Menyambut New Normal di Sekolah

Oleh :
Kurniawan Adi Santoso
Guru SDN Sidoarjo, Kec. Krian, Sidoarjo

Percepatan penularan Covid-19 di negeri ini masih tinggi. Namun, Presiden Jokowi telah memberi sinyal akan hadirnya kehidupan normal baru sebagai bentuk penyesuaian atas pandemi global Covid-19. Meskipun masih bersifat wacana dan terdapat pro-kontra, pemerintah tampaknya serius untuk mempersiapkan strategi new normal life.
Karena itu, mau tidak mau dunia pendidikan juga perlu mulai mempersiapkan konsep new normal. Dengan kata lain, sekolah dibuka tapi dengan protokol kesehatan yang ketat. Kabarnya Kemendikbud tengah menggodok aturan kegiatan belajar mengajar menyusul rencana penerapan kondisi normal baru. Sehingga saat new normal benar-benar diberlakukan di daerah-daerah, sekolah sudah siap.

Saya menyarankan bila Kemendikbud mengeluarkan kebijakan terkait pola kehidupan baru di sekolah hendaknya mempertimbangkan setidaknya tiga hal. Pertama, kondisi penyebaran virus dan data jumlah anak-remaja sebagai peserta didik aktif yang terkonfirmasi positif. Dari sisi jumlah anak yang terinfeksi Covid-19, berdasarkan laporan Ikatan Dokter Anak Indonesia di laman resminya idai.or.id, sebanyak 584 anak di Indonesia terkonfirmasi positif dan 14 anak meninggal dunia. Angka ini merupakan angka tertinggi di Asia.
Bercermin dari data tersebut, wacana pemberlakuan new normal life secara masif di tengah masih tingginya angka penyebaran Covid-19 dapat berakibat cukup fatal. Mengingat pendidikan dengan kumpulan jumlah orang yang tinggi dalam satu lokasi yang terkonsentrasi.

Kedua, penerapan new normal life hendaknya didasari atas kajian cepat terhadap berbagai permasalahan yang menghadang. Antara lain, perbandingan ideal jumlah rombel dengan kapasitas kelas yang tersedia yang sesuai dengan protokol kesehatan. Dari segi jumlah rombel, kegiatan pembelajaran di sekolah berpotensi lebih problematis. Karena jumlah peserta didik yang sangat banyak. Sementara kapasitas ruang kelas tidak memadai jika harus menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat.

Sebagai contoh nyata, di SDN yang saya tempati jumlah muridnya sekitar 750. Jumlah kelasnya 15, sedangkan rombelnya 21. Tiap rombel kurang lebih 32 siswa. Bila ini menerapkan physical distancing, dengan ukuran kelas 7 x 8 meter, akan muat kira-kira 20 siswa. Terus sisanya bagaimana? Kalau dibuat masuknya bergantian, bisa-bisa pergantian jam belajar perkelas sampai sore. Lha wong dalam kondisi biasa saja masuk bergilir dua kali, yakni 15 rombel masuk jam 7 pagi, lalu 6 rombel masuk jam setengah 11 siang.

Lalu, pilihan mode pembelajaran: Apakah murni tatap muka-klasikal ataukah mode blended-learning yang memadukan konvensional dan daring? Kiranya yang sesuai dengan protokal kesehatan adalah mode blended-learning yang mengombinasikan tatap muka dengan mode online. Bagi kelas tertentu yang sedang off-learning dapat belajar dari rumah, sedangkan bagi kelas lainnya yang berkesempatan on-learning bisa mendalami materi secara konvensional di sekolah. Terkait hal ini, alangkah baiknya Kemendikbud menyiapkan semacam kurikulumnya agar guru bisa mudah mengimplementasikannya.

Selain itu, apakah sekolah bisa memastikan memberi perlindungan kepada para siswa sesuai dengan protokol pencegahan penularan virus? Seperti harus menyediakan tempat cuci tangan dengan jumlah yang memadai agar siswa tidak berdesakan antrenya, harus mendisiplinkan siswa menggunakan masker, membuat tempat duduk siswa di ruang kelas berjarak aman satu sama lain dan sebagainya. Sebagai protokol, ini nampaknya sulit dipenuhi dengan baik oleh semua sekolah.

Karena itu, pemberlakuan new normal di sekolah perlu diimbangi dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) matang dan sosialisasi yang baik. Sosialisasi itu dibutuhkan supaya masyarakat yang di dalamnya termasuk siswa dan guru bisa memahami aturan new normal tersebut dengan baik. Sehingga saat nantinya new normal benar-benar diberlakukan, warga sekolah sudah bisa melaksanakan SOP dengan baik.

Ketiga, persoalan anggaran new normal juga perlu disiapkan dengan baik. Kondisi sekolah yang cukup beragam perlu menjadi pertimbangan dalam penyiapan anggaran. Bagi sebagian sekolah, keberadaan bantuan sangat dibutuhkan untuk mendukung pemenuhan kelengkapan dalam SOP new normal.

Jangan sampai karena keterbatasan anggaran sekolah tidak bisa melaksanakan SOP dengan baik. Karena bagi mereka yang tidak disiplin dan melaksanakan SOP dengan baik dikhawatirkan bisa menimbulkan bencana bagi yang lain.
Lantas, kapan sekolah dibuka dengan melaksanakan new normal? Konon kabarnya 13 Juli, awal tahun ajaran baru 2020/2021. Namun kepastian itu masih menunggu dari Kemendikbud yang berkoordinasi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Di samping itu, Ketua Umum PB PGRI, Prof Unifah Rosyidi mengingatkan bahwa keputusan untuk kembali membuka sekolah harus mempertimbangkan keselamatan siswa. Paling tidak harus memiliki dasar analisis ilmiah dari para ahli kesehatan, ahli pendidikan, dan pemerintah daerah yang benar-benar mengetahui fakta di lapangan. Tanpa memperhatikan semua itu bahaya besar justru akan mengancam.

Pun KPAI lewat Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti, memberi saran agar Kemendikbud berkoordinasi dengan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan para epidemiolog. Sebab anak-anak sangat rentan tertular karena kedisiplinan dalam melakukan protokol kesehatan (antara lain cuci tangan, bermasker, melakukan penjarakan sosial, dan penjarakan fisik). Jika satu saja anak terkena Covid-19, maka ledakan tambahan penderita tak bisa dicegah.

Akhir kata, kita tak ingin bila sekolah dibuka kembali, malah menjadi kluster baru penyebaran Covid-19. Maka, Kemendikbud hendaknya tidak gegabah untuk membuka sekolah. Segera libatkan pakar kesehatan, pakar pendidikan, psikolog, antropolog, dan ahli lain untuk membedah secara ilmiah apakah sudah siap membuka sekolah kembali atau belum.

Apa pun keputusan yang dihasilkan hendaknya memperhatikan kesehatan anak. Lebih baik terlambat membuka sekolah kembali ketimbang cepat-cepat dan grusa-grusu tetapi tidak mampu mengatasi hal-hal terburuk yang ditimbulkan.

—————- *** —————

Rate this article!
Tags: