Menyambut Ramadhan di Kala (masih) Pandemi

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Setahun yang lalu, nuansa bulan suci Ramadhan tak seperti tahun-tahun sebelumnya dan tampaknya juga berlanjut hingga tahun ini. Dalam sejarah peradaban manusia, baru tahun lalu umat Muslim di seantero dunia tidak sepenuhnya merasakan suasana sakral dan keindahan Ramadhan di masjid karena saat itu pemerintah dan MUI memberikan fatwa untuk beribadah di rumah bahkan Berhari raya di tengah-tengah keluarga. Seakan ada kerinduan dalam hati masyarakat untuk bisa beribadah seperti biasa di tempat ibadah. Salah satunya, shalat berjamaah di masjid pada suci Ramadan. Di sisi lain saat ini tercatat sudah lebih 130 juta penduduk di muka bumi terinfeksi Corona dan lebih dari 3 juta diantaranya meninggal dunia. Di Indonesia sudah lebih dari 1,5 juta orang terpapar dan 41 ribu diantaranya meninggal dunia sehingga pemerintah tengah gencar mempercepat program vaksinasi massal Covid-19 dalam rangka pencapaian herd immunity atau kekebalan kelompok. Beberapa tahapan dan sasaran vaksinasi relatif lancar meski secara total masih jauh dari target yang diberikan Presiden Jokowi 1 juta vaksin per hari dan selesai pada tahun 2021 ini. Padahal saat ini masih kisaran 200-300 ribu orang per hari yang divaksinasi dan ketersediaan vaksin masih belum sepenuhnya memadai.

Selain itu problem penolakan atas kehalalan hingga adanya hoax terkait kematian pasca diberikan vaksinasi masih menghantui masyarakat. Meski demikian dari hasil publikasi resmi WHO, 1 Maret 2021 menyatakan, vaksin Covid-19 yang ada sekarang ini bekerja melindungi kita melalui berbagai mekanisme imunologis dan melibatkan sejumlah antibodi dan sel tertentu, dengan kata lain jikalau ada mutasi pada bagian tertentu virus, vaksin masih dapat melindungi terhadap Covid-19 karena mekanisme kerjanya luas dan lebar. Jelang memasuki Bulan Ramadhan setidaknya pemerintah harus meyakinkan masyarakat atas issue hukum vaksinasi di bulan puasa dan keberadaan kehalalan vaksin jenis Astrazeneca. Pertama, pemberian obat melalui suntikan di saat tengah berpuasa masih menjadi keraguan umat Muslim. Hal itu dikhawatirkan dapat membatalkan puasa lantaran memasukkan sesuatu ke dalam tubuh. Namun, ada berbagai pendapat berbeda dari kalangan ulama mengenai hal ini sehingga hukum vaksin di bulan Ramadhan (siang) sebab masih ada keraguan bagi kalangan Muslim. Dalam Surah Al-Baqarah:187, tercantum tiga hal yang membatalkan puasa, yaitu aktivitas makan, minum, dan hubungan badan.

Allah berfirman, “Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu; mereka pakaian bagimu, dan kamu pakaian bagi mereka … dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” Namun demikian dalam tinjauan dan tindakan medis yang perlu mendapatkan kejelasan hukum, apakah berpotensi membuat puasa pelakunya batal atau tidak. Ulama berbeda pendapat dalam masalah suntik membatalkan puasa atau tidak. Setidaknya ada tiga pendapat, Pendapat pertama : membatalkan secara mutlak, hal ini memiliki argumentasi bahwa pemberian suntikan yang didalamnya terdapat zat cairan yang sampai ke dalam tubuh. (Kitab Al-Taqrirat Al-Sadidah fi Al-Masail Al-Mufidah, halaman 452). Pendapat kedua : tidak membatalkan secara mutlak, hal ini disebakan pemberian suntikan yang sampai ke dalam tubuh bukan melalui lubang yang terbuka (mulut, hidung, telinga). (Kitab Al-Taqrirat Al-Sadidah fi Al-Masail Al-Mufidah, halaman 452).

Pendapat ketiga : bila suntikan tersebut berisi suplemen, sebagai pengganti makanan atau penambah vitamin yang bersifat seperti fungsi makanan-minuman, maka membatalkan puasa. Hal ini disebabkan transformasi zat makanan (nutrisi) yang dibutuhkan ke dalam tubuh. Jika tidak mengandung suplemen namun hanya berisi obat maka dapat digolongkan sebagai berikut : Jika disuntikkan lewat pembuluh darah (saluran berongga, meski di dalam tubuh) maka membatalkan puasa. Namun jika disuntikkan lewat urat-urat yang tidak berongga seperti dibawah kulit (otot) maka tidak membatalkan puasa. (Kitab Al-Taqrirat Al-Sadidah fi Al-Masail Al-Mufidah, halaman 452). Kedua, aspek kehalalan vaksin jenis Astrazeneca. Terdapat perbedaan pendapat atau fatwa MUI Pusat dan MUI Jawa Timur atas aspek kehalalan terhadap keberadaan vaksin Astrazeneca yang mengandung bahan tripsin yang berasal dari pancreas babi memberikan setidaknya sedikit keraguan dalam tataran hukum ajaran Islam meski pada akhirnya boleh atau dapat diberikan karena argumen kedaruratan atas ketersediaan vaksin yang belum sepenuhnya memadai.

Terdapat penjelasan bahwa penggunaan bahan tripsin yang berasal dari pankreas babi dalam proses produksi vaksin adalah dalam proses penyiapan sel inang HEK 293 dilepaskan dari pelat dengan menggunakan enzim-enzim trypsin. Proses ini hanyalah berlangsung dalam waktu sangat singkat dan kemudian sel dicuci dalam medium cair, disentrifugal untuk menghilangkan tripsin sehingga sel tidak rusak, dan ditambahkan kembali medium cair. Di sini sudah dibersihkan total sehingga tidak lagi mengandung tripsin sama sekali. Berdasarkan mazhab Maliky dan Hanafi bahwa benda najis akan menjadi suci apabila telah melalui proses istihalah (transformasi) karena syariah menetapkan deskripsi najis berdasar fakta benda tersebut dan menjadi berubah dengan tidak adanya beberapa bagian darinya atau keseluruhannya. Sedangkan pendapat lainnya yang menyatakan haram memiliki pedoman yang menyatakan unsur babi yang digunakan di bagian hulu menjadikan satu produk tetap haram meskipun barang itu tak lagi mengandung unsur babi.

Belum Aman

Di sisi lain, dijumpai beberapa varian baru atau strain virus Covid-19 yang disinyalir lebih cepat menularkan sehingga pemerintah dan masyarakat harus tetap mewaspadai. Tren penurunan kasus penularan melalui strategi PPKM berskala mikro memberikan dampak positif sekaligus merupakan indikator bahwa masih relatif terkendali meski harus diakui semua harus mewaspadai agar tidak terjadi lonjakan kasus di beberapa klaster baru dengan menjalankan protokol kesehatan yang ketat. Sekali lagi saat ini masih situasi pandemi dan belum sepenuhnya memperlihatkan tanda-tanda “aman”. Berkaca pada beberapa negara dengan kasus yang masih fluktuatif dan masih amat rentan terjadi lonjakan kasus sewaktu-waktu, seperti India, Brazil, Kanada, Perancis dan beberapa negara Eropa yang kembali menerapkan kebijakan lockdown. Kondisi ini menjadi referensi bahwa virus Covid-19 belum benar-benar lenyap seperti yang diharapkan bersama. Segala kebijakan harus seirama dengan slogan “Kesehatan Pulih, Ekonomi Bangkit”. Program vaksinasi harus dimaknai sebagai upaya untuk menurunkan risiko kejadian atau terjangkit agar tidak parah namun tidak menjamin untuk kebal terhadap paparan virus Covid-19. Sekalipun pusat ekonomi dan sentra aktivitas sosial dibuka dengan tetap mengacu pada tingkat pengendalian kasus termasuk indikator-indikatornya seperti jumlah kasus, kematian, tingkat penularan dan hunian rumah sakit.

——— *** ———

Tags: