Menunggu Rupiah Bisa Menaklukkan Dolar di NKRI

Semestinya negeri ini berani mengambil sikap agar rupiah bisa terhorrmat dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Semestinya negeri ini berani mengambil sikap agar rupiah bisa terhorrmat dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Bagaikan tikus mati di lumbung padi.  Barangkali itulah gambaran apa yang dialami oleh negeri kita tercinta ini. Bagaimana tidak, kita punya segalanya kekayaan alam atau Sumber Daya Alam (SDA) sangat berlimpah bahkan bisa dikatakan kaya raya, namun yang menikmati sumber daya mineral yang ada di dalamnya sebagian besar adalah bangsa asing.

M. Ali
Wartawan Harian Bhirawa

Hal lain yang masih menjadi momok adalah keterpurukan rupiah terhadap dolar yang sepertinya menjadi agenda rutin. Jujur harus diakui masalah ini bukan hanya menimpa Indonesia saja, namun hampir seluruh dunia juga sama namun setidaknya Indonesia harus punya jurus sakti untuk menghadapi itu semua agar tidak terlalu terpuruk.
Hal yang membuat masyarakat awam harus mengelus dada itu adalah transaksi di Indonesia namun pembayarannya harus memggunakan uang dolar bukan mata uang Indonesia rupiah. Hal ini tentu akan semakin membuat negeri ini tidak pernah berdiri tegak dan harus tertatih tatih.
Angin segar kini muncul dan dihembuskan oleh pemerintahan Jokowi, JK yakni untuk konsisten memfungsikan UU RI no7 tahun 2011 tentang Mata Uang yang mengharuskan penggunaan mata uang rupiah untuk bertransaksi, serta UU mata uang dan PBI No.17,/3/ PBI/2015 tentang Mewujudkan Kedaulatan Rupiah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Semestinya negeri ini berani mengambil sikap agar rupiah bisa terhorrmat dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Namun kenyataan yang ada sampai saat ini, rupiah didikkte mata uang asing, transaksi di negeri yang katanya NKRI ini bukannya menggunakan rupiah tapi mata uang aaing, umumnya dollar USA.
Ini sudah menjadi rahasia umum lagi, bahkan orang lebih bangga kalau bisa bertransaksi menggunakan dollar dari pada rupiah. Selain dianggapnya sudah melanglang buana sehingga merasa bangga jika mempunyai dan menggunakan mata uang dollar.
Orang lebih bangga kalau menyandang pakaian dari luar negeri meski harus merogoh sakunya berlipat lipat bila dibandingkan dengan harga dalam negeri. Baju yang dipakai desainernya dari rumah mode paris harganya sudah pasti selangit dengan nominal sekian puluh juta, bahkan ratusan juta jika dirupiahkan. Tasnya bikinan Italy dengan harga sekian ratus juta, bandingkan dengan tas bikinan Tanggulangin Sidoarjo yang harganya cuma puluhan ribu rupiah sampai ratusan ribu rupiah saja, malah mereka malu meski kualitas barangnya sebenarnya tidak kalah dengan buatan luar negeri. Dianggapnya murahan tidak branded.  Jika sikap mental bangsa semacam ini bagaimana Indonesia akan cepat maju, bagaimana Indonesia akan menjadi tuan rumah di negeri NKRI ini lha wong warganya sendiri tidak mau memajukan negerinya sendiri. Apa yang datang dari luar dianggapnya super sehingga terbentuklah jiwa dan mental superior.
Sebaliknya apa yang diproduksi negerinya sendiri adalah inferior maka terbentuklah jiwa dan mental semacam itu. Lebih runyam lagi karena kecintaan yang berlebih terhadap produk luar negeri kemudian didukung oleh sikap mentalnya yang rapuh mereka juga tidak segan segan membeli pakaian bekas dari luar negeri meskipun pakaian tersebut sebenarnya sudah tidak laik pakai asal branded tidak peduli pakaian yang dipakainya itu adalah barang yang sudah dibuang oleh luar negeeri tapi masih dipakai oleh mayarakat kita dengan bangganya.
Jujur harus diakuinya dampak positif dari itu semua memang ada seperti banyaknya permak jeans yang ada di pinggir pinggir jalan. Ini memberi peluang bagi mereka yang belum bekerja, namun apakah harus menggadaikan harga diri harkat dan martabat bangsa ini dengan mengenakan bahan barang bekas buangan dan merupakan sampah luar negeri yang sudah dibuang bahkan meeupakan sampah dan limbah dari luar negeri.
Sementara bahan pakaian yang ada di dalam negeri bagus bagus tidak ditolehnya apalagi disentuh karena sudah terpatri dalam benaknya kalau pakaian dan bahan dalam negeri itu tidak membanggakan, akibatnya tidak sedikit pabrik textil dalam negeri harus rela gulung tikar karena masyarakat lebih gemar produk luar negeri daripada negerinya sendiri, salah satu contoh adalah Madura Textil (Maduratex) yang ada di kecamatan Kamal kabupaten Banngkalan Mdura, Sekolah tinggi textil Akademi Textil (Akatex) yang ada di daerah Tanjung Perak Surabaya juga harus menerima nasibnya gulung tikar dan tutup selamanya karena sudah tidak ada lagi mahasiswa yang berminat menuntut ilmu di perguruan tinggi tersebut.
Revolusi mental yang jadi jargon pemerintah Jokowi JK dan kini sudah menjadi salah satu tujuan untuk memberantas korupsi harus ditambah untuk menumbuhkan kembangkan kebanggaan terhadap produksi sendiri dengan mencintai sepenuh hati tentunya juga harus tercakup di dalamnya sehingga nantinya bukan hanya korupsi yang akan bisa diberantas habis tapi juga menumbuhkan rasa bangga tethadap rupiah dan siap untuk menggunakan dan menjaganya secara konsisten di negeri NKRI.
Kapan masa kebanggaan itu akan datang, bangga menggunakan hasil produksi bangsa sendiri dalam negeri, bangga terhadap rupiah bukan lagi dolar atau mata uang asing lainnya, memang untuk mengakhiri dan mengawali ini semua tidaklah mudah semudah membalikkan telapak tangan, namun kalau tidak ada yang memulainya kapan lagi, apakah akan menerima saja nasib tersebut dengan mewariskan kepada anak cucu kita berikutnya.
Niat baik berbagai pihak, baik regulator maupun operator yang menginginkan rupiah bisa jadi tuan rumah di negeri NKRI sebenarnya sudah ada. Salah satunya apa yang pernah disampaikan oleh kepala kantor perwakilan BI Jatim Beny Siswanto, yang dengan tegas orang nomor satu di BI Jatim ini minta agar para pengusaha dan perusahaaan yang ada mentaati UU No. 7 tahun 2011 tentang penggunaan mata uang rupiah dan tidak menggunakan dolar atau mata uang asing lainnya. Salah satu alasannya karena mata uang rupiah terus merosot bahkan semakin hari semakin terpuruk terhadap dolar AS hal tersebut diungkapkan Beny pada Kamis (26/3/2015) di gedung BI Jatim pada acara Bincang Bareng Media (BBM). Bahkan Beny saat itu minta agar pihak yang berwenang agar menindak tegas perusahaan atau pengusaaha yang melanggar UU tersebut. Kendati demikian juga ditegaskan tidak ada batasan bagi uang dolar beredar di Jatim sebanyak banyaknya dipersilahkan saja
Para pelaku dunia bisnis sendiri sebenarnya mau saja mentaati UU No.7 tahun 2011. Hal ini bisa dilihat dari apa yang disampaikan oleh Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang menyatakan tidak terlalu risau dengan kebijakan pemerintah yang mengatur rupiah sebagai alat bayar di pelabuhan. PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) selaku BUP tidak memermasalahkan pembayaran dari dollar ke rupiah.
Kepala Humas PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III Edi Priyanto menegaskan kebijakan tersebut tidak membawa dampak besar bagi korporasi. Justru yang berdampak adalah shipping line (perusahaan pelayaran), karena semua pembayaran Terminal Handling Charge (THC) kepada shipping line.
“Tidak masalah. Asalkan ada aturan dan mekanisme yang jelas,” tegas Edi Priyanto saat dijumpai di ruang kerjanya. Dia menambahkan bila aturan tersebut tetap dilaksanakan, pihaknya sudah menyiapkan planning. Yakni, pembayaran tetap dilakukan dengan mata uang rupiah, tetapi menyesuaikan kurs dollar. Sebetulnya masalah ini juga tergantung  stake holder  (asosiasi terkait dan Kementerian BUMN). Bila disepakati ya, monggo,” jelasnya.
Sebelumnya, mantan Direktur Keuangan Pelindo III, Wahyu Suparyono pernah mengungkapkan, 60 persen pendapatan korporasi dalam bentuk dollar. Hal senada juga disampaikan Public Relation PT Terminal Petikemas Surabaya (TPS), M.Solech selaku anak perusahaan Pelindo III.  Pihaknya meminta ada sosialisasi regulasi yang jelas, sehingga tidak merugikan salah satu pihak. Kalau memang berbagai pihak tidak mempermasalahkan soal UU No. 7 tahun 2011 tersebut, termasuk Dirut Pelindo lll Djarwo Surjanto yang menyatakan pihaknya sudah menerapkan penggunaan rupiah. Hanya saja menurutnya kalau memang harus menggunakan dolar karena memang kondisinya menentukan seperti itu maka tidak bisa dihindarkan lagi, tapi yang jelas Pelindo lll sudah konsisten dengan kewajiban penggunaaan rupiah di tanah NKRI.
Lalu dimana letak masalahnya, UU sudah dibuat, semestinya untuk ditaati dan bukannya untuk dilanggar.  Akhirnya terserah pada si pembuat UU dan pihak terkait lainnya mau diapakan, apakah hanya sekadar jadi hiasan belaka sebagai macan kertas, atau macan Sirkus.

                                                                                                  ————————- *** ————————

Tags: