Menyegerakan Reformasi Birokrasi

Muhammad NajibOleh:
Muhammad Najib
Ketua Kajian Agama, Negara, dan Budaya (KANeBa) UIN Walisongo Semarang, Mentor Jurnalistik Monash-Institute Semarang

Tentu masih hangat dalam ingatan kita semua janji-janji Jokowi-JK ketika masa kampanye. Ya, salah satunya adalah reformasi birokrasi dan layanan publik harus disegerakan. Pasalnya, reformasi birokrasi dan layanan publik merupakan ujung tombak kehadiran negara yang merupakan salah satu pokok penting demokrasi.
Tak dapat dipungkiri bahwa sejauh ini banyak penguasa yang masih menggunakan mentalitas lama, ingin dilayani. Melayani tampaknya menjadi satu kata asing di negeri ini utama ditubuh birokrasi. Padahal, salah satu fungsi utama birikrasi adalah mengayomi dan melayani masyarakat secara optimal. Dan itulah yang dibutuhkan Indonesia saat ini.
Jika kondisi demikian terus berkelindaan, maka sudah dapat dipastikan negeri ini “stagnan”. Sebab, inovasi dan kreativitas pelayanan publik tidak akan berkembang karena para pelaku utamanya memosisikan diri sebagai pihak yang ingin dilayani. Sekal lagi, paradigma tersebut sejatinya sudah lama mengakar ditubuh para birokrat. Berarti, selama ini mereka tidak bekerja secara optimal. Sederhananya, mereka makan “gaji buta”.
Pembahasan diatas sesungguhnya menggambarkan perilaku Pegawai Negeri Sipil (PNS).  Tegasnya, PNS saat ini belum sepenuhnya bekerja untuk masyarakat. Hal ini terbukti atas kinerja mereka saat ini yang kurang optimal. Pertama, pelayanan berbelit. Revolusi mental paling nyata adalah yang berada di depan mata, birokrat yang bermental priayi. Priayi adalah sosok yang ingin dihirmati dan dilayani.
Selama ini, pelayanan birokrasi berbelit. Sesuatu yang seharusnya mudah tapi dibuat sulit. Salah satu contoh konkritnya dan telah dirasakan dampak negatifnya dalam masyarakat adalah izin investasi.  Memang ada yang bisa cepat tetapi harus memenuhi syarat terlebih dahulu. Artinya, rakyat sudah mafhum bahwa untuk berurusan dengan aparatur negara harus menggunanakan “uang pelicin”.
Dalam hal ini, kita sungguh ketinggalan dengan negara-negara tetangga. Perlu diketahui bahwa negara-negara tetangga berlomba-lomaba mepermudah para investor. Tekait dalam hal ini, kita patut mengapresisi kebijakan Jokowi, penyederhanaan struktur atau pegawai pemerintahan. Wujud dari program ini adalah dengan pelayanan satu pintu.
Kedua, cenderung mengutamakan pelayanan kepentingan politik. Anas Urbaningrum (2014) mengatakan bahwa tidak sulit untuk menemukan sederet fakta bahwa logika kebutuhan rakyat bisa berbeda dengan kepentingan penguasa. Bukan rahasia jika dikatakan pada era demokrasi parlementer, birokrasi melayani kepentingan partai-partai. “Warna” setiap departemen bisa berbeda. Pada masa Demokrasi Terpimpin, birokrasi melayani Bung Karno. Pada zaman Orde Baru, operasi-operasi politik Pak Harto dilakukan dengan baik oleh jajaran birokrasi. Apalagi dengan adanya konsep monoloyalitas birokrasi. Pada masa Reformasi, warna birokrasi juga dipengaruhi oleh presiden dan partainya. Demikian pula dengan kementerian yang dipimpin oleh kader-kader partai politik (Republika, 17/12/14).
Harga Mati
Dalam hal ini, revolusi mental birokrasi tidak bisa ditawar lagi. Sebab, publik mengangkat kemudian menggaji para pegawai negeri bukan untuk enak-enakan sehingga makan gaji buta. Hal ini dimaksudkan supaya subtansi bernegara dan berbangsa dapat diraih. Pada kondisi inilah masyarakat Indonesia akan merasakan betapa pedulinya pejabat negara. Dan blusukan juga menjadi sebuah aganda tersendiri.
Pertanyaannya, dari mana reformasi birokrasi harus dimulai dan bagaimana caranya? Pertanyaan ini patut diajukan karena menyangkut hajat orang banyak. Reformasi birokrasi sudah jelas dimulai dari revolusi mental para aktornya. Salah satunya dengan mengakhiri mental priayi. Itu yang pertama.
Kedua, menerapkan struktur penggajian berdasarkan merit sistem. Sistem tersebut nampaknya akan segera diterapkan. Hal ini senada dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi. Ia melontarkan gagasan bakal memberlakukan sistem reward and punishment terhadap PNS, tentu kita dukung (MI, 02/12/14).
Dengan berlakunya sistem tersebut,  penghasilan PNS tidak hanya dibedakan atas dasar golongan, tapi juga berdasarkan prestasi mereka dalam melayani kepentingan publik. Jadi, kelak gaji pegawai yang asal-asalan berbeda dengan pegawai yang benar-benar tulus melayani masyarakat. Selain itu, konsep ini sejatinya dapat menciptakan iklim birokrasi kreatif, inovatif, professional, dan kompeten sehingga negara bisa memiliki pegawai yang bermanfaar bagi masyarakat. Dan itulah hakikat keberadaan birokrasi.
Ketiga, menetapkan kriteria dan indikator kerja. Umar bin Al-Khattab pernah berujar bahwa lebih baik mengganti gubernur (baca: pemimpin) setiap hari, dari pada satu jam dipimpin oleh gubernur dzalim. Hal ini senada dengan Jokowi bahwa jika menteri-menterinya bekerja melenceng dar target, maka akan dicopot. Inilah salah satu agenda realisasi reformasi birokrasi. Dengan demikian akan merangsang para pegawai negara untuk menggenjot target yang sudah ditentukan. Hal ini juga akan menimbulkan implikasi terhadap percepatan pembangunan.
Semua itu akan terealisasi manakala proyek besar dapat dipahami dan benar-benar menjadi roh. Proyek besar tersebut adalah mengubah mental priayi menjadi abdi. Memang tidak gampang. Namun, ikhtiar tetap harus digalakkan dengan berbagai cara atau regulasi yang dapat menunjang terwujudnya cita-cita bersama. Dalam konteks ini, setidaknya pemerintahan baru sudah membawa angin segar. Meminjam pernyataan Anas Urbaningrum bahwa pemerintah sudah memberikan keteladanan. Tinggal konsistensi dan terus menarik gerbongnya. Hampir 100 hari Jokowi-JK memimpin Indonesia, namun belum menunjukkan “tajinya”. Dalam waktu dekat ini, Jokowi-JK beserta para pembantu pemerintahan harus memenuhi janji-janjinya, terutama dalam hal pelayanan public yang terkesan lambat dan dipersulit. Wallahu a’lam bi al-shawab.

                                                                                     ————————- *** ————————

Rate this article!
Tags: