Menunggu Rupiah Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri

Begitu mendewa-dewakannya produk impor, membuat pakaian bekas impor pun ternyata begitu diminati masyarakat di Indonesia.

Begitu mendewa-dewakannya produk impor, membuat pakaian bekas impor pun ternyata begitu diminati masyarakat di Indonesia.

Laksana ayam mati kelaparan di lumbung padi. Demikian barangkali pepatah yang bisa menggambarkan kondisi bangsa Indoensia ini yang terus dilanda persoalan, padahal modal dasar untuk mengatasi persoalan tersebut demikian melimpah tersedia. Pun demikian halnya dengan kondisi mutakhir bangsa ini yang sedang dihimpit persoalan akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.

Oleh :
M. Ali
Wartawan Harian Bhirawa

Undang Undang RI Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang secara jelas sudah mengamanahkan tentang keharusan penggunaan mata uang rupiah dalam setiap transaksi perdagangan di dalam negeri. Berbekal UU ini, semestinya, pemerintah berani mengambil sikap tegas agar semua jenis transaksi mengacu pada ketentuan UU. Harapannya agar rupiah bisa terhormat dan menjadi tuan tumah di negeri sendiri. Sayangnya, kenyataan yang ada dan sudah berlangsung puluhan tahun menunjukkan kondisi sebaliknya. Mata uang rupiah terus menerus didikte mata uang asing.
Proses transaksi perdagangan di negeri ternyata justru lebih banyak menggunakan mata uang asing (baca : dolar USA) dibandingkan dengan mata uang rupiah. Realitas ini sudah menjadi rahasia umum dan mendarah daging. Nampaknya masyarakat kita ada yang lebih bangga kalau bisa bertransaksi menggunakan dollar dari pada rupiah. Seolah menggunakan mata uang dolar mampu mengangkat harkat dan martabatnya.
Bahwa kebanggaan terhadap sesuatu yang berbau asing ternyata bukan hanya terjadi pada mata uang, namun juga menyangkut pada soal sandang, pangan, papan dan sebagainya. Orang lebih bangga kalau mengenakan pakaian dari luar negeri meski harus merogoh sakunya berlipat lipat bila dibandingkan dengan harga dalam negeri. Baju karya desainer dari rumah mode Paris atau tas buatan Italy misalnya dianggap lebih mampu mengangkat harkat dan martabatnya. Padahal barang dengan produk dan kualitas sepadan sangat bisa ditemukan di Tanggulangin Sidoarjo. Kalau mental seperti ini terus dibiarkan, bagaimana Indonesia akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri lha wong warganya sendiri tidak mau memajukan negerinya sendiri.
Apa yang datang dari luar negeri dianggapnya super sehingga ketika mengenakannya juga seolah menjadi superior dibanding dengan mereka yang hanya mengenakan produk lokal saja. Lebih memprihatinkan lagi, karena demikian mendewakannya barang yang impor, membuat impor pakaian bekas pun demikian diminati masyarakat kita. Kita bayangkan bagaimana harga diri bangsa ini dihadapan bangsa-bangsa lain. Sungguh tidak mengenakan kalau bangsa Indonesia yang seharusnya bermartabat ini menjelma menjadi bangsa yang lebih suka mengenakan barang bekas dari bangsa asing.
Sementara bahan pakaian yang ada di dalam negeri yang nilai dan kualitasnya tidak kalah bagus tidak ditolehnya apalagi disentuh karena sudah terpatri dalam benaknya kalau pakaian dan bahan dalam negeri itu tidak membanggakan. Kondisi yang demikian ini bila dibiarkan tentu akan berdampak panjang. Contoh sederhananya, tidak sedikit pabrik tekstil dalam negeri harus rela gulung tikar karena masyarakat lebih gemar produk luar negeri daripada negerinya sendiri. Salah satu contohnya adalah Madura Textil (Maduratex) yang ada di kecamatan Kamal kabupaten Bangkalan Madura.  Bukan itu saja, Sekolah tinggi textil Akademi Textil (Akatex) yang ada di daerah Tanjung Perak Surabaya juga harus menerima nasibnya gulung tikar dan tutup selamanya karena sudah tidak ada lagi mahasiswa yang berminat menuntut ilmu di perguruan tinggi tersebut. Kenyataan yang cukup memprihatinkan ini tentunya harus dicari jalan keluarnya. Selama 350 tahun kita dijajah Belanda, hasil kekayaan Indonesia dikurasnya habis rakyatnya dibuat menderita lahir dan batin. Pertanyaannya masihkah kita rela untuk dijajah secara ekonomi untuk kesekian kalinya yang berakibat akan menyandang label miskin selamanya?
Berangkat dari kenyataan yang ada inilah maka berbagai pihak harus melakukan langkah kongkrit. Kapan masa kebanggaan itu akan datang, bangga menggunakan hasil produksi bangsa sendiri dalam negeri, bangga terhadap rupiah bukan lagi dolar atau mata uang asing lainnya. Memang untuk mengakhiri dan mengawali ini semua tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Namun kalau tidak ada yang memulainya kapan lagi. Apakah akan menerima saja nasib tersebut dengan mewariskan kepada anak cucu kita berikutnya.
Niat baik berbagai pihak baik regulator maupun operator yang menginginkan rupiah bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri sebenarnya sudah ada. Salah satunya apa yang pernah disampaikan oleh Kepala Kantor Perwakilan BI Jatim Beny Siswanto. Dengan tegas orang nomor satu di BI Jatim ini minta agar para pengusaha dan perusahaaan yang ada mentaati UU No. 7 tahun 2011 tentang penggunaan mata uang rupiah dan tidak menggunakan dollar atau mata uang asing lainnya.
Salah satu alasannya karena mata uang rupiah terus merosot bahkan semakin hari semakin terpuruk terhadap dolar AS. Hal tersebut diungkapkan Beny beberapa waktu lalu tepatnya pada acara Bincang Bareng Media (BBM), Kamis (26/3) di gedung BI Jatim. Bahkan Beny pada saat itu minta agar pihak yang berwenang berani menindak tegas perusahaan atau pengusaha yang melanggar UU tersebut. Meski demikian, juga ditegaskan bahwa tidak ada batasan jumlah uang dolar yang boleh beredar  di Jatim.
“Sebanyak-banyaknya dipersilahkan saja,” kata Beny saat itu.  Meskipun gonjang ganjing rupiah terhadap dolar cukup tajam namun BI Jatim optimis aktivitas konsumsi rumah tangga masih tumbuh positif di awal tahun, walaupun dengan kecenderungan melambat.
Membaiknya indikator konsumsi masyarakat diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2015. Para pelaku dunia bisnis sendiri sebenarnya mau saja mentaati UU No.7 tahun 2011, hal ini bisa dilihat dari apa yang disampaikan oleh Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang menyatakan tidak terlalu risau dengan kebijakan pemerintah yang mengatur rupiah sebagai alat bayar di pelabuhan. PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) selaku BUP tidak memermasalahkan pembayaran dari dollar ke rupiah.
Kepala Humas PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III Edi Priyanto menegaskan kebijakan tersebut tidak membawa dampak besar bagi korporasi. Justru yang berdampak adalah perusahaan pelayaran (shipping line)  karena semua pembayaran Terminal Handling Charge (THC) kepada shipping line.
“Tidak masalah. Asalkan ada aturan dan mekanisme yang jelas,” tegas Edi Priyanto saat dijumpai di ruang kerjanya. Dia menambahkan bila aturan tersebut tetap dilaksanakan, pihaknya sudah menyiapkan planning, yakni, pembayaran tetap dilakukan dengan mata uang rupiah, tetapi menyesuaikan kurs dollar.
Pelindo III dalam hal ini telah melakukan investasi besar-besaran dalam bentuk dollar. Investasi tersebut diupayakan untuk meningkatkan daya saing dan pelayanan. Hal ini terbukti dari Logistic Performance Index (LPI) yang diterbitkan Bank Dunia turut terkerek naik.
Pada tahun 2012 posisi LPI Pelindo III berada di ranking 59, dan Maret 2014 sudah naik ke posisi 53. Demikian juga dengan peningkatan infrastruktur pda tahun 2012 duduk diurutan ke-85, Maret 2014 sudah berada di urutan ke-56.
“Sebetulnya masalah ini juga tergantung stake holder (asosiasi terkait dan Kementerian BUMN). Bila disepakati ya, monggo,” jelasnya. Sebelumnya, mantan Direktur Keuangan Pelindo III, Wahyu Suparyono pernah mengungkapkan, 60 persen pendapatan korporasi dalam bentuk dollar.
Hal senada juga disampaikan Public Relation PT Terminal Petikemas Surabaya (TPS), M.Solech selaku anak perusahaan Pelindo III.
Pihaknya meminta ada sosialisasi regulasi yang jelas, sehingga tidak merugikan salah satu pihak. Kalau memang berbagai pihak tidak mempermasalahkan soal UU No. 7 tahun 2011 tersebut lalu dimana letak masalahnya?  UU sesungguhnya dibuat untuk ditaati bukan untuk dilanggar.
Akhirnya, terserah pada pembuat UU mau diapakan, apakah hanya sekadar jadi hiasan belaka atau hanya untuk menunjukkan bahwa Indonesia sudah punya regulasi.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

                                                                                               ———————– *** ———————–

Tags: