Menyambung Kembali Keretakan Sosial

(Falsafah Neptu Dina Pilkada Serentak)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik

Coblosan Pilkada (pemilihan kepala daerah) kabupaten dan Kota serta propinsi serentak 2017 telah usai. Namun dampaknya masih sangat terasa. Seluruh kader parpol tumpah meruah di arena pilkada. Seluruh kader parpol (tak terkecuali pejabat publik) wajib turut bertarung memenangkan paslon (pasangan calon) yang diusung. Tak terkecuali pejabat publik di tingkat pusat dan daerah. Menyebabkan pilkada kehilangan kearifan lokal.
Ini merupakan Pilkada serentak gelombang kedua. Sesuai jadwal, diigelar di 101 daerah. Yakni tujuh propinsi (memilih gubernur dan wakil gubernur), dan 76 kabupaten (memilih bupati dan wakil bupati). Serta 18 pilwali (salahsatunya, kota Batu, Jawa Timur). Daerah Istimewa Aceh, menjadi yang paling banyak menggelar pilkada, termasuk memilih gubernur. Daerah lain yang juga memilih gubernur, diantaranya, Banten, dan Jakarta.
Pilkada serentak, merupakan amanat UU tentang Pilkada. Coblosan Pilkada serentak (tahap pertama) 2015, dillaksanakan pada 9 Desember 2015. Saat itu Pilkada serentak digelar di 269 daerah, diikuti 831 paslon (1.662 orang). Terdiri dari 714 paslon bupati dan wakil bupati, serta 117 paslon walikota dan wakil walikota. Selain itu juga digelar pilkada gubernur di 21 propinsi. Hasilnya, hanya 496 orang yang benar-benar dilantik menjadi bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota.
Yang akan benar-benar dilantik menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, hanya 538 orang. Sebanyak 42 orang diantaranya akan menjadi gubernur dan wakil gubernur di 21 propinsi). Selebihnya, wajib dengan ikhlas menerima hasil pilkada. Nyaris tiada kendala teknis. Namun, beberapa paslon yang merasa dizalimi mengadu ke MK (Mahkamah Konstitusi). Sebagai muara akhir sengketa pemilu (termasuk Pilkada), MK selalu kebanjiran perkara dan inkracht pada akhir tahun 2015 pula.
Perselisihan hasil pilkada, menjadi keniscayaan. Diantaranya, tuduhan terhadap penyelenggara yang dianggap tidak netral. Dan ternyata bukan hanya tuduhan, melainkan benar-benar terjadi penyimpangan etika. Hal itu terbukti, dampak pilkada serentak 2015 telah menghukum 250 lebih penyelenggara. Hukumannya, jika hanya melanggar etika akan dipecat atau diberi peringatan (keras dan peringatan biasa).
Tetapi disetiap pilkada (dan pemilu legislatif), memang seperti itu. Calon (dan tim sukses) akan berlaku securang-curangnya, asal tidak ketahuan. Bahkan penyelenggara pemilu (KPU Propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota) dirasa tidak netral. Telah menjadi rahasia umum, bahwa penyelenggara pemilu sering terlibat politik praktis. Bagai turut menjadi tim sukses pasangan tertentu, sekaligus “memusuhi” pasangan lain.
Falsafah Jawa
Pilkada serentak (kedua) diselenggarakan pada hari Rabu, 15 Pebruari 2017. Penetapan hari untuk hajat nasional strategis, sesungguhnya memiliki makna (pengharapan). Budaya (falsafah) Jawa, memperhitungkan benar makna hari. Seperti pada budaya Arab (dengan falaqiyah), serta dikenal pada budaya Ibrani dan Israel, serta India dan China. Seluruh bangsa-bangsa (tua) di dunia, memiliki falsafah berdasar kaleidioskopis (perhitungan kalender).
Pada masa moderen dikenal sebagai astrologi dan astronomi, berbasis matematika yang sangat rigid. Sehingga falsafah kaleidioskopis, bukan klenik. Melainkan perpaduan percabangan ilmu matematika dengan fisika planet kosmis jagadraya. Budaya Jawa juga memiliki perhitungan hari dan bulan, sebagai falsafah neptu dina. Ada hari (dan bulan) baik, ada pula yang tidak baik untuk penyelenggaraan hajat strategis.
Hari Rebo Legi, menurut neptu dina Jawa, tidak baik untuk bepergian. Maka tepat manakala Hari Rabu (Legi), 15 Pebruari 2017, dijadikan hari libur nasional. Masyarakat yang memegang teguh budaya Jawa, tidak akan pergi jauh untuk plesiran. Artinya, masyarakat dapat mengikuti coblosan Pilkada serentak. Namun berdasar neptu bulan Jawa (Jumadil Awal) kurang baik untuk hajat penting. Diperkirakan akan banyak permusuhan serta kehilangan (kerugian).
Disadari atau tidak, ternyata Pilkada menimbulkan banyak permusuhan. Kontestansi bukan hanya pada paslon, melainkan pada antar parpol kelompok pendukung. Bahkan sejak awal penetapan paslon, sudah menyingkirkan bakal paslon lain. Karena setiap bakal calon memiliki kriteria dan keunggulan masing-masing. Menimbulkan ke-tidak puas-an (dan kecurigaan). Dus, telah mencetak musuh. Bakal calon yang tersingkir tidak mudah di-redusir (kompromi).
Neptu dina tentang banyaknya orang yang menanggung kerugian, pada hajat strategis pada bulan Jumadil Awal, juga telah terjadi. Antaralain karena dipaksa setoran wajib untuk ongkos Pilkada. Itu dialami oleh pejabat publik (anggota DPR, dan DPRD Propinsi) serta kepala daerah tetangga. diminta berpartisipasi mendukung paslon yang direkomendasikan oleh parpol. Begitu juga anggota DPRD Kabupaten dan DPRD Kota, semua urunan untuk memenangkan paslon yang didukung parpol induk fraksi.
Siapa penggagas Pilkada serentak tahun 2017, diselenggarakan pada bulan Jumadil Awal? Mengapa bukan digeser pada bulan Jumadil Akhir (bertepatan dengan bulan Maret)? Sebab, neptu bulan Jumadil Akhir ber-pengharapan melimpahnya berkah kekayaan (disimbolkan emas dan perak). Begitu pula andai diselenggarakan pada bulan Rejeb (bertepatan dengan bulan April), pengharapannya berkah banyak kawan, serta aman.
Swasembada Pangan?
Namun jadwal Pilkada serentak 2017 (tanggal 15 Pebruari) tidak seluruhnya bermakna (pengharapan) buruk. Setidaknya, coblosan bertepatan dengan hari Rabu dengan neptu pasaran Legi. Berdasar neptu dina, Rabo Legi, melambangkan (harapan) ketersediaan pangan yang cukup. Sehingga setelah Pilkada, akan disusul berkah swasembada pangan di daerah.
Boleh jadi, pemerintah ingin secepatnya meraih swasembada pangan. Seperti Nawacita presiden Jokowi? Wallahu a’lam bis-shawab. Tetapi keretakan sosial dampak pilkada, mestilah lebih dulu disambung. Terutama terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang dinistakan, wajib menjadi prioritas. Harus diakui, ekses pilkada menyebabkan keretakan sosial secara “diametral.”
Ke-niscaya-an, bahwa yang nampak “beruntung” (memenangi coblosan pilkada) hanya satu paslon (pasangan calon). Namun diharapkan yang tidak lolos saringan Pilkada, akan memperoleh “keberuntungan” lain. Toh, terpilih menjadi Kepala Daerah, bukan berarti beruntung. Bukan selalu sebagai rezeki. Buktinya, banyak Kepala Daerah (Bupati, Walikota serta Gubernur) yang mengakhiri karir di penjara.
Bahkan yang sukses dua periode menjadi Kepala Daerah, juga semakin terancam. Berdasar data Kemendagri saat ini (akhir tahun 2016), sudah lebih dari 350 kepala daerah, berhadapan dengan konsekuensi hukum. Ada yang berperkara di Kejaksaan dan ada yang menjadi terdakwa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Mirisnya, angka kasus perkara kepala daerah semakin meningkat cepat. Lima tahun sebelumnya (sampai akhir tahun 2011) kasusnya hanya melibatkan 40 kepala daerah.
Terbukti, memenangi Pilkada, bukan selalu berkah. Berdasar data MK, umumnya sengketa Pilkada ber-unsur laporan politik uang. Padahal, pemberian berupa materi kepada pemilih hanya senilai Rp 25 ribu. Namun rata-rata tim sukses paslon “membeli” dengan harga lebih mahal. Begitu pula dalam pasal 47 ayat (1) UU Pilkada terdapat larangan khusus terhadap parpol menerima imbalan dari paslon.
Tapi benarkah, parpol bisa bebas dari politik uang pada saat me-rekom bakal pasangan calon? Seperti kata-kata joke, “no lunch free,” tidak ada makan siang gratis (dalam rekrutmen politik)?! Sudah banyak ratusan mantan Kepala Daerah masuk penjara karena terlibat KKN. Mengutil dana APBD untuk membayar hutang pada cukong.

                                                                                                      ————- *** —————

Rate this article!
Tags: