Menyatukan yang Terbelah

Oleh:
Sugeng Winarno
Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Muhammadiyah Malang.

Gara-gara pemilu masyarakat jadi terbelah. Para kandidat dan pimpinan beberapa partai politik pendukung masing-masing pasangan masih belum bisa menyatu. Keterbelahan masyarakat ini terjadi sejak pra pemilu, masa kampanye hingga pasca pencoblosan. Masing-masing kubu dalam kontestasi pemilihan presiden mengaku bahwa dirinya yang berhak menjadi Presiden Indonesia lima tahun ke depan. Situasi ini turut memicu terjadinya keterbelahan masyarakat dan perlu segera upaya penyatuan.
Tak hanya masyarakat yang terbelah. Media massa juga telah terbelah menjadi pro kandidat 01 dan media yang jadi corong kandidat 02. Keterbelahan yang terjadi dalam media massa ini cukup berbahaya bagi demokrasi di tanah air. Media yang idealnya berdiri di tengah, kini mereka secara nyata ada yang condong ke kiri, sementara yang lain ke kanan. Angin politik dalam pemilu 2019 memang sangat kencang hingga media massa sulit berdiri tegak di tengah.
Situasi masyarakat dan media massa yang terbelah ini harus segera diakhiri. Masyarakat harus kembali bersatu, rukun, dan damai. Perbedaan pilihan politik saat pemilu kemarin hendaknya tak terbawa terus hingga dapat memicu perpecahan. Beberapa media yang memihak pasangan tertentu (partisan) saatnya kembali pada rel yang benar. Media massa arus utama (mainstream media) harus netral dan independen. Hanya media yang menjalankan tugasnya secara profesional yang mampu menjadi pilar demokrasi.
Momentum Ramadan saat ini merupakan saat yang tepat bagi semua pihak untuk rekonsiliasi. Ada kepentingan yang lebih besar bagi bangsa dan negara ini yang tak bisa dikorbankan hanya karena beda pilihan politik dalam pemilu. Proses pemilu memang belum usai, namun kegaduhan dan keterbelahan yang terjadi sudah waktunya diakhiri. Bulan suci Ramadan hendaknya bisa jadi lem perekat bagi masyarakat dan media massa yang telah terbelah.
Masyarakat Yang Terbelah
Dalam politik, dukung mendukung adalah fenomena yang wajar. Munculnya simpatisan, sukarelawan, dan pendukung fanatik dari masing-masing kandidat yang ikut berkontestasi dalam pemilu merupakan hal yang lumrah. Namun ketika pemilu sudah usai, maka fanatisme yang dimiliki masing-masing kubu hendaknya bisa melebur menjadi satu kesatuan yang utuh. Yang kalah bisa legawa menerima kenyataan dan yang menang tak jadi jumawa.
Keterbelahan yang terjadi di masyarakat tak bisa dipisahkan dari perilaku beberapa elit politik. Beberapa politisi pada level pimpinan sering menebar narasi-narasi yang bisa memicu perpecahan. Perilaku yang dipertontonkan beberapa publik figur politik tak jarang justru jadi contoh yang buruk. Masyarakat pada level bawah sangat tergantung pada para pemimpin dan panutan mereka. Parahnya, masyarakat telah kehilangan sosok yang layak diteladani.
Narasi-narasi politik bernada adu domba yang sering dilontarkan para elit politik sering memicu kegaduhan di masyarakat. Perang narasi terutama saat kampanye politik membuat suasana politik semakin hari semakin memanas. Hal ini semakin diperparah dengan merebaknya berita bohong (hoax) politik yang terus diproduksi dan diviralkan oleh mereka yang sedang ikut berkontestasi politik.
Untuk itu guna merekatkan kembali masyarakat yang terbelah bisa diawali dari peran para politisi di level atas. Sejatinya masyarakat bawah tak terlalu terbelah seperti yang terjadi antara para elit politik. Gesekan yang berpotensi menjadi konflik justru terjadi di level elit yang berimbas pada masyarakat bawah. Keterbelahan yang terjadi di masyarakat akan bisa dipersatukan kembali asal para elit politik bersatu demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Media Yang Terbelah
Dalam pemilu 2019, media massa memang tak bisa steril dari kepentingan kelompok tertentu. Selain itu, bagi pelaku dan pemilik media juga punya agenda dan kepentingan tertentu. Situasinya seperti menjadi klop ketika sang kandidat butuh media, sementara beberapa media massa juga butuh bermain politik praktis guna kepentingan medianya. Seperti tak ada yang keliru dalam perselingkuhan antara sang politisi dan para pebisnis media (media preparator).
Coba kita simak pemberitaan pemilu di beberapa media massa cetak dan elektronik. Ada beberapa stasiun televisi yang porsi pemberitaannya tak berimbang. Porsi pemberitaan untuk kandidat tertentu dibuat lebih banyak dibandingkan calon lain. Sementara si kandidat yang merasa tak mendapat ruang yang adil di salah satu televisi itu menggandeng stasiun televisi yang lain guna mendukung kepentingan politiknya.
Keperpihakan media pada salah satu kandidat dalam pilpres dikarenakan sejumlah alasan. Salah satunya karena sang pemilik media yang merangkap sebagai ketua partai pendukung salah satu kandidat. Hingga melalui porsi pemberitaan, sudut pandang pemberitaan, dan pembingkaian (framing) terhadap sebuah peristiwa di buat sedemikian rupa sehingga menguntungkan sosok yang didukung.
Media massa idealnya mampu memainkan peran sebagai penjaga pilar keutuhan bangsa. Media massa tak elok bermain politik praktis dan mengorbankan hak masyarakat dalam mendapat informasi yang netral dan berimbang. Televisi sebagai pengguna frekuensi publik tentu tak bisa seenaknya menggunakan medianya untuk kepentingan kelompok dan partai tertentu, hingga untuk memuluskan jalan politik sang pemilik media.
Kenyataan bahwa sejumlah media telah tak netral dan berpihak pada kandidat tertentu inilah yang mengindikasikan bahwa media massa telah terbelah. Sejumlah masyarakat akan dapat menilai bahwa media A itu medianya kandidat nomor 01, dan media B itu corongnya kandidat nomor 02. Keterbelahan media massa ini juga berimbas pada masyarakat konsumen media. Berita dan informasi yang disajikan media partisan cenderung tak berimbang.
Ketidakberimbangan yang ditunjukkan media dalam menyajikan produknya menimbulkan keterbelahan pada masyarakat pengguna media. Untuk memperbaiki keadaan ini peran media massa harus dikembalikan pada fungsi idealnya sebagai pilar keempat demokrasi. Media tak lagi boleh partisan dan memihak pada kelompok tertentu. Kalau saat ini media massa mampu melakukan itu maka keterbelahan masyarakat yang dipicu oleh media massa bisa direduksi.
Untuk menyatukan masyarakat yang terbelah karena pemilu dibutuhkan peran media massa. Namun sebelum media menjalankan fungsinya sebagai sarana pemersatu bangsa maka bagi media itu sendiri harus tak terbelah. Praktik media harus benar-benar independen dan terbebas dari beragam bentuk intervensi termasuk tekanan dari pemilik modal.
Tugas berat dari para pemimpin hasil proses pemilu 2019 ini adalah menyatukan kembali masyarakat dan media yang terbelah. Di sisi lain semoga tingkat kedewasaan berpolitik masyarakat juga semakin meningkat hingga tak gampang di adu domba dan di pecah belah.

———- *** ———–

Rate this article!
Menyatukan yang Terbelah,5 / 5 ( 1votes )
Tags: