Menyelami Nasehat dan Pemikiran Gus Mus

Judul : Cinta Negeri Ala Gus Mus
Penulis : M. Zidni Nafi’
Penerbit : Imania
Cetakan ke-1 : Januari 2019
Tebal : 245 hlm
ISBN : 978-602-7926-46-2
Peresensi : Badiatul Muchlisin Asti
Ketua Forum Silaturahmi Penulis Grobogan (FSPG), Jawa Tengah

KH. Ahmad Musthofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus adalah sosok kiai yang unik. Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin, Leteh, Rembang ini, selain dikenal sebagai seorang ulama, juga seorang budayawan: seniman, penyair, sastrawan, dan pelukis. Ramuan pribadi yang unik ini menghadirkan sosok Gus Mus yang kaya pesona, baik dari sisi pribadi yang bersahaja dan rendah hati, maupun pada corak berpikirnya yang mengagumkan, meski kadang kontroversial. Tausiyah-tausiyahnya dinanti umat, terutama kalangan nahdliyyin, karena segar, mencerahkan, dan menyejukkan hati.
Buku berjudul Cinta Negeri Ala Gus Mus ini menyajikan bulir-bulir nasehat Gus Mus yang penuh hikmah, juga percikan pemikirannya dalam banyak aspek kehidupan seperti keagamaan, kebudayaan, dakwah, kepemimpinan, keindonesiaan, pendidikan, dan komitmen kebangsaan. Bulir-bulir nasehat dan percik pemikiran khas Gus Mus itu disajikan secara padat, bernas, dan kontekstual, sebagai bahan refleksi dan perenungan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam bidang dakwah dan praktik keagamaan, Gus Mus menyoroti model dakwah yang berkembang di Indonesia. Saat ini, menurut Gus Mus, banyak orang mengaku berdakwah, mengajak kepada Islam, tapi dia sendiri menjauh dari akhlak Islam. Bukannya memberi contoh moral yang mulia, malah mengajarkan untuk membenci sesama, lalu mengobarkan permusuhan kepada siapa saja di luar kelompoknya. Puncaknya menebar teror di mana-mana.
Selain menyalahi cara Rasulullah, menurut Gus Mus, cara itu juga mengingkari perintah Gusti Allah. Ia mengajarkan agar mengasihi sesama dan menghormati tetangga. Harus pula membangun persatuan dan mengutamakan kerukunan. (hlm. 46-47).
Pada soal kepemimpinan, dalam pandangan Gus Mus, pemimpin harus meniru Rasulullah. Tidak perlu mengidolakan siapa-siapa lagi, karena Rasulullah itu sangat lengkap. Allah telah mengatur sedemikian rupa, menjadikan Rasulullah sebagai teladan yang baik. (hlm. 77-78). Sayangnya, sebagaimana ditulis Gus Mus di bagian lain buku ini, pemimpin sekarang tak lagi punya perhatian seperti dicontohkan Nabi. Pemimpin-pemimpin sekarang kurang peduli terhadap nasib rakyat, bahkan gemar korupsi.
Itu terjadi karena dunia pendidikan di Indonesia hanya terjebak pada kaidah taklim, dan mengesampingkan tarbiyah. Padahal tarbiyah itu penting karena berorientasi pada akhlak, sedangkan taklim hanya pada ilmu. (hlm. 86-87).
Gus Mus juga menyoroti peran kiai di tengah masyarakat. Di tengah merebaknya korupsi oleh para pejabat, menurut Gus Mus, peran kiai sebagai penjaga moralitas ditunggu sekaligus layak dipertanyakan secara kritis: apakah menjadi solusi atau justru menjadi bagian masalah bangsa.
Bagi Gus Mus, kalangan kiai dan pesantren harusnya memainkan peran sebagai penjaga akhlak bangsa, tidak terjebak dalam peran-peran instrumental-seperti turut menjadi tim sukses calon dalam pemilihan kepala daerah. (hlm. 114). Buku ini sangat menarik, karena menyajikan bulir-bulir nasehat penuh hikmah dan pemikiran Gus Mus yang sangat menarik untuk diselami sebagai bekal menata diri dalam bingkai mencintai NKRI.*

————- *** ————-

Tags: