandat dan kepercayaan penuh untuk presiden segera mengambil langkah-langkah bijak. Kelambanan kebijakan sebelumnya dijadikan dasar mengapa rakyat mayoritas memilih pasangan Jokowi-JK. Tak lain, karena kepercayaan dan track record yang dianggap mewakili  dalam menyalurkan kepentingan  masyarakat.
Dalam posisi ini, presiden sebenarnya mempunyai posisi kuat untuk mengambil langkah, termasuk langkah tidak populer sekalipun. Langkah tak populer perlu diambil kalau memang itu untuk kepentingan rakyat Indonesia. Rakyat tentu tahu, atasan Polri dan KPK itu presiden. Tentu saja, presiden sudah selayaknya dan secepatnya bisa mengambil langkah kongkrit.
Kita khawatir jangan-jangan kekecewaan masyarakat mengalami eskalasi, menumpuk dan suatu saat akan meledak menjadi tindak kekerasan. Bukan berarti masyarakat tidak taat hukum, tetapi mereka menganggap sudah tidak ada jalur hukum atau kebijakan politik yang bisa  menyalurkan keinginannya. Jika suatu saat muncul tindak kekerasan, jangan salahkan masyarakat. Mereka bertindak karena telah mengalami kekecewaan yang kian menumpuk. Jokowi tentu tidak mau menerima risiko ini, bukan?
Sekarang kita tinggal menunggu political will (kemauan politik) pemerintah  terhadap permasalahan berbangsa dan bernegara. Rakyat hanya membutuhkan keputusan segera untuk menentukan langkah selanjutnya pula.

                                                                                                   —————— *** ——————

Rate this article!
Tags: